www.flickr.com

Thursday, September 25, 2008

Tanah Tanpa Rakyat

I invite Muslims all over the globe to consecrate the last Friday of the holy month of Ramadan as 'Quds Day' and to proclaim the international solidarity of Muslims in support of the legitimate rights of the Muslim people of Palestine.”—Ruhollah Khomeini, Sahifa-yi Nur, Vol. 8, p. 229.

16 Murdad 1358, tidak berlalu begitu saja.

16 Murdad 1358, adalah tarikh yang dirujuk dalam kalender Persia, bersamaan 7 Ogos 1979, tahun meledaknya sebuah revolusi atas nama agama, yang lantas meruntuhkan tesis Frantz Fanon. Hari itu, Ruhollah Khomeini mewarkan Hari al-Quds, yang kemudiannya disalin kenangannya setiap kali Jumaat terakhir di bulan Ramadhan.

Tatkala Ramadhan 1429, sekali lagi kita mengenang Yerushalayim ini. Tapi, kali ini bukan dari celah-celah menara Azadi lagi. Kenangan pada kota tiga agama kali ini akan dihimbau oleh anak yang lahir dari celah-celah himpitan Kem Auschwitz, yang kemudiannya digelar “manusia berani” oleh Edna Homa Hunt.

Memang, kadang-kala—terutamanya dalam politik—untuk meruntuhkan musuh tidaklah memerlukan Merkava, tapi sudah cukup dengan gebrakan idealogi-dalaman dari seorang “manusia berani” sahaja.

Siapakah “manusia berani” itu?

Ia bukan dari Hamas. Secara intelektualnya, Hamas maseh kalah pada Isreal. Tapi, sering kata Hamas, Israel sudah tidak memahami bahasa intelektual, hanya bahasa istishhadi yang bisa mengajarnya. Jadi, dari satu sisi, lahirlah Islam kering—tiada daya usaha intelektualnya.

Nasib ‘kita’ ada Norman Finkelstein. Kitab agungnya, Image and Reality of the Israel-Palestine Conflict, jelas membantu, dan mula mencabar mitos-mitos asal-muasal negara Israel yang dibina dalam kemasan doktrin Zionis. Inilah yang kita maksudkan sebagai gebrakan idealogi-dalaman.

Tapi, apa kritikan Finkelstein?

Dalam karya kecohnya itu—sebuah nukilan yang disenangi oleh Avi Shlaim, sejarahwan Holocaust dari Oxford University—Finkelstein memaparkan secara intelektual bahawa Negara Yahudi adalah rekaan zionisme semata-mata, demi hasratnya untuk mengekalkan jumlah besar Yahudi yang terdapat di Palestin. Atas hasrat ini, penduduk asal Arab harus menelan buah pahit dari zamannya.

Ungkap Finkelstein, bayangkan saja perbezaan antara jumlah Arab dengan Yahudi, sewaktu tahun pengistiyaran Balfour, yang mana ketika itu British sudahpun menjanjikan “tanah tanpa rakyat” kepada Yahudi. Ketika itu, kata Finkelstein, nisbah penduduk Arab berbanding Yahudi adalah 10:1. Itu tahun 1917.

Namun, 30 tahun kemudian, malah sampai dewasa ini sekalipun, demografi ini telah berubah ketara sekali. Jadi, ke mana perginya rakyat Palestin yang lain sehingga surut sedemikian rupa? Apakah Yahudi mengamalkan kaedah penghapusan etnik dalam menukar demografi ini, sehingga rakyat Palestin lain ternyahkan dari wilayah asalnya?

Langsung, Finkelstein memperhalusi paparan Joan Peters dalam From Time Immemorial. Menurut Finkelstein, buku yang pertama kali dicetak pada 1984 tersebut telah memaparkan terdapat ratusan ribu rakyat asli Palestin yang telah dinafikan hak kepemilikan tanahnya.

Selain itu, Finkelstein turut menemukan tiga jalinan gerakan yang mencipta zionisme: politik, buruh (atau sosialis) dan budaya Zionism. Finkelstein merumus, parti buruh dan budaya zionisme ini akhirnya bersekutu dengan politik Zionism, dan ketiganya secara muafakat mempraktikkan garisan keras dalam usaha meningkatkan majoriti penduduk Yahudi tersebut.

Maka, bagi Finkelstein lagi, ternyata, “kuasa yang gagah akan terus menguasai lanskap politik.” Tapi, citra negara Israel yang gagah terpapar dewasa ini, tidak semestinya sesuatu realiti, atau bukan benar-benar, sebaleknya barangkali hanyalah sebuah kepercayaan pada sebuah citra konspirasi.

Terima kaseh pada Finkelstein. Tapi, apa faedah buat saintis-politik Amerika tersebut gara-garanya melawan arus? Secara materialistiknya, tidak ada faedah apa-apa. Yang ada hanyalah kepayahan. Yang ada hanyalah keperihan. Meskipunnya seorang Ashkenazi, tapi kini Finkelstein mungkin satu-satunya Yahudi yang dilarang masuk ke tanah yang dijanjikan itu.

10 tahun, Finkelstein tidak boleh meraikan Eid di al-Quds. Itulah hasil dari kerja-kerja mengkritiknya terhadap tubuh Israel. Rakan intelektualnya, Noam Chomsky sudah menempuhnya, malah sempat memberinya amaran, sebelumnya mengesahkan fakta dalam From Time Immemorial. Tapi jelas, mereka sama-sama degil.

Memang, budaya intelektual ini memang banyak ragamnya. Tidak hairan, jika ada yang kata, resmi seorang intelektual sejati mestilah degil. Finkelstein dan Chomsky adalah intelektual. Sebab itu, mana-mana akademia yang tidak degil, tidak kritis, tapi lurus, malah bendul pula, itu pasti bukan intelektual!

Intelektual bukan sekadar seperti Alan Dershowitz. Tapi lebih ideal, jadilah, “manusia berani,”—seperti Finkelstein, seperti Chomsky dan juga seperti Khomeini. Di Hari al-Quds ini—kenangan kita dilimpahkan kepada manusia-manusia berani seperti ini, yang bangkit melawan penindasan tanpa rasa sempadan!

Jadilah Manusia Agung
Bagai seorang Syahid
Seorang Imam
Bangkit
Berdiri
Di antara rubah, serigala
Tikus
Domba
Di antara kosong-kosong
Bagai Yang Satu—Ali Shariati

1 comment:

Rausyanfikir said...

Trotsky dan Lenin sama2 Yahudi kan? Being financed by the bankers for the revolution.