www.flickr.com

Monday, October 25, 2010

Agama dalam Ruang Publik: Menimbang Kembali Sekularisme*

Oleh F. Budi Hardiman


Berhentilah dengan nafsumu, dan engkau akan menjadi beriman” - Blaise Pascal

Kira-kira dua setengah abad silam, masyarakat Eropa menghasilkan suatu cara untuk mengakhiri absolutisme agama dan konflik-konflik agama. Mereka memisahkan agama dan politik dengan mengurung agama di dalam kebungkaman ruang privat. Pemisahan itu merupakan sebuah prestasi peradaban yang penting yang memungkinkan sebuah masyarakat memiliki kebebasannya untuk menggunakan rasio di dalam ruang publik tanpa sensor dari keyakinan-keyakinan agama. Dewasa ini, di awal abad ke-21, pemisahan antara agama dan politik itu mulai diguncang dan dipersoalkan kembali. Penghancuran menara kembar di New York pada 11 September 2002 dapat dilihat sebagai permulaan era baru yang menyudahi era masyarakat sekular itu. Menurut filsuf Jerman kontemporer, Jürgen Habermas, kita sedang memasuki era “masyarakat post-sekular” yang di dalamnya sekularisasi harus diinterpretasikan secara baru sebagai proses saling belajar antara pemikiran sekular dan pemikiran religius.[1]

Ada masalah serius di balik pemakluman era itu. Pemisahan antara agama dan politik dalam modernitas selama ini ternyata hanya menghasilkan pseudo-toleransi. Baik komunitas-komunitas sekular maupun agama tidak sungguh-sungguh saling belajar. Toleransi dimengerti secara keliru dalam bentuk sikap ignorant dan laissez-faire. Akibatnya, yang berlangsung hanyalah sekedar “gencatan senjata” antara agama dan politik. Gaung alasan-alasan religius tidak diinginkan didengarkan di ruang publik, dan keadaan ini justru bergulir pada konsekuensi yang amat berbahaya, yakni merebaknya kekerasan atas nama agama akhir-akhir ini dalam lanskap politik global. Dalam konteks ini marilah kita menimbang kembali sekularisasi untuk menemukan cara yang bijak dan bajik untuk hidup dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia.

Emansipasi dari Absolutisme Agama

Apa itu “sekularisasi”? Kata ini berasal dari kata Latin “saeculum” yang berarti “zaman”, atau “saecularis” yang berarti “duniawi”.[2] Di Barat kata ini secara luas diartikan sebagai pemisahan antara gereja dan negara. Mengingat klaim agama atas kemutlakan dan totalitasnya yang terwujud dalam masyarakat Barat tradisional, sekularisasi dapat diartikan sebagai proses emansipasi tatanan politis dari dominasi dan determinasi agama. Proses ini harus dimengerti sebagai suatu pencapaian peradaban Barat yang mencakup berbagai aspek kehidupan.

Secara intelektual, sekularisasi berlangsung di dalam filsafat dan sains modern. Konsep-konsep seperti “jiwa”, “dosa” dan “surga” yang dalam agama diulur jauh ke dunia transendental oleh psikologi dijelaskan sebagai gejala-gejala emosi dan imajinasi. Substansi Kitab Suci pun diselidiki secara historis dan eksegetis untuk menemukan asal-usul profannya dalam persilangan kepentingan politis, sosial, kultural dan ekonomis zaman teks-teks itu ditulis. Jika diartikan secara sangat longgar, sekularisasi sudah terjadi di abad ke-5 SM, yakni dalam filsafat Yunani, ketika pemikiran argumentatif melepaskan diri dari narasi mitis. Sekularisasi adalah demitologisasi. Namun proses itu juga suatu pemisahan antara dunia-sini dan dunia-sana, sebab bila dirunut jauh sekali, proses ini, seperti diinterpretasi oleh Harvey Cox dalam The Secular City, bahkan sudah terjadi dengan penciptaan dunia: Bahwa Allah menciptakan dunia berarti bahwa dunia ini bukan Allah (seperti dalam panteisme), dan dunia itu otonom sebagai ciptaan, yakni Allah memberikan asas perkembangan internalnya sendiri, maka tak ada yang magis di sana. Ini mengingatkan kita pada konsep Max Weber “disenchantment of the world” yang merangkum apa yang terjadi dalam sekularisasi, yakni pemisahan dunia-sini dan dunia-sana. Pemisahan antara Gereja dan negara, agama dan politik yang menjadi fokus diskusi kita di sini, dapat dilihat sebagai institusionalisasi legal-politis atas segala proses mental yang mendasarinya.

Mengapa Barat mengambil jalan sekularisasi untuk peradabannya? Sekularisasi adalah respons terhadap sebuah problem yang berabad-abad mencengkeram manusia: absolutisme agama. Sebagai sistem dunia total agama dan simbol-simbolnya melekat pada kekuasaan politis dan memegang monopoli interpretasi atas apa yang wajib dilakukan dan dipikirkan oleh individu untuk keselamatannya di dunia dan di akherat. Agama itu politis, dan politik itu religius, maka tak satu milimeterpun gerak-gerik individu dapat luput dari kontrol kekuasaan. Jika negara melebur dengan agama, norma-norma hukumnya disakralisasi, dan negara pun menjadi aparatus yang mengurusi kebenaran dan jalan keselamatan yang dipilih rakyatnya. Atas nama Allah suatu otoritas politis dianggap sah untuk mengawasi pikiran, keinginan, perasaan dan iman individu. Secara amat ganjil, kekhawatiran akan keselamatan jiwa-jiwa pun menjelma menjadi teror atas masyarakat, sebab negara merasa berhak meluruskan pikiran dan keyakinan moral-religius warganya. Kebebasan individu dipasung; pemakaian rasio pun dicurigai sebagai racun bagi iman.

Persoalan sesungguhnya tidak terletak pada klaim kemutlakan kebenaran iman itu sendiri – yang memang wajar dimiliki setiap orang beriman sebagai orientasi nilainya -, melainkan penggunaan klaim iman itu dalam ruang publik. Jika kebenaran iman dipakai sebagai norma publik, iman yang selewengkan secara ideologis inipun membrangus pikiran. Apa yang disebut fideisme ini mengandung paradoks dalam dirinya: Ia mencurigai pikiran, namun ia sendiri ternyata sebentuk pikiran, yakni pikiran yang membunuh pikiran. Buah yang dapat dituai dalam ruang publik adalah benturan ideologis antara “iman kita” dan “iman mereka” yang memicu konflik massa. Penuainya tentu saja bukan agama, melainkan penguasa politis yang secara licik menggunakan agama sebagai bahan bakar untuk memobilisasi massa. Agama, keyakinan tulus akan keselamatan, berubah menjadi alat kuasa untuk mengalihkan motivasi berkorban kepada Allah ke dalam kesediaan untuk menumpahkan darah demi kepentingan ideologis-politis yang picik. Lewat sekularisasi, masyarakat Barat menemukan jalan keluar dari patologi ini dengan menarik agama dari posisi publiknya ke dalam ruang privat. Sikap-sikap sekular dalam negara liberal dewasa ini dapat dikembalikan pada “jalan khas” yang diambil oleh Barat dalam proses peradabannya itu.

Dua Macam Jebakan

Absolutisme agama bukanlah satu-satunya patologi. Jika mau menimbang kembali pemisahan agama dan politik itu, kita harus berhadapan dengan sebuah pengalaman negatif lain: patologi sekularisasi. Di sini terjadi semacam “dialektika sekularisasi”: Pemisahan agama dan negara yang membawa pada sukses emansipasi dari absolutisme agama itu mengambil konsekuensi radikalnya dalam bentuk sekularisme, yaitu doktrin yang sama sekali menolak dan dengan sengit menyingkirkan segala iman religius dan alasan religius dalam kehidupan bersama secara politis. Agama dianggap irrasional, maka tidak berhak bersuara dalam ruang publik.

Di sini sekularisasi yang ingin membangun ruang publik yang pro-pluralisme dalam sekularisme malah berbalik menjadi intoleransi terhadap alasan-alasan religius. Negara liberal sekular ingin mempertahankan netralitasnya di hadapan berbagai orientasi nilai yang majemuk dalam masyarakat, tetapi ini dilakukan sering dengan ongkos memblokade alasan-alasan religius sebagai privat dan mengancam kepentingan keseluruhan. Dalam kondisi eksesif, negara hukum liberal ingin menjadi semacam mesin legal-politis yang bergerak sendiri lepas dari sumber-sumber religius, tetapi ia lupa bahwa warganegara memiliki motivasinya untuk mematuhi hukum lewat orientasi-orientasi nilai yang antara lain juga bersumber dari nilai-nilai religius. Bahkan asas netralitas dan fairness yang mendasari praktik birokrasi modern pun memperoleh tenaganya dari agama.

Sekularisme berciri patologis tak hanya karena ia tak mampu menerima alasan-alasan religius sebagai bagian yang wajar dalam demokrasi, melainkan juga ia ingin menyingkirkan religiositas itu sendiri. Di abad ke-18, dalam deisme Allah dianggap menganggur setelah penciptaan. Di abad ke-20, Dia dianggap tak lagi perlu ada. Tetapi bila Allah dianggap mati, manusiapun bermain sebagai Allah dalam sains dan teknologinya untuk merakit manusia atau menghancurkannya lewat mesin perang. Manusia yang bermain sebagai Allah inipun segera menghancurkan kemajemukan dan kemanusiaan itu sendiri. Jika perasaan-perasaan terdalam terhadap Yang Kudus terkikis habis, manusia itu sendiri mati sebagai manusia. Manusia yang didesakralisasi seluruhnya menjadi seonggok daging yang siap dimangsa entah oleh modal atau kuasa.

Negara hukum modern, juga republik Indonesia, menghadapi dua macam jebakan yang dihasilkan lewat sekularisasi. Negara masuk ke dalam jebakan sekularisme jika menyingkirkan setiap alasan religius yang diyakini oleh para warganegaranya yang beriman. Namun di ujung lain menganga jebakan fundamentalisme agama, jika negara menerima begitu saja alasan religius dan menjadikannya regulasi publik. Negara hukum demokratis harus piawai berselancar di dalam tegangan kedua sisi itu tanpa terjerembab ke dalamnya, karena sebuah masyarakat majemuk diancam dari kedua sisi gulita itu.

Masyarakat Post-Sekular

Suatu masyarakat memasuki kondisi “post-sekular”, jika waspada terhadap kedua macam jebakan di atas dalam proses legislasi hukumnya. Masyarakat seperti ini melihat sekularisasi sebagai proses belajar antara pemikiran sekular dan pemikiran religius. Tanpa prasangka, keduanya dipandang komplementer. Negara liberal tak sanggup mengatasi krisis motivasi di dalamnya hanya dari asas-asas sekularnya sendiri. Dibutuhkan kesediaan untuk mendengarkan suara nilai-nilai yang lebih mendalam yang disumbangkan agama. Komitmen, keutamaan, kejujuran dan bahkan civil courage sebagaimana dipraktikkan oleh Martin Luther King Jr. berasal dari perigi-perigi yang lebih primordial daripada konstitusi negara modern.

Dalam kondisi post-sekular itu para warganegara sekular harus bersedia mendengarkan kontribusi-kontribusi rekan-rekannya yang religius, karena kerap kali di dalam kepompong alasan-alasan mereka yang partikular terkandung kebenaran-kebenaran yang lebih umum. Sebaliknya, para warganegara yang beriman harus belajar dari para warganegara sekular atau yang beriman lain untuk mengarahkan segala alasan mereka yang absolut namun partikular itu kepada rasionalitas publik. Juga sekiranya hanya tersedia bahasa agama dalam masyarakat, para warganegara dari iman yang sama itu pun hanya dapat saling mengerti sebagai warganegara sebuah res publica (hal umum) yang inklusif.[3] Atas dasar ini peraturan-peraturan publik yang bertumpu pada agama tertentu sudah pasti melanggar asas kepublikan itu. Norma-norma macam begitu memakai ‘bahasa rumah’ yang tetap asing bahkan di telinga para penganut agama itu sendiri, karena di dalam res publica mereka itu bukan umat atau jemaat, melainkan warganegara.

Dengan memberi peluang dialog publik bagi aspirasi-aspirasi religius, masyarakat post-sekular tidak sedang membangunkan singa yang tertidur, melainkan ingin bersikap fair terhadap kelompok-kelompok agama dalam demokrasi. Alasan-alasan religius dalam masyarakat majemuk tetap harus dipandang sebagai gambaran dunia yang diyakini absolut dan universal, namun ternyata menjadi relatif dan partikular di hadapan fakta pluralitas.

Dalam proses diskursif dalam ruang publik politis, alasan-alasan religius dapat menjadi kontribusi-kontribusi dalam diskusi bebas. Juga sejak di sini, para warganegara beriman harus menerjemahkan ‘bahasa rumah’ dari agama mereka ke dalam ‘bahasa publik’ yang tanpa paksaan meyakinkan para pendengar mereka yang sekular atau dari agama-agama lain. Aspirasi religius dalam ruang publik tak boleh dibentengi dari kritik rasional, seolah-olah keyakinan itu dimargasatwakan sebagai spesies-spesies langka yang harus dilindungi. Sebaliknya, warganegara beriman harus berusaha meninggalkan perspektif etnosentris mereka tanpa kehilangan identitas religius mereka. Di tengah-tengah globalisasi yang membuka peluang-peluang kontak yang baru di antara pemikiran sekular dan pemikiran religius, agama pun harus membuka diri terhadap perubahan dengan meraih wawasan yang lebih pluralis-kosmopolitan. Tantangan terberat masyarakat post-sekular adalah menerjemahkan “isi epistemis” keyakinan-keyakinan religius yang spesifik itu ke dalam perbincangan rasional yang penuh saling pengertian. Dan kita yang sudah selalu akan hidup dalam masyarakat majemuk tak bisa lain kecuali bekerja keras untuk menjawab tantangan itu.

Daftar Pustaka
Habermas, J., Zwischen Naturalismus und Religion, Suhrkamp, Frankfurt a.M., 2005
Maier, Hans (ed.), Totalitarismus und politische Religionen, Schoeningh, Padeborn, 1996
Marga, Andrei, Die Debatte Habermas-Ratzinger: Annëherungen und Auswirkungen, Gewissen und Freiheit Nr. 61/2005.
Rahner, Karl (ed.), Herders Theologisches Taschenlexikon, jilid 6, Herder, Freiburg i.B.

* Ceramah ini didiskusikan di Teater Utan Kayu, Jl. Utan kayu 68H, pada 22 Maret 2007 pada peringatan hari ulangtahun ke-6 Jaringan Islam Liberal.
1 Lih. Marga, Andrei, hlm. 58
2 Lih. Rahner, K., hlm. 319 dst.
3 Lih. Habermas, hlm. 136

No comments: