Filsafat mewarnai semuanya, melatari segalanya.
Benar, di tempat-tempat tertentu, filsafat manusia, filsafat politik, filsafat moral, dll, dapat berkerumunan dalam satu daerah. Bahkan, dari pergumulan tersebut kelak memungkinkan kelahiran bidang baru. Dan, inilah yang pernah terjadi. Buktinya, kelahiran ilmu ekonomi. Rupa-rupanya, ilmu ekonomi itu muncul bukan dari rencana rapi manusia. Ilmu ekonomi itu muncul dari “kelelahan sejarah panjang filsafat politik yang—mahu menghuraikan manusia yang sesungguhnya.”
Memang menarik, untuk kita berkesah tentang munculnya ilmu ekonomi ini. Kita akan menelusuri nama-nama tebal, seperti Plato, Machiavelli, Hobbes, Smith, Montesquieu, dll. Secara tersusun, bagaimana kita mahu mulakan semua ini? Barangkali, elok bertolak dari Zaman Yunani, yang melahirkan Sokrates, Plato, Aristotle, dll itu. Tiga nama inilah yang sering menghiasi pembelajaran filsafat sepanjang zaman. Kekuatan Zaman Yunani sampai saja Whitehead dalam Process and Reality tidak segan-segan mengungkapkan, bahawa seluruh filsafat Barat itu sebenarnya hanyalah catatan kaki dari Plato.
Yunani dan Renainsans
Sebenarnya filsafat Yunani ada banyak aliran. Ini termasuklah, Epikureanisme, Stoaisme, Eklektisme, Sinisme, Pyrrhonian Skeptisme, dll. Namun, salah satunya alirannya yang terkenal adalah Stoa itu. Aliran Stoa inilah yang membezakan antara tindakan yang seharusnya (propriety) dan tindakan yang berkeutamaan sempurna (perfect virtue). Aliran ini juga muncul setelah era Sokrates, Plato, dan Aristotle. Selain daripada tiga filsuf besar ini, terdapat juga nama-nama lain yang mendahului mereka, seperti Thales, Anaximender, Anaximenes, Xenophanes, Pitagoras, dll. Tapi, akhirnya, memang nama Sokrates, Plato dan Aristotle itu lebih kerap menghiasi panggung sejarah filsafat sepanjang zaman.
Setelah Zaman Yunani, dan aliran Stoa ini, terus kita beranjak ke Zaman Pertengahan, yang terbentang antara 900M hingga kira-kira 1480M. Ternyata, rentang ini yang tidak lekang dari bayang-bayang filsafat Yunani, terutamanya tentang gagasan keutamaan (virtue). Mithalnya, Aquinas, filsuf-teolog pertengahan itu sering dianggap tidak lebih dari bayangan Aristotle. Kemudian, Zaman Renainsans pula membuka diri. Maka, terselaklah sebuah era kebangkitan-kembali: zamannya pemberontakan terhadap Aristotle itu!
Sebenarnya, apakah inti dari renainsans ini? Intinya adalah kekuasaan subjek, kepercayaan individu, serta tergusurnya peranan agama dalam kehidupan masharakat. Agama, khususnya Kristian, ternyata secara praktis tidaklah memiliki semua jawapan atas masalah-misteri manusia. Di sinilah sumbangan Descartes terhadap subjektiviti humanisme sangat bererti sekali.
Kegigihan filsuf-filsuf Renainsans membaca ulang teks-teks Yunani dan Romawi, akhirnya membuahkan hasilnya. Menerusi Giovanni Pico della Mirandola, terserlah gagasan Neoplatonisme. Manakala, dari Cicero, muncul gaya retorika yang disebut sebagai Rhetorica ad Herennium. Di samping itu, dalam politik pula, renainsans menandai perbahasan kembali Republikanisme. Idea ini sering dihubungkan dengan Yunani (Republica) dan Romawi (res publica), dan tumbuh-mekar-segar di Itali, terutamanya di Florence, Genoa, Milan, Venice, dll.
Seperti yang dicatatkan, Renainsans juga adalah pemberotakan terhadap Aristotle. Mengapa? Kerana, faham Aristotle—terutamanya menerusi Politica—telah membentuk legitimasi buat kalangan agamawan-politikus. Kerana itu, Renainsans hadhir menimbang kembali semua ini. Politik, adalah bidang yang paling dinilai-ulang. Justeru, saat berdepan dengan filsafat Yunani, terutamanya Plato, filsuf Renainsans ini tersedar bahawa tampaknya ada juga yang tidak selesai lagi. Gagasan keutamaan Plato dalam Politeia-nya itu ternyata sebuah utopia. Bagaimana mereka menganalisanya?
Plato
Mari kita melanjutkan dengan filsafat manusia Plato, sebelum menghubungkannya dengan filsafat politiknya. Kerana, itulah puncanya. Dalam gagasan Plato ini, manusia terbahagi pada tiga lapis. Lapis pertama adalah, rasional (rational); lapis kedua, adalah emosi (emotional); dan, lapis yang ketiga, adalah apetitif (appetitive)—yang boleh kita mudahkan dengan panggilan sebagai nafsu saja. Inilah tiga lapis yang tertanam dalam struktur diri manusia.
Maka, pada Plato, manusia yang baik itu adalah manusia yang dikendalikan oleh rasional, dan rasional itulah pula yang kemudiannya mengendalikan emosi dan nafsu. Sebaleknya, manusia yang buruk adalah manusia yang dikendalikan oleh nafsu, dan nafsu itulah pula yang mengendalikan rasional dan emosi. Pada umumnya, menurut Plato, wilayah rasional boleh disebut sebagai nalar (reason), manakala dua lagi unsur di bawah disebut wilayah naluri (passion). Dari gambaran ini, Plato kemudiannya menata filsafat politiknya, agar sejajar dengan skema filsafat manusia-nya. Lalu, Plato menunjukkan bahawa filsafat manusia-nya itu hakikatnya adalah berselarian dengan filsafat politik-nya.
Bagaimana Plato melakukannya? Pertama, mari kita lihat tentang rasional terlebih dahulu. Bagi Plato, rasional ini terwakil pada filsuf-raja, manakala emosi terwakil pada tentera, sementara nafsu pula terwakil pada petani, tukang, dll—yang dalam bahasanya disebut sebagai kalangan kasar. Lalu, bagaimanakah tiga lapis ini bersekutu dengan politik? Plato tidak meninggalkan rumusan ini tanpa huraian. Padanya, jelas bahawa sebuah negara yang baik adalah negara yang diperintah oleh rasional, iaitu filsuf-raja tersebut.
Justeru, di sini secara tersiratnya Plato mahu memaparkan bahawa politik yang baik—itu semua adalah lanjutan dari filsafat manusia, sekaligus konsep bagi kenegaraan. Buatnya, negara yang baik haruslah mengangkat soal-soal keutamaan. Jadi, tegas Plato, yang dapat mengendalikan rasional ini hanyalah kalangan filsuf-raja itu, bukannya tentera, dan bukannya kalangan kasar.
Tapi, di dalam itu rupanya terselit sebuah persoalan lain: sekiranya benar gagasan Plato ini benar, maka mengapakah perperangan terus memuncak, kemiskinan terus melata, kekuasaaan terus merakus, dll? Apakah memang rasional manusia itu takkan pernah menang atas nafsu? Mengapakah soal keutamaan tidak pernah termanifestasi biarpun itu adalah sebuah gagasan yang unggul? Apakah secara fithrah, nafsu akan terus saja berkuasa atas rasional dan emosi, tanpa mengenal zaman? Sejumlah pertanyaan inilah yang menimbulkan kecurigaan besar terhadap kekuasaan rasional atas nafsu, sekaligus menarik keprihatinan Machiavelli pada hujungnya.
Walau bagaimanapun, sebelum kita menembus Machiavelli, elok kita ketahui, mengapakah gagasan keutamaan ini menampak dalam persoalan negara? Jawapannya barangkali sederhana saja: kerana para filsuf waktu itu merangkap penasihat raja. Mithalnya Aristotle adalah penasihat Alexander the Great. Machiavelli pula penasihat Lorenzo de’ Medici. Begitu juga dalam jarak itu ada Cicero, Aquinas, dll. Jadi, dari tangan semua filsuf ini, kekuasaan mendapat haluan filsafatnya. Kalau filsuf melakukan kesalahan, bermakna secara tidak-langsungnya pemerintah turut melakukan kesalahan, sekaligus kesalahan negara juga.
Machiavelli
Mengenang pertanyaan-pertanyaan dari filsafat manusia-politik Plato ini, maka filsuf Renainsans pun meneroka penyelesaian. Mereka mulai ghairah untuk mengetahui kenapa akhirnya rasional tidak pernah mengalahkan nafsu dalam sejarah. Di tangan Machiavelli, pada II Principe, akhirnya kita ditemukan pencerahannya. Apakah kandungan buku II Principe ini? Machiavelli tidak lagi berselindung mahu memecahkan masalah antropologi sekaligus politik warisan Plato ini. Lalu, Machiavelli mula membezakan antara apa yang disebutnya sebagai “kebenaran efektif,” berbanding dengan “pemerintahan yang tidak pernah ada.” Pembahagian ini turut mengingatkan kita pada aliran Stoa sebelumnya— yang juga melukiskan hal yang sama. Menurut Machiavelli, apa yang digagas Plato, itu ternyata tidak pernah terjelma. Sebab itu, Machiavelli awal-awal membezakan kedua hal tersebut: fakta dan utopia.
Alternatifnya, sama seperti Plato, Machiavelli pun merangka sebuah filsafat manusia sekaligus filsafat politik juga. Pada Machiavelli, sorotan abad-abad lalu, sepertinya memang secara fithrahnya tidak pernah mengarah kepada kebaikan—sebagaimana yang diidambakan Plato. Lalu, bagaimana untuk merealisasikannya? Jadi, simpul Machiavelli, dan berseberangan dengan Plato, manusia itu sama sekali tidak pernah mengarah kepada kebaikan. Buktinya, berabad-abad nafsu ternyata tidak mahu patuh pada rasional, yang kononnya pada Plato, rasional adalah prasharat bagi sebuah tatanan politik yang baik. Malah, nafsu ini sebelum Renainsans rupanya dikawal menerusi penguasaan agama, terutamanya menerusi ancaman kutukan neraka terhadap mereka yang ingkar atas nilai-nilai moral agama.
Waktu itu, waktu zaman pertengahan, memang ancaman kutuk masuk neraka sangat berkesan sekali. Namun, ketika zaman Renainsans—yang maraknya perkembangan pengetahuan-pengetahuan baru, seperti Revolusi Kopernigk (sebelumnya bersifat Ptolemy), penemuan atom (sebelumnya dipengaruhi Aristotelian), penemuan William Harvey tentang peredaran darah (sebelumnya pendekatan Galen), dll— menuntut hadhirnya penjelasan-penjelasan yang lebih saintifik, berbanding hanya berpaut pada dogma-dogma agama. Barangkali, yang memangkin revolusi sains ini tidak luput dari pengaruhnya subjektiviti Descartes, serta wacana filsafat rasionalisme-emperisisme yang cukup tebal ketika itu. Apatah lagi, filsafat ketika itu adalah serumpun dengan sains tabii.
Semua perkembangan ini tentunya berhutang budi pada Machiavelli. Dari radikalisme-nya terhadap filsafat Plato, telah membangkitkan seru mereka yang sesudahnya. Keberanian Machiavelli ini membangkitkan seru filsuf-filsuf sesudahnya untuk mencetuskan pandangan yang memuaskan. Mudahnya, mereka kini seakan sepakat dengan Machiavelli bahawa paradigma Plato salah. Politik itu wajar mencermati manusia, bukannya “manusia seharusnya begitu,” sebaleknya “manusia seperti apa adanya.” Paradigma yang senget inilah yang selama ini menjadi biang-keladi atas kegagalan rasional menaklukkan nafsu. Yang bersepakt dengan Machiavelli, bukan calang-calang. Mithalnya, Spinoza, dalam Ethica Ordine Geometrico Demonstrata, juga melihat bahawa manusia seharusnya digagaskan sebagaimana realitinya, bukan seperti yang diinginkan. Begitu juga Giambattista Vico, pengarangnya La Scienza Nuova yang turut mengungkapkan bahawa filsafat politik klasik hanya berguna sedikit untuk mereka yang mahu hidup dalam republik Plato.
Menjinakkan nafsu
Jadi, Plato tidak lagi ditoleh. Kini, filsafat politik berawal dari Machiavelli telah melakukan terobosan baru sembari meninggalkan jauh-jauh filsafat yang menekankan sebuah negara utopia. Hirschman dalam The Passions and the Interest ada tiga rincian saat mengupas persoalan anjakan paradigma ini: dari Plato sampai Machiavelli. Ketiga-tiga unsur awal—rasional, emosi dan nafsu—itu ternyata berbaur menjadi bahagian sejarah yang tersendiri.
Pertama, menerusi langkah apa yang dinamakan sebagai effectus comprime, iaitu tekanlah nafsu. Namun, bagaimana untuk menekan nafsu ini? Model ini langsung dikaitkan dengan filsafat Plato bahawa rasional harus berkuasa, dan emosi serta nafsu harus ditundukkan habis-habisan. Malahan, gagasan politik dari Agustinus dan Calvin juga mendekati prinsip affectus comprime ini.
Kedua, tatkala menyedari nafsu gagal dikendalikan, maka ada perhitungan bahawa nafsu itu barangkali berkadar malar dalam diri manusia. Sama ada ditekan atau tidak, tetaplah nafsu seperti apa adanya. Lantaran, dari keadaan ini, maka nafsu cuba diubah-suai supaya nafsu dekstruktif dapat disalurkan menjadi nafsu konstruktif. Sebab itu, Mandeville mengutarakan dalam The Fable of The Bees bahawa nafsu, yang pernah dianggap sebagai kebejatan peribadi (private vices), itu diubah menjadi manfaat awam (public benefits). Walau bagaimanapun, perubahan ini tidak berlaku secara spontan. Sebaleknya, tindakan ini memerlukan pengurusan yang tertib serta peranan politikus yang tangkas. Ertinya, nafsu yang gelap tidak dengan sendiri menjadi cerah, melainkan menuntut penataan dari luar.
Dan, ketiga, langkah yang diprakasai Machiavelli, juga didukung Spinoza, Bacon, dll sekali. Langkah ini adalah langkah melawan nafsu dengan nafsu. Dalam kata lain, langkah mengadu-domba antara nafsu-nafsu. Berkenaan pendekatan ini, Bacon ada mengungkapkan bahawa dengan “mengadu-domba nafsu satu melawan nafsu yang lainnya untuk tujuan menguasai nafsu-nafsu lainnya.”
Ternyata—tidak seperti pendekatan kedua—sebaleknya pendekatan ketiga ini tidak memerlukan pengaruh luar lagi. Hanya perlu melaga-lagakan unsur-unsur nafsu dalaman. Justeru, mulai abad ke-17 dan ke-18, filsafat politik memerhatikan persoalan di atas, iaitu: apa yang ada pada fakta. Detik yang bersamaan, mulai semarak persoalan tentang demokrasi. Lantaran itu, demokrasi sebenarnya juga adalah nama lain bagi persaingan. Justeru, makin kuatlah penerimaan bahawa “apa yang adanya,” itu lebih bermakna dari “apa yang seharusnya.” Maka, segala nafsu didombakan, dan nafsu terkuat akan keluar menjadi ceteris paribus: mengawal ketegangan-ketegangan yang lain.
Kendati, di kalangan segala nafsu tersebut, yang manakah nafsu yang keluar sebagai pemenang, atau berdiri sebagai induk dari segala nafsu? Untuk filsafat politik moden ini, maka yang tegak hanyalah nafsu untuk berkuasa. Justeru, nafsu-nafsu yang lain mestilah diorganisasi agar menurutinya segala arah dari nafsu untuk berkuasa, atau dalam bahasa Nietzsche kemudiannya “kehendak untuk berkuasa” (der Wille zur Macht). Lantas, untuk terus kekal berkuasa, kepentingan-diri (self interest) diperikan, dan membentuk inti dari gagasan Machiavelli dalam filsafat politiknya. Bahawa darinya, nafsu yang paling tinggi tidak lain tidak bukan adalah kemulian. Memang, yang bernilai bagi seorang politikus adalah kemuliaan, dan segala nafsu bagi politik mestilah diarahkan kepada kemuliaan tersebut.
Justeru, di sini bersimpuh pula persoalan moral. Dalam politik moden ini, persoalan moral bersifat nisbi, tergantung pada apa yang adanya, bukan pada apa yang seharusnya. Mithalnya, kalau ada nafsu-nafsu yang lain yang mengugat, maka Machiavelli menyeru agar nafsu itu boleh disingkirkan dengan apa cara sekalipun. Namun, kalau nafsu-nafsu lain yang kedengaran buruk tapi sangat berguna untuk merealisasikan nafsu induk, maka manfaatkan saja. Jelas, di tangan Machiavelli, yang baik dan yang buruk bukan lagi terletak pada rasional. Baik dan buruk, benar dan salah—iaitu moral—kini terletak pada nafsu induk. Itulah nafsu demi kemuliaan.
Sebagai selingan, dewasa ini kita sendiri menyaksikan takhta kekuasaan negara, iaitu parlimen. Tidak ada bentuk parlimen mana-mana negara sekalipun—entah itu Knesset, entah itu Kremlin, entah itu White House, entah itu Dewan Rakyat—semunya adalah melambangkan harakat kemuliaan. Tidak hairan, buku II Principe itu Machiavelli persembahkan buat seorang Lorenzo de’ Medici, dengan ringkasnya: “kalau mahu menjadi politikus yang baik, kejarlah kemuliaan, dan abadikan diri di situ.”
Hobbes sampai Smith
Demikian Machiavelli. Walau bagaimanapun—tentang nafsu ini—Hobbes kemudiannya punya sedikit pandangan berbeza, meskipun dalam bingkai yang sama.
Memang, pada Machiavelli nafsu kemuliaan itu didasarkan dengan kecerdikan politikus. Namun, pada Hobbes menerusi Leviathan-nya, nafsu itu adalah merujuk kepada hak-untuk-hidup, dan hak ini dimiliki oleh setiap individu. Hak inilah yang menjadi asas bagi setiap kehidupan manusia. Pada Hobbes lagi, kerana manusia itu serigala pada yang lain (homo homini lupus), maka kerana itulah persoalan hak-untuk-hidup ini menjadi pusat perhatian dalam filsafatnya. Kerana itu, negara Leviathan-nya Hobbes didirikan semata-mata bagi menjamin agar setiap individu tidak terbelenggu ketakutan lagi. Di sini, Hobbes bilang bahawa sekiranya tiada Leviathan, maka:
“…tidak ada industri, kerana hasilnya tidak akan aman: akibatnya juga tidak ada pengolahan hasil Bumi; tidak ada pelayaran, tidak ada barang-barang yang diimport melalui laut; tidak ada bangunan megah; tidak ada alat pengangkutan… tidak ada pengetahuan atas bumi, tidak ada perhitungan waktu, tidak ada kesusasteraan, tidak ada literatur, tidak ada masharakat; dan yang paling celaka adalah ketakutan terus-menerus serta bahaya kematian yang keji. Dan, hidup manusia menjadi sunyi, miskin, nista, buas dan pendek.”
Jelas, Hobbes menggesa agar diperjuangkan hak untuk hidup, dan nafsu-nafsu lain diarahkan semata kepada itu. Manakala, negara hanya didirikan semata untuk memastikan manusia dapat berlindung-hidup, dan tidak menjadi serigala sesamanya. Lantas, bila berdirinya negara, maka akan lenyaplah ketakutan-bersama itu seraya Leviathan itu akan mengalang semua ketakutan dari setiap individu. Mudahnya, terdapat jurang antara Machiavelli dengan Hobbes berkenaan arah arah-pandangnya. Pada Machiavelli, itu persis digembur dengan kemuliaan, lalu manusia akan bergerak maju: kegemilangan. Sementara, pada Hobbes pula persis dimomok dengan ketakutan, lalu manusia akan dianjak mundur: kegelapan.
Setelah Hobbes, lalu hadhir Locke. Filsuf ini lalu mengukuhkan lagi gagasan filsafat politik moden ini. Pada Locke, tidak seperti Hobbes, yang penting itu bukanlah hak untuk hidup. Tapi, hak untuk memiliki-harta, agar masing-masing dapat hidup–selesa. Maka, baginya, penumpukan harta harus dibenarkan sehingga nir-batas. Apatah lagi, memang tujuan dari negara adalah untuk menjamin hak warganya dalam menghimpun kekayaan, sejauh mana yang warga usahakan.
Justeru, Locke dalam The Second Treatise of Government pun merangka rumus pemerolehan hak milik. Ekoran kecairan pandangan ini, maka gagasan Locke tampaknya lebih mudah berkembang di Amerika Syarikat, yang memiliki tanah—untuk diusaha dan dijadikan harta peribadi—yang meruah. Maknanya, sudah ada pemilikan harta dalam perkembangan filsafat politik moden. Di samping itu, turut berkembang pendekatan baru dalam menguruskan aset, kewangan, dll. Singkatnya, akar kata dari semua ini, adalah penyaksian transaksi ekonomi. Malah, Locke sendiri berujar bahawa, “penemuan wang membuat manusia terus-menerus menumpuk dan memperhitungkan harta mileknya agar bertambah sehingga di luar tingkat keperluan dirinya dan keluarganya.” Maka, tampillah kaum bourgeoisie baru. Tampillah budaya baru. Tampillah kepentingan baru.
Jadi, pernah satu tempoh filsafat politik tersendat sebelum kunjungnya Renainsans. Namun, di tangan Machiavelli, Hobbes, kini Locke, muara ilmu ekonomi kian mencerahkan. Dinding-dinding tebal dari Plato lebur berdepan dengan gelojak renainsans. Abba Lerner dalam The Economics and Politics of Consumer Sovereignty tidak lokek merumuskan, “pada dasarnya, penyelesaian terletak pada perubahan konflik-politik menjadi transaksi-ekonomi. Transaksi-ekonomi adalah sebenarnya masalah politik, yang telah dianggap selesai.” Selain Lerner, Leo Strauss dalam bukunya mengenai Niccolò Machiavelli turut mengariskan, “ekonomi adalah Machiavellisme yang menua,” atau dalam bahasa lain, “Machiavelli yang menumpuk harta.”
Tapi nanti dulu. Sebenarnya, Locke bukanlah penamat dari kelelahan panjang filsafat politik ini. Nama Locke tidak akan lengkap tanpa dua nama berikutnya: Montesquieu dan Smith. Nama Montesquieu dihimbau menerusi Esprit de Lois. Ini kerana, Montesquieu telah memperbaiki gagasan Locke dengan memperkenalkan pandangan tentang “perdagangan yang santun” (de doux commerce). Jadi, filsuf Perancis ini berpandangan bahawa perdagangan yang makin agresif itu seharusnya mampu memperhaluskan adab sesama manusia. Kata Montesquieu:
“Perdagangan adalah penawar ragam wasangka yang paling deskruktif. Sebab itu, adalah gejala lazim kita temukan di mana adanya tata-etika yang baik, maka di situlah pula berkembang perdagangan; dan di mana berkembangnya perdagangan, di situ pula kita temukan tata-etika yang unggul. Maka, kita tidak perlu hairan apabila tata-kelakuan kita sekarang ini yang jauh kurang buas dibandingkan dengan zaman sebelumnya.”
Jadi, sebenarnya muara kepada mekanisme pasar itu sebenarnya bermula dari filsuf yang mengagumi Locke ini. Hatta, idea trias politica, itu juga berasal dari Montesquieu, yang mahu memasti terdapatnya pemisahan ruang nafsu dalam negara. Inilah yang menghasilkan pemisahan wilayah dalam kenegaraan iaitu, judikatif, eksekutif dan legistatif, tersebut. Nah, ketika Adam Smith, bapa pendiri ekonomi moden itu menulis The Wealth of Nations, jelas sekali bahawanya sedang menekuni teliti perdebatan ini. Ternyata, bukunya yang lahir itu adalah antara usahanya untuk mendepani sejarah filsafat manusia-politik-moral ini semenjak Renainsans. Jadi, tidak seperti yang disangka ramai, Smith sama sekali tidak berniat untuk menulis ilmu ekonomi. Tapi, natijahnya berbeza. Natijah nyatanya, adalah filsafat manusia, politik, moral, semuanya saling berjalinan, sehingga melahirkan ilmu ekonomi tersebut.
Khatimah
Arakian, sebagai rumusannya, kembalilah kita pada kalimat awal, ilmu ekonomi itu adalah: “kelelahan sejarah panjang filsafat politik yang—mahu menghuraikan manusia yang sesungguhnya.” Ternyata—setelah menelusuri dari Plato, Zaman Pertengahan, Zaman Renainsans yang menghadhirkan Machiavelli, Hobbes, Locke, Montesquie, lalu Smith—maka itu semuanya membuatkan ragam bidang berkumpul demi satu maksud: untuk menghuraikan manusia yang hakiki. Jelas, manusia yang hakiki bukan lagi dalam utopia-nya Plato. Kini politik moden telah mula menghargai prinsip “apa yang adanya,” berbanding “apa yang seharusnya.”
Mungkin, tidak ada kesimpulan terbaik dalam membicarakan jalan panjang filsafat politik ini, melainkan sebuah muhasabah kembali seluruh perjalanan debat ini. Khususnya dari Plato, kita sebelumnya dipinta untuk mematuhi rasional. Manakala, dari Machiavelli, kita disandarkan pada kemuliaan. Sementara pada Hobbes, kita dipasakkan dengan hak-untuk-hidup. Sebaleknya, pada Locke, kira harus memperjuangkan hak-untuk-memiliki. Kemudian, pada Montesqueiu pula, mula memperbaiki sistem traksasi. Sebelum, akhirnya pada Smith membukukan The Wealth of Nations, buku besar ekonomi ini. Yang anehnya, sekali lagi, Smith langsung tidak berhasrat untuk mendirikan ilmu ekonomi. Sebaleknya, lahirnya ilmu ekonomi itu adalah dari dari sebuah kecelakaan filsafat politik tersebut.
Justeru, antara ekonomi dengan politik, keduanya adalah berdampingan. Dan, jika ada seruan pemisahan, maka pasti sejarah akan membentaknya! [Jalan Telawi, 25 Mac 2010]
Thursday, March 25, 2010
Manusia dan Politik-Ekonomi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Salam Aqil, "penyeru pemisahan" ekonomi dan politik yang saudara maksudkan disini adakah merujuk golongan pro-pasaran bebas Libertarian?
Post a Comment