www.flickr.com

Tuesday, October 26, 2010

Demokrasi dan Kompleksitas: Sebuah Tilikan dengan Teori Sistem

Oleh F Budi Hardiman

Mengapa reformasi tidak segera mereduksi kompleksitas dan justru meningkatkannya? Sistem kuasi-organis Orde Baru belum sungguh diganti oleh sistem semiotis yang menjadi dasar demokrasi, melainkan berkoeksistensi dengannya sebagai sistem bayangan. Dari ambivalensi ini direproduksi suatu sistem hiprokrisi di berbagai bidang, yakni suatu eksterior demokratis-seremonial dan interior kleptokratis-paternalistis.

"Bahasa memindahkan kompleksitas sosial ke dalam kompleksitas psikis" - N Luhmann

Menurut penggagas utama teori sistem di Jerman, Niklas Luhmann (+1998), sistem terbentuk melalui negentropi, yaitu reduksi atas kompleksitas. Rak buku, neuron, Windows XP, atau negara hukum termasuk negentropi itu.

Sistem adalah strategi untuk mengatasi khaos atau apa yang dalam termodinamika disebut entropi. Jika transisi dari entropi ke negentropi bisa disebut formasi tatanan, proses yang sebaliknya disebut destruksi. Keduanya adalah transformasi. Luhmann menjelaskan bahwa lingkungan (Umwelt) selalu lebih kompleks daripada sistem. Bila Busway di Jakarta, misalnya, tidak mampu mereduksi kompleksitas lalu lintas, proyek ini gagal membentuk batas antara sistem dan lingkungan, maka tak terbentuk negentropi yang merupakan solusi masalah lingkungan. Eskalasi kompleksitas justru menelan sistem.

Tilikan teori sistem ini mungkin dapat membantu kita untuk memahami krisis berkepanjangan dalam masyarakat kita. Transisi dari otokrasi ke demokrasi bukanlah perubahan yang sesederhana pergantian personalia sebuah perusahaan karena yang berubah di sini bukan hanya perilaku sosial, melainkan juga sistem sosial. Bagaikan jebolnya sebuah bendungan yang meningkatkan kerumitan lingkungannya dalam bentuk banjir, kerusakan, dan kematian, hancurnya sebuah sistem politik meningkatkan kompleksitas lingkungannya, yakni ekonomi, budaya, dan kepribadian.

Pertanyaan kita lalu, mengapa sistem-sistem sosial yang ada dalam era reformasi ini, seperti sistem hukum, sistem politik, sistem parlementer, dan seterusnya tidak segera mereduksi kompleksitas seperti yang pernah secara mengesankan sekali dibuktikan oleh sistem politik otokratis Orde Baru selama tiga dasawarsa. Dugaan umum bahwa sistem otoriter masih operasional pada ranah sosio-kultural dan berkoeksistensi dengan sistem demokrasi yang menuntut fairness dan transparansi layak untuk dijelaskan dalam sebuah kerangka teoretis. Dan, teori sistem Luhmann kiranya dapat memberikan sebuah tilikan yang menarik mengenai ambivalensi sistemis dalam transisi menuju demokrasi itu.

Sistem, otopoiesis, dan "emergence"

Teori sistem membedakan tiga macam sistem: sistem mekanis (mesin), sistem organis (makhluk hidup), dan sistem semiotis (kesadaran/bahasa). Rezim otoriter seperti Orde Baru tentu bukan sistem mekanis atau organis, melainkan semiotis karena sistem ini menggunakan bahasa atau makna untuk menaklukkan, yaitu ideologi dan teror. Namun, makna di sini, yakni konsep negara integralistik, dimodelkan secara organistis. Otokrasi adalah sistem semiotis yang ingin meniru sistem organis. Kita dapat menyebutnya sistem kuasi-organis "seolah-olah organis". Entropi, yakni konflik etnis, religius, dan ideologis ingin diatasi dengan model sistem biologis, seperti sel, serangga, pohon. Organisme tidak memiliki tujuan lain selain dirinya sendiri, maka peristiwa-peristiwa dalam lingkungannya tidak memiliki nilai informatif, melainkan baginya adalah sebuah gangguan.

Luhmann menyebut ciri setiap sistem sosial autopoiesis (menghasilkan sendiri). Yang dimaksud bukan bahwa sistem tak membutuhkan apa-apa dari lingkungannya, melainkan bahwa keutuhan sistem itu direproduksi oleh dirinya sendiri. Rezim otoriter juga merupakan sistem otopoietis: ia memangsa komponen-komponen asing dalam lingkungannya (oposan, minoritas, disiden) sebagai gangguan untuk mencapai otonominya sendiri. Beroperasi dengan kode memangsa/dimangsa, sistem kuasi-organis ini meniru mesin-mesin predator dalam rimba.

Sistem kuasi-organis tidak "tahu" sama sekali apa yang terjadi dalam lingkungannya karena tak berlangsung pertukaran informasi di antara keduanya. Humberto Maturana mencontohkan ini dengan seorang pilot yang berhasil mendarat dan penerbangannya dipuji. Pilot ini menjawab bahwa ia tidak terbang dan tidak mendarat, melainkan hanya memanipulasi tombol-tombol pada pesawatnya dan mengikuti prosedur teknis. Begitulah perilaku aparat dan birokrat dalam rezim otoriter yang setelah melakukan represi, diskriminasi, dan marginalisasi terhadap masyarakat tak merasa melakukan semua itu karena ia hanya merasa mengikuti prosedur teknis. Kompleksitas lingkungan direduksi tidak dengan dialog, melainkan dengan isolasi dan homogenisasi. Dari luar terlihat suatu negentropi yang menakjubkan, tetapi dari dalam sistem itu dialami sebagai negativitas, yakni massa, teror, dan trauma.

Teori sistem menjelaskan demokrasi sebagai transisi dari model kuasi-organis ke model semiotis dalam mengelola negara. Menurut teori sistem, transisi dari sistem organis ke sistem semiotis terjadi sebagai lompatan evolusioner atau suatu peningkatan ke taraf yang lebih tinggi. Istilah yang dipakai adalah emergence: ketimbalbalikan pada ranah mikroskopis, misalnya, jejaring neuron, menghasilkan kualitas baru pada ranah makroskopis, yaitu kesadaran. Begitu juga organisasi diri para individu yang bebas dan setara dalam masyarakat demokratis adalah suatu emergence, yakni menghasilkan kompleksitas sistemis baru yang tak dapat ditampung oleh model kuasi-organistis. Kualitas baru hasil lompatan evolusioner yang tidak terdapat dalam sistem organis itu adalah sistem makna atau kesadaran, dan dalam demokrasi "entitas semiotis" yang merupakan emergence dari organisasi-diri masyarakat ini adalah ruang publik politis yang berdaulat.

Seperti semua sistem lainnya, demokrasi sebagai sistem semiotis juga merupakan suatu strategi untuk mengatasi khaos. Kompleksitas tidak direduksi "dari luar" belaka, yaitu sebagai problem teknis-obyektif, melainkan juga "dari dalam", yaitu sebagai problem hermeneutis-intersubyektif, sebab—seperti dikatakan Luhmann—sistem makna "tidak ada" bagi pengamat dari luar; ia ada bagi partisipan komunikasi yang melibatkan diri ke dalamnya. Karena itu, ruang publik politis "tidak ada" bagi para otokrat; ia ada bagi para demokrat yang merajut organisasi diri masyarakat mulai sel terkecil sampai pada jejaring makro suatu emergence yang disebut kedaulatan rakyat. Namun, sebelum sampai ke lompatan evolusioner yang dapat dibandingkan dengan lompatan dari organisme ke kesadaran itu, suatu entropi akibat transisi dari model organis ke model semiotis harus dihadapi.

Dengan meningkatnya kompleksitas lingkungan akibat globalisasi pasar dan dorongan demokratisasi, sistem politis Orde Baru tak lagi mampu mengelola kompleksitas. Reproduksi konsensus secara monologal oleh rezim otoriter itu tak lagi sanggup mereduksi kompleksitas lingkungannya yang semakin pluralistis. Jebolnya sistem kuasi-organistis yang gigantis itu menghasilkan pluralisasi sistem yang menempatkan model kuasi-organis hanya sebagai salah satu sistem di antara sistem-sistem lain dalam sebuah sistem semiotis terbuka yang disebut ruang publik politis. Jika sebelumnya Orde Baru mengidentifikasi diri dengan mengaburkan identitas sistem-sistem lainnya, kini dalam demokrasi berbagai sistem identitas—entah itu religius, etnis, politis, kultural, dan seterusnya—meruncing dan membentuk "sekte-sekte sosial" yang imun. Krisis politis tidak diatasi sampai berbagai sistem imun ini berinterpenetrasi membangun jejaring masyarakat warga.

Diskursus perbatasan dan krisis kebangsaan

Teori sistem berbicara tentang diskursus perbatasan (Grenzdiskurs), yaitu bentuk komunikasi yang menolak komunikasi. Itulah penjelasan teori sistem bagi kompleksitas baru yang secara sentimental disebut krisis kebangsaan. Berbeda dari diskursus argumentatif yang mencari konsensus rasional dalam sebuah dunia bersama atau "kekitaan", diskursus perbatasan memaklumkan demarkasi antara dunia kita dan dunia mereka. Batas itu berbunyi "dunia-ku adalah dunia-ku, dunia-mu adalah dunia-mu". Alih-alih melalui distansi dan deliberasi, diskursus ini menuntut suatu keputusan melalui partisipasi dan misi, maka ia berciri naratif, mitis, narsistis, dan ritual. Tidaklah mengherankan bahwa suatu komunikasi yang produktif dengan para fanatikus dan fundamentalis mendekati kemustahilan sebab mereka melakukan senandika (soliloqui) di hadapan yang lain.

Diskursus perbatasan mereproduksi komunitas-komunitas narsistis pemuja ortodoksi agama, keunggulan etnis, ataupun supremasi ideologis. Kode semiotisnya: "kita versus mereka". Kita selamat, mereka sesat. Sistem semiotis yang dihasilkannya adalah sebuah senandika berbahaya yang mengantar pada kekerasan kolektif dan konfrontasi sistem-sistem pandangan dunia. Komunikasi diganti kebungkaman.

Menurut Luhmann, kebungkaman adalah juga bentuk komunikasi, yaitu "pernyataan" untuk berhenti berkomunikasi. Komunikasi tidak berhenti dengan kebungkaman, bukan hanya karena kebungkaman adalah suatu bentuk pernyataan, tetapi juga karena—demikian Luhmann—"interpretasi atas kebungkaman melayani otopoiesis komunikasi". Agenda-agenda terorisme, manajemen-manajemen kleptokratis, organisasi-organisasi sektarian, dan seterusnya dalam demokrasi membenturkan atau menyembunyikan dunia satu dengan dunia lainnya seolah tak mungkin dihubungkan satu sama lain. Berbeda dengan kepercayaan timbal balik yang mereduksi kompleksitas, ketidakpercayaan timbal balik ini meningkatkan kompleksitas sosial.

Hipokrisi dan transparansi

Pertanyaan mengapa reformasi tidak segera mereduksi kompleksitas dan justru meningkatkannya dapat kita jawab di sini. Sistem kuasi-organis Orde Baru belum sungguh diganti oleh sistem semiotis yang menjadi dasar demokrasi, melainkan berkoeksistensi dengannya sebagai sistem bayangan. Dari ambivalensi ini direproduksi suatu sistem hiprokrisi di berbagai bidang, yakni suatu eksterior demokratis-seremonial dan interior kleptokratis-paternalistis. Manajemen politis yang tak transparan membutuhkan berbagai sistem imun untuk melindungi penyimpangannya dari kontrol publik. Dusta meningkatkan kompleksitas sistem komunikasi lewat distorsi-distorsi komunikasi yang mereproduksi sistem-sistem ad hoc serumit ornamen gereja Barok untuk menyembunyikan kepentingan parsial. Apa yang dapat kita katakan tentang produk kebijakan era reformasi yang mengatur moralitas dan agama selain bahwa telah terjadi barokisasi di sini? Bukankah eskalasi kompleksitas sosial itu direpetisi oleh individu sebagai kompleksitas psikis, yakni sebagai karakter hipokrit?

Transisi dari organisasi dari atas ke organisasi diri dari bawah melibatkan ketimbalbalikan seluruh sel-sel (baca: microsystems) sosial secara struktural dan mental, padahal sel-sel itu telah dilumpuhkan oleh rezim otoriter yang selama tiga dasawarsa melakukan senandika tentang dunia politis dan ideologinya sendiri. Sikap-sikap tiranis, pemerasan, manipulasi yang dulu dijalankan secara sistemis oleh rezim otoriter, sekarang direpetisi oleh "sekte-sekte sosial" yang menghalangi pertumbuhan sel-sel organisasi diri warga yang masih sedikit dan lemah. Rivalitas keduanya sering dimenangkan oleh sekte-sekte sosial itu yang mengorganisasi diri lebih "baik" daripada warga baik-baik. Argumentasi adalah sia-sia karena mereka melakukan diskursus perbatasan yang menghalangi organisasi diri warga. Kegagalan sel-sel organsasi-diri pada ranah mikrosistemis untuk membentuk jejaring komunikasi pada ranah makrosistemis ini menghalangi terciptanya tatanan emergence kedaulatan rakyat.

Teori sistem menjelaskan "demokrasi" sebagai sistem semiotis yang mampu beradaptasi dengan kompleksitas lingkungannya. Sistem itu akan makin terdiferensiasi secara internal untuk mereduksi kompleksitas di luarnya yang juga makin meningkat. Jika buku-buku berbagai tema terserak dan menimbulkan kebingungan saat mencari salah satu tema, misalnya, kompleksitas ini hanya bisa diatasi lewat sistem katalog yang sangat terdiferensiasi dalam sebuah perpustakaan yang kompleks. Begitu juga globalisasi pasar dan informasi "menyerakkan" berbagai gaya hidup dan orientasi nilai. Sistem yang "cerdas" mampu mereduksi kompleksitas itu dengan mewadahi berbagai kontradiksi sosial; sistem yang "pandir" cenderung menambah kompleksitas dengan banyak disfungsionalitas.

Menurut Luhmann, protes merupakan bagian sistem semiotis, maka demokrasi tidak mengucilkan protes, melainkan memasukkannya ke dalam dinamika komunikasi politis yang dilihat secara sistemis berciri anonim. Ruang publik politis tak lain daripada "aliran tema dan informasi" yang anonim karena bagi teori ini, manusia "adalah" suatu penanda (signifier) dalam bahasa. "Emosi", seperti diusung oleh gerakan-gerakan protes, adalah juga informasi-informasi dalam sirkulasi komunikasi anonim dalam ruang publik. Mereka marah, frustrasi, dan agresif, tetapi pesan yang disampaikan secara semiotis tak lain daripada hanya: atau "ya" atau "tidak"—tak lebih daripada itu. "Tak ada sekuensi komunikasi yang dapat menjelaskan apakah orang sungguh memiliki emosi-emosi", demikian Luhmann. Protes adalah "sistem-sistem imun" yang menguji realitas demokrasi pluralistis dalam masyarakat kompleks. "Gerakan-gerakan sosial memiliki fungsi untuk mengajak bicara tentang realitas-realitas dari jenis yang lain." Sistem demokrasi yang mampu berkomunikasi dengan sistem-sistem protes adalah sebuah sistem kompleks yang mampu mengelola kompleksitas lingkungan yang hiperkompleks.

Mereduksi kompleksitas demokrasi bergantung pada transparansi dan fairness. Tanpa dua hal ini, terjadi eskalasi kompleksitas karena sistem yang tidak transparan dan tidak fair, misalnya korupsi, akan membutuhkan sistem-sistem hipokrisi untuk menyembunyikan kepentingan parsialnya. Korupsi sebagai sistem dengan berbagai lapisan sistem pelindungnya merumitkan komunikasi dan meningkatkan kompleksitas yang disfungsional bagi keseluruhan. Sebuah sistem yang hampir serumit lingkungannya akan ditelan oleh lingkungannya dan mendestruksi dirinya. Sebaliknya, transparansi dan fairness meningkatkan public trust dan membuka komunikasi. Negentropi dalam komunikasi agaknya bertumpu pada asas sederhana ini: "Jika ya katakan ya, tidak katakan tidak, karena selebihnya berasal dari si jahat." Dari asas itulah kepercayaan timbal balik sebagai sistem otopoiesis diproduksi.

F Budi Hardiman Staf Pengajar STF Driyarkara dan Universitas Pelita Harapan

No comments: