“Dengan nama Allah, Tuhan Muhammad, utusan terakhir yang mempunyai kesedaran, kemampuan dan kemerdekaan. Tuhannya Imam ‘Ali, teladan muslim sejati, korban penindasan, pemimpin umat manusia.
Dengan nama Allah, pencipta rumah Fathimah yang dengannya kita mengharapkan kebebasan, rumah kecil yang sama besarnya dengan seluruh alam raya.
Dengan nama Allah, Tuhannya Abu Dharr, contoh seorang mustadha’fin, rakyat yang tertindas masa silam dan masa kini; Tuhan dari mereka yang sepanjang sejarah telah menderita dan mengalami seksaan, dan mereka yang sekarang tetap menahan kesengsaraan sampai zuhurnya kembali Imam Kedua Belas. Allah milik mereka yang telah dipisahkan dari harta dunia sepanjang sejarah. Meskipun miskin, mereka selalu mengikuti jalan Ibrahim dan mewarisi kemampuan berjuang untuk mencapai kebebasan dari masa Adam sampailah Husayn, dari yang terakhir itu sampai alam baqa’, mereka akan terus berjuang untuk menyelamatkan umat manusia.” — Ali Shari’ati (1986), What is To Be Done: The Enlightened Thinkers and Islamic Renaissance
Latar Awal Pemikiran
Membaca Ali Shari’ati—sama ada latarnya, karyanya, mahupun seruannya—adalah seperti membaca beragam wawasan baru dalam pemikiran Islam. Tema-tema yang disemarakkannya sering saja mengundang rasa gementar, lantaran sisi pencerahannya dari pesanannya serta sisi meresahkan bagi mereka yang berada berseberangan.
Lazimnya, tema-tema Shari’ati bukanlah baru secara per se, tetapi lebih berupa pemugaran kembali keaslian pemikiran yang sekian lama tertanam dalam tradisinya. Bicara Shari’ati dalam beragam tema—tentang raushanfekran, tentang dialektik Marxisme, tentang ’irfan dan futuwwat, tentang ekstansialisme, tentang muslimah ideal, tentang humanisme, tentang filsafat hijrah, tentang mustadh’afin, tentang intizhar, tentang dimensi du’a, tentang anti-imperialisme, tentang kritik agamawan, tentang fungsi imamah dan khalifah, tentang filsafat hajj, tentang shia alavi dan shia safavid, tentang shahid—kesemuanya rata-rata kelihatan berlingkar dalam satu nada: tawhid, atau bahasa lainnya, monoteisme.
Kini persoalan pertama yang wajar dikemukakan ialah, bagaimana Shari’ati mampu berbicara tentang tema-tema ini dalam satu wawasan yang sangat menyegarkan? Memang, dikira tidak ada jawapan yang paling tepat melainkan jawapan dari guru pertamanya sendiri.
Menurut Laleh Bakhtiar (1996) dalam Shariati on Shariati and the Muslim Woman: Who Was Ali Shariati?, guru pertama Shari’ati adalah Muhammad Taqi Shari’ati, ayahnya sendiri. Ayahnya yakin dan percaya, latar Shari’ati sewaktu kecil inilah yang membentuk bingkai pemikirannya di hari-hari kemudian. Malah, Shari’ati pernah beberapa kali mengungkapkan betapa berharganya khutub khanah milik ayahnya terhadap khazanah pengetahuan yang tersemat dalam dirinya, yang kata Shari’ati lagi, setiap kata-kata di helaian buku-buku tersebut masih diingatinya sampai dewasa.
Tambah Laleh Bakhtiar tersebut, ayah Shari’ati pernah bercerita, saat Shari’ati masih lagi kanak-kanak, bagaimana setiap waktu tengah malam ia sering menjenguk dan menasihati Shari’ati agar menyambung saja bacaannya keesokan harinya. Lalu ayahnya memadamkan lampu bilek Shari’ati. Namun begitu, kemudian di awal pagi, sekali lagi ayahnya kembali ke sana, didapati bilek lampu Shari’ati cerah semula.
Malah, Ali Rahnema (2000) dalam An Islamic Utopian: A Political Biography of Ali Shari’ati turut merakam sumbangan khutub khanah ayahnya pada Shari’ati. Kata Rahnema, di sana Shari’ati telah berkesempatan membaca banyak karya-karya besar. Ini termasuklah Les Miserables (Victor Hugo), Mathanawi (Jalaluddin Rumi), berjilid-jilid buku Vitamins dan History of Cinema (kedua-duanya diterjemahkan oleh Hasan Safari), Great Philosophies (diterjemahkan oleh Ahmad Aram), Zan-e Mast, Tadzkirat al-Aulia (Fariduddin Attar), dan lain-lain lagi.
Tidak cukup latar itu sahaja, menurut Syaikh Ali Agha Tehrani, salah seorang agamawan yang dihormati di waktunya, sepertimana yang sekali lagi dikutip oleh Laleh Bakhtiar (1996) sendiri, hampir kesemua tulisan-tulisan Shari’ati hakikatnya terangkum dalam garisan keselanjaran fikiran. Syaikh Tehrani melakukan pemerhatiannya terhadap dua buah buku shahid yang ditulis Shari’ati. Menariknya, ungkap Syaikh Tehrani lagi, kebetulan dua buku tersebut—Abu Dharr-e Ghiffari: Khoda-parast-e Sosialist dan Hurr—adalah buku pertamanya dan juga buku terakhirnya, yang masing-masing memiliki gaya bahasa dan seruan yang sama. Kata Syaikh Tehrani:
”Keruhanian dan kualiti kemanusiaan bagi sarjana dan mujahid agung, Ali Shari’ati adalah sangat mengagumkan fikiran kita. Kegeligaan, keyakinan, keikhlasan, kesedaran, ketekunan, kepastian jalan yang telah diambilnya... Diamati, menerusi kerjanya yang pertama sehinggalah kepada kerjanya yang terakhir, semuanya mempunyai kesatuan matlamat dan haluan.”
Dari pengaruh sewaktu kecil di ”bumi kesyahidannya” (Mashhad) inilah, pemikiran Shari’ati terbina serta menjadi binaan kosmologi tema-temanya. Biarpun setiap fasa kehidupannya sarat dengan penekanan pengalaman yang berbeza, tetapi kerangka pemikiran Shari’ati masih tidak lari dari monoteisme. Umpamanya, sewaktu di peringkat sekolah tinggi dan universiti, Shari’ati pernah terhimbau dengan ide-ide Marxisme yang dibawa menerusi beberapa gerakan kiri seperti Nehzat-i Khodaparastan-i Sosialist, Hizb-e Tudeh, dll.
Menerusi idealog Marxisme Iran, Taqi Arani terutamanya, Shari’ati mula membaca bahan-bahan terjemahan revolusioner Marxisme yang akhirnya mendorongnya meminjam beberapa jargon-jargonnya dalam sebahagian besar analisa Islamnya. Barangkali dari tempias revolusioner inilah, Shari’ati pernah terlibat dalam Nehzat-e Moqavemat-e Melli, sebuah gerakan yang mendukung Mosaddeq. Ketika itu, para mahasiswa yang mempunyai kecenderungan ini terkenal dengan panggilan daneshamuzan-e melli.
Demikian juga ketika melanjutkan pengajiannya di Universiti Sorbonne, Perancis. Seperti yang dinyatakannya sendiri, Shari’ati sempat bergelut, teruja serta terinspirasi dengan pengaruh luar biasa eksistensialisme yang kental diwacanakan oleh gurunya yang pernah menolak hadiah Nobel, Jean Paul Sartre.
Begitu juga dengan aktivisme Che Guevara, yang dapat menggamit keterpesonaan Shari’ati sehingga membawanya kepada penerjemahan karya Guerrilla Warfare dalam bahasa Parsi. Di Sorbonne itulah juga, Shari’ati bergaul akrab dengan beberapa pemikir lain seperti Louis Massignon, Frantz Fanon, Jacques Berque, Albert Camus, dll. Namun, pengaruh terhadapnya yang paling tajam adalah menerusi Gurvitch, professor sosiologinya, yang sampaikan Shari’ati kerap dikenali di kalangan teman-temannya sebagai Gurvitchian.
Demikian deretan latar Shari’ati. Hamparan latar pemikiran yang rencam dan kadangkala mengelirukan. Terdidik dibawah naungan agawaman, terangsang dengan dunia aktivisme-politik semenjak remaja, kemudian bergulat dengan idealogi barat sewaktu menuntut di peringkat tinggi, dan akhirnya mencurahkan segala pengalamannya itu kembali kepada masyarakat terbanyak. Kerana itu, satu aspek tentang Shari’ati yang ingin sekali dicerahkan ialah ialah dimensi kompleksnya, dimensi yang kadangkala sukar dimengertikan oleh mana-mana kelompok sekalipun: yang pada satu kelompok mendakwa Shari’ati merupakan simpatisannya, dan pada saat yang berbeza memusuhinya pula.
Justeru itu, mungkin pendekatan yang paling saksama untuk menelaah terhadap apa yang dibicarakan oleh Shari’ati bukanlah menerusi satu tema tunggal, sebaliknya dari beragam tema, yang mana kesemua tema-tema ini tercantum dalam nada tawhid.
Raushanfekran
Raushanfekran mungkin merupakan gagasan yang paling menarik dari banyak pemikiran Shari’ati. Raushanfekran, pernah satu ketika mencemik emosi sinis dari kalangan akhund di Iran, terutamanya dari kalangan pengikut Ayatollah Milani yang sangat terkenal dengan garis kerasnya. Dalam makna bahasa asalnya, Raushanfekran, adalah merujuk kepada potret seorang intelektual yang tercerah, dan ia juga merupakan bahasa tanding Shari’ati sewaktu mahu meruntuhkan hagemoni politik-agama para akhund dalam pelbagai kelas masyarakat.
Dalam analisa tentang raushanfekran ini, Shari’ati cuba membuka wacana filsafat sejarah, atau khususnya sejarah masa depan. Ini kerana, menurut Shari’ati (1986) dalam What is To Be Done: The Enlightened Thinkers and Islamic Renaissance, setiap perubahan sejarah yang berlaku di kemudian hari, hakikatnya merupakan dampak dari pengaruh sejarah yang terjadi sebelumnya. Jadi, corak sesebuah masyarakat dewasa ini sebenarnya mampu menjadi ukuran serta sukatan kepada sesuatu yang bakal berlaku di masa depan.
Walau bagaimanapun, timbul pertanyaan, siapakah yang mampu memimpin perubahan sejarah ini? Barangkali, di sinilah Shari’ati meletakkan beban tersebut terhadap kaum raushanfekran ini. Barulah setelah itu hadiarnya pertanyaan yang berikutnya pula, siapakah rausyanfekran tersebut? Lalu Shari’ati mendefinisikan raushanfekran:
”Siapa orang yang tercerah itu? Mudahnya ia adalah mereka yang sedar tentang keadaan kemanusiaan di waktunya, serta arus sejarah dan kemasyarakatnya. Kesedaran seperti inilah dengan sendirinya akan memberikannya rasa tanggungjawab sosial. Jika kebetulan ia dari kalangan yang terpelajar, maka ia akan lebih berpengaruh, dan begitulah sebaliknya. Tapi ini bukan hukum umum. Memang, kadangkala mereka yang tidak terpelajar pun dapat memainkan peranannya yang jauh lebih signifikan.”
Malah, dalam bukunya A Glance at Tomorrow’s History, Shari’ati (1985) turut menjelaskan lagi gagasan raushanfekran ini menerusi The Cone Model. Dalam model ini, Shari’ati meletakkan kaum raushanfekran pada tingkat yang paling atas, sementara masyarakat khalayak terletak pada dasar yang paling bawah.
Dari paparan ini, ternyata Shari’ati cuba membayangkan bagaimana tebalnya pengaruh yang mampu digerakkan dari kalangan kaum raushanfekran ini, meskipun mereka terdiri dari kelompok yang minimum. Walau bagaimanapun, dalam gagasan ini juga, terdapat tuntutan agar disemak kembali hubungan antara kaum raushanfekran ini dengan masyarakat. Ini kerana, perubahan dalam masyarakat hanya akan terintis sekiranya kaum raushanfekran ini mengambil aksi sosial. Aksi sosial—yang juga istilah yang akrab dengan Alain Tourine, seorang sosiolog Perancis—seharusnya bersifat kolektif antara raushanfekran dan masyarakat.
Rentetan itu, pendekatan perubahan yang mahu direncanakan oleh raushanfekran seharusnya tidak statik dan mendatar. Pendekatan sewajarnya diatur berdasarkan kepada corak dan arus masyarakat saat perubahan tersebut mahu digerakkan. Sebab itu, dalam kes Iran, Shari’ati melihat peranan dari kaum raushanfekran masih belum sepenuhnya terlimpah dalam semua struktur masyarakat. Malah, takat pengalaman Iran waktu tersebut juga nyata berbeza dengan pengalaman Eropah pada saat abad ke-18 dan ke-19.
Sebagai contohnya, Shari’ati (1982) telah memaparkan perbezaan ini dalam Man and Islam. Dalam buku tersebut, Shari’ati merumus bahawa pengalaman Eropah pada waktu tersebut sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Ini termasuklah pengaruh kelompok terdidik yang menonjol di Eropah waktu tersebut, yang boleh dianggap sebagai jurubicara masyarakat. Begitu juga percikan industrialisasi yang melanda Eropah sehingga perkembangan ini berjaya merapatkan jurang ekonomi di kalangan kelas masyarakatnya. Selain daripada itu juga, bagi Shari’ati lagi, kesedaran sosial yang wujud kalangan proletar dalam masyarakat Eropah pada waktu tersebut sangatlah tinggi. Ekoran dari kombinasi inilah yang kemudiannya melukiskan perbezaan pengalaman Iran saat Shari’ati berbanding dengan pengalaman Eropah pada abad ke-18 dan ke-19.
Dari itu, rumusan untuk merujuk kepada pendekatan terbaik dalam melaksanakan perubahan masyarakat ialah dengan menimbang pendekatan yang paling mesra zaman. Ini kerana perubahan masyarakat dengan mengunakan kaedah tentusisme sejarah ini, adalah bukan berteraskan kepada susun atur masyarakat: feudalisme, bourgeonisme, kapitalisme, imperialisme, sosialisme dan seterusnya. Sebaliknya, menerusi bantuan model kon tersebut, kita harus terlebih dahulu menentukan sejauh mana peranan kelas-kelas masyarakat dan apa arus di bawahnya. Yang harus diteliti juga ialah, siapakah dari tingkat-tingkat kon tersebut yang layak berada di puncak, siapakah yang berada di pertengahan, dan siapakah pula yang berada pada tingkat dasarnya?
Dialektik Marxisme
Dalam mana-mana buku Shari’ati, termasuklah bukunya tentang Hajj sekalipun, kerapkali kita akan menemui jargon-jargon Marxisme yang dipinjamkan dalam analisa Islam. Fenomenon ini mungkin menjadi bukti kuat betapa saratnya pengaruh pemikiran Marxisme yang bersemi dalam weltanschauung Shari’ati.
Jika menurut David Zeidan dalam 'Ali Shari'ati: Islamic Fundamentalist, Marxist Ideologist and Sufi Mystic, Shari’ati merupakan seorang idealog yang punya latar Marxisme. Malah, Shahanshah Aryamehr menerusi Sazman-i Ittila’a-i Va Amniyat-i Keshvar (SAVAK) serta kelompok akhund di hauzah-hauzah juga sering memomok-momokkan Shari’ati sebagai pemuka dari gagasan Marxisme-Islam. Memang, momokkan ini masing-masing ada tujuannya yang tersendiri: baik dan buruk.
Tidak dinafikan, dari satu sisi yang lain, panggilan Marxisme-Islam terhadap Shari’ati ini mungkin benar. Bahkan, Shari’ati dalam beberapa keadaan, seperti mengesahkan konsep pertarungan kelas seperti yang dikemukakan dalam Das Kapital dan Communist Manifesto, lalu menggunakan terminologi tersebut dalam analisa sejarah Islam.
Buku pertamanya Abu Dharr-e Ghiffari: Khoda-parast-e Socialist ternyata sarat dengan dialektik borjuasi-proletar. Bezanya, Shari’ati menggunakan bahasa al-Qur’an—mustadh’afin dan mustakbirin—sebagai tukaran kepada borjuasi-proletar. Bertitik tolak dari sini juga, kita dapat lihat bagaimana begitu sosialistiknya Abu Dharr dalam pemikiran Shari’ati. Ungkap Shari’ati dalam buku pertamanya itu:
”Hari demi hari, aristokrasi, ekploitasi, pembaziran, kemiskinan, jarak serta perpecahan masyarakat, menjadi semakin lebar, dan propaganda Abu Dharr yang tumbuh semakin lama semakin meluas dan akhirnya mengoncang rakyat dan mereka yang tertindas. Mereka yang lapar telah mendengar dari Abu Dharr bahawa kemiskinan bukanlah takdir dari Tuhan yang tertera pada dahi, atau juga merupakan ketentuan nasib dan takdir dari langit, tetapi puncanya adalah kinz, pemunggahan modal.”
Tidak cukup dengan itu, seperti yang diungkapkan oleh Ali Rahnema, Hamid Dabashi, atau Hamid Algar sendiri, hubungan Shari’ati dengan Marxisme lebih bersifat cinta-benci. Kita dapat menyemak andaian ini ada kebenarannya menerusi bukunya yang paling kontroversi, Insan, Islam va Maktabha-yi Magrib Zamin. Dalam buku tersebut, Shari’ati menganggap Marxisme adalah sistem yang sangat memikat ekoran sifatnya yang tentuistik sejarah. Dari satu penjuru, pandangan pertarungan kelas yang dikemukakan oleh Marxisme tampak ada kebenarannya.
Namun begitu, Shari’ati kemudiannya melampirkan pesanan dalam buku yang sama itu, bahawa penolakan Marxisme terhadap peranan agama, atau khususnya terhadap dimensi keruhanian di dapati telah meninggalkan satu kekosongan yang sangat besar dan menimbulkan kegersangan. Bingkai perjuangan kelas akhirnya lebih bersifat horizontal, lantas mengabaikan sifat vertikalnya. Nah, adakah pengamatan Shari’ati ini dibenarkan oleh sejarah, lebih-lebih lagi sejarah bangsanya?
Jadi, kembali dalam pengalaman revolusi Islam Iran. Tentang revolusi ini, hampir semua pengamat politik sepakat bahawa Shari’ati telah memainkan peranan yang cukup bermakna sekali, sampaikan sewaktu kemuncak revolusi pada tahun 1978 dan 1979, rata-rata gambar yang menghiasi demostrasi adalah gambar Imam Khomeini dan Ali Shari’ati. Bahkan, Smith Alhadar dalam prakata salah satu buku Muhammad Khatami lebih radikal lagi berkesimpulan bahawa sekiranya Karl Marx masih hidup saat revolusi Islam Iran, tentu ia akan menilai kembali teorinya materialismenya, yang mana teorinya itu mengukuhkan rumus atheis. Ini kerana, Marx tidak pernah percaya bahawa agama dapat menjadi medium pengerak revolusi.
Sungguhpun begitu, kompleksnya pemikirannya Shari’ati tentang Marxisme tidak terlepas dari dikritik oleh rakannya sendiri. Murtadha Muthahhari (1983), yang pernah sama-sama dengan Shari’ati di Husainiyyah Irsyad cuba menunjukkan bahawa konsep pertarungan kelas dalam analisa Islam adalah sesuatu pendekatan pandangan yang lemah. Dalam bukunya, Dar Sarwash Li at-Thiba’ah wa al-Nashir, Muthahhari telah menghuraikan pertarungan kelas bukanlah satu-satunya punca perubahan rakyat, atau revolusi rakyat.
Dengan membawa contoh revolusi yang mendorong pengangkatan Imam Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat, Muthahhari menyatakan pengangkatan Imam Ali hakikatnya bukanlah didasari oleh faktor kelaparan semata-mata. Di sebelah faktor tersebut, terdamping faktor-faktor lain yang turut sama mendorong perubahan tersebut. Latar yang sama juga kita dapat semak menerusi percikan dan kegigihan perjuangan Abu Dharr, Husayn Bin Ali, Hurr, dll, yang mana masing-masing bertarung dengan status quo dengan kemuliaan hasrat yang unggul: semata-mata kerana ingin menegakkan cita-cita agamanya, atau paling kurang kerana ingin mempertahankan hak kebebasannya.
’Irfan dan Futuwwat
Dalam tradisi kita, atau lebih tepat lagi dalam faham agama kita, tentu tidak ramai yang mengenal ‘irfan, mahupun futuwwat. Hal ini mungkin berlaku kerana kita lebih sering terdedah dengan istilah yang lain, seperti tasawwuf, gnosis, sufi, ataupun tareqat. Tradisi ’irfan merupakan pengaruh dari Ibn ’Arabi yang telah kemudian ada meresap masuk dalam kebudayaan Parsi menerusi beberapa tokoh.
Namun, tokoh yang paling terkenal dan paling menghimbau Shari’ati ialah ’Ayn Qudat al-Hamadani, seorang sufi bersemangat yang pernah menuntut di bawah Hujjatul Islam Imam al-Ghazzali. Timbuhan karya-karya Al-Hamadani begitu dijiwai oleh Shari’ati, terutamanya dari puisi-puisinya. Bahkan, diduga terdapat minat lain yang dizahirkan oleh Shari’ati terhadap al-Hamadani ekoran perjalanan hidupnya yang revolusioner: yang pernah dituduh kafir, dihukum bunuh, jasadnya dibakar dan abunya ditebarkan. Memang, semuanya kerana kepercayaan dan pengalaman ’irfannya.
Pengaruh al-Hamadani yang paling ketara terhadap Shari’ati dapat dikesan dalam Kavir, sebuah bukunya yang ditujukan pada dirinya sendiri, yang bertentangan dengan Eslamshenasi yang ditujukannya pula pada masyarakat (Ali Rahnema, 2000). Dalam Kavir, atau terjemahan dari bahasa Parsinya adalah Gurun, ternyata begitu sarat dengan teosofi yang menampilkan sebuah bahasa kiasan serta kehalusan puisi sehinggakan disifatkannya Kavir merupakan cerminan dari bahasa Ibn Arabi. Dalam Kavir ini, Shari’ati membayangkan sebuah pandangan ’irfani:
”Awan mulai bergerak
Sangat kuat, berkilau, meliuk membumbung
Asap
Puting beliung
Pusar air
Jilatan api
Zarah akbar bernama Semesta
Ada mentari di pusatnya
Dalam orbitnya, bintang-bintang dan kuang-kunang berputaran”
Selain daripada itu, futuwwat dari aktivis sufi juga mempersonakan Shari’ati. Bagi Shari’ati, gerakan futuwwat yang didasari kepada kecintaan kepada rasa kemanusiaan dan rasa kemestian dalam menyebar kebajikan. Dalam pengalaman Iran, gerakan ini telah terbentur dalam pelbagai zaman dan tahap. Di samping itu, para futuwwat ini turut percaya pada konsep fatiyan atau javanmardan, yang merupakan konsep peleburan diri dalam kerja-kerja yang mulia.
Barangkali konsep ini mungkin tercetus daripada istilah fata, yang menurut Imam al-Qusayri membawa makna, ”memecahkan berhala”. Jadi, dalam fahaman ’irfani, istilah fata atau fatiyan adalah suatu usaha yang dilakukan untuk membebaskan masyarakat dari penindasan tirani, membela mereka yang lapar, serta sewajarnya berorientasikan keruhanian. Maka, kerana itu, seorang fatiyan harus memaknai kehidupannya dengan satu tujuan. Mungkin puisi Shari’ati dari One Followed by Eternity of Zeroes (1980) ini dapat menjadi cermin keluhuran perjuangan fatiyan:
“Jadilah manusia agung
Bagai seorang Shahid
Seorang Imam
Bangkit
Berdiri
Di antara rubah, serigala
Tikus
Domba
Di antara kosong-kosong
Bagai Yang Satu”
Tidak ketinggalan juga, fatiyan boleh saja dihuraikan sebagai gabungan cinta Sufi kepada Tuhan, cinta Sufi kepada ciptaan-ciptaanNya, cinta Sufi untuk melawan kezaliman. Imam Ali, bagi sebahagian besar fatiyan dianggap sebagai model terbaik dari lakaran seorang yang ’irfani. Bahkan, dalam karyanya yang sangat menawan, Ali, Shari’ati sendiri turut mengakui bahawa Imam Ali adalah simbol terbaik futuwwat selepas Nabi. Imam Ali juga, bagi Shari’ati lagi, adalah manusia teladan, manusia yang didambakan oleh zaman. Imam Ali, bukannya deus ex machina, tetapi ia adalah representant de’l humanite. Imam Ali bukannya Promethues, tetapi ia adalah nyata, hidup serta memberkas dalam sanubari setiap peradaban.
Kritik terhadap Agamawan
Ketika revolusi Islam Iran, ada dua kelompok yang saling bergandingan. Kelompok pertama adalah kalangan intelektual, yang bersama-sama Shari’ati terdapat Mehdi Bazargan, Bani Sadr, dll. Manakala kelompok yang kedua, adalah kalangan agamawan, yang terdiri dari Imam Khomeini, Murtadha Muthahhari, Mahmoud Taleqani, Husayn Baheshti, dll. Hal yang perlu dibezakan, meskipun terdapat aspirasi yang sama dalam tekad untuk menumbangkan regim pemerintah, namun kedua kelompok ini masing-masing memiliki bingkai idealogi yang berbeza, malah kadangkala bercanggah sama sekali. Atas nama melawan kezaliman Shahanshah Aryamehr, memang mereka bersekutu. Tetapi, itu tidak mengelakkan kedua-dua kalangan ini dari bersisih.
Shari’ati ada rekod menarik dalam perselisihan ini. Kritiknya pada kalangan agamawan tercatat sangat keras sekali. Latarnya yang mengenyam pendidikan tradisional saat di Mazinan, ditambah dengan kekuatan penguasaan beberapa idealogi Barat, menyebabkannya menyimpan cara pandang terhadap agamawan di Iran dalam wajah yang negatif, sehingga serangan-serangan Shari’ati akhirnya mengundangkan reaksi-reaksi yang tidak kurang beratnya. Jika agamawan memandang Shari’ati dengan label-label agama; crypto-sunni, agen wahhabi, pengikut babisme, dll, maka sebaliknya Shari’ati memandang agamawan sebagai mereka yang senang menampalkan diri mereka dengan gelaran-gelaran aneh; Ayatollah al-Uzhma, Ayatollah, Hujjatul Islam, dll.
Ekoran sikap sinis dengan kaum agamawan inilah, Shari’ati memanggil mereka sebagai akhund, yang mereka ini senang-senang mengunakan jubah agama semata-mata untuk ”mengenyang perut masing-masing” di waktu khalayak sedang ”kelaparan kepimpinan”. Umpamanya, dalam Eslamshenasi, Shari’ati mengungkapkan:
”Sangat perlu kita menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan Islam itu. Adakah kita maksudkannya dengan Islam Abu Dharr, bukan Islam Khalifah: Islam keadilan dan kepimpinan yang cemerlang, bukannya Islam penguasa, aristokrasi, dan kelas elit; Islam kebebasan, progresif dan kesedaran, bukannya Islam perhambaan, penundukkan dan pasif; Islam kaum mujahid, bukannya Islam kaum ulama; Islam kebajikan, tanggungjawab dan protes, bukannya Islam yang taqiyyeh, wasilah ulama’ dan takdir Tuhan semata; Islam perjuangan untuk keimanan dan pengetahuan, bukannya Islam yang menyerah dogmatik dan taqlid kepada ulama’.”
Begitu juga sewaktu berbicara tentang Tashau Alavi va Tashau Safavi dan Mazhab Alyhe Mazhab, yang dipercayai ditujukan khusus untuk membongkar kemunafikan para agamawan ini. Mithalnya, kita dapat lihat dengan jelas sekali sewaktu Shari’ati ingin mengariskan perbezaan besar antara agenda dinasti penguasa yang memasyarakat Shi’ah versi mereka, dengan Shi’ah versi anjuran Imam Ali dan Imam Husayn.
Bagi Shari’ati lagi, ”Shiah Merah” adalah Shi’ah kesyahidan, sebuah lambang protes dan revolusioner. Shari’ati turut mengenang bagaimana selama berkurun-kurun penguasaan dinasti Safavid, mereka hanya meluaskan hagemoni elitnya, sementara para Alaviyyin dalam sepanjang sejarah tersebut juga adalah bertindak berlawanan: berjuang membebaskan Islam dari kongkongan istibdad-i ruhani. Malah, pada Shari’ati lagi, agamawanlah yang menjadikan Islam sebagai khordeh-e burzuazhi yang mengeksploitasi khoms, sahm-i Imam, dll. Tampaknya, kritik keras Shari’ati seperti inilah yang tidak menyenangkan kaum agamawan di Iran.
Tapi, dalam sejarah Iran, Shari’ati bukanlah individu pertama yang mengkritik despotisme agamawan Iran. Sebelum itu terdapat Jalal-e Ahmad, Ahmad Khosravi, dll. Tambahan lagi, di waktu-waktu kemudian dari Shari’ati sekalipun, kelihatan kritikan terhadap peranan agamawan di Iran masih lestari menerusi gelombang pemikiran-pemikiran dari Abdolkarim Soroush, Morteza Montazeri, Bani Sadr, dll.
Umpamanya, makalah Hashem Aghajari (2002), From Monkey to Man: A call for Islamic Protestantism tampak sekali dengan disebarkan dengan niat untuk menyambung cemuhan terhadap dominasi kaum agamawan Iran mutakhir. Bagi Aghajari lagi, kaum agamawan ini dengan mudah saja mendakwa kalangan mereka sebagai mewakili Islam Asli, walhal mereka hanyalah sebahagian dari pewaris Islam Tradisional. Lebih menarik lagi, kita dapat meneliti sebahagian besar bentuk pemikiran Aghajari ini mempunyai kemiripan pemikiran Shari’ati. Ini berbeza dengan Abdolkarim Soroush (2000), yang mengakui dalam Reason, Freedom and Democracy in Islam: Essential Writings of Abdolkarim Soroush bahawa, ”Shari’ati hanya mahu menjadikan Islam itu gemuk, manakala ia (Soroush) adalah sebaliknya, iaitu mahu menjadikan Islam itu kurus.”
Memang, rumusan Soroush itu tidak pernah menjadi soal buat Pouran-e Shari’ati. Tidak kira menjadikan Islam itu gemuk atau kurus, kesannya masih tetap sama. Kesannya adalah seperti sejarah perit perlawanan Shari’ati terhadap agamawan. Sejarah inilah yang melandaskan hujah Pouran-e Shari’ati bahawa sekiranya Shari’ati masih hidup pasca-Revolusi Islam Iran 1979, tentunya ia akan turut mendekam dalam penjara. Andaian isteri Shari’ati dalam A Portrait of a Life! ini mungkin ada kebenarannya. Selepas revolusi Islam Iran 1979, terdapat konflik antara kaum intelektual dengan kaum agamawan. Kaum intelektual mulai terpinggir dari Jihad-e-Sazandegi. Keadaan inilah yang dinamakan oleh kalangan Mujahidin-e Khalq sebagai ”revolusi yang akhirnya menelan anak revolusi”.
Semua kalangan percaya, setiap revolusi harus ada korban. Dan korban yang pertama adalah Shahanshah Aryamehr, sementara korban yang seterusnya ialah mereka yang berbeza dengan akhund. Malangnya, korban revolusi Islam Iran bukan hanya datang dari sepihak, sebaliknya merata pada semua. Husayn Beheshti, Muthahhari, Javad Bahonar, Ali Raja’i adalah antara mereka menjadi korban pada balas dendam Munafiqin-e Khalq, iaitu gantian nama popular untuk Mujahidin-e Khalq. Tepat sekali, percaya pada revolusi itu ada rapuhnya: kerana sekuat manapun revolusi itu, tentunya akan ada sekam dari dalam!
Khatimah
Dalam semua tema pemikiran Shari’ati, barangkali tidak ada rumusannya. Tidak ada bicara akhirnya. Ini kerana, menurut kepercayaan Shari’ati sendiri, tidak ada kebenaran yang tidak boleh diralat. Hidup dan meralat pandangan adalah dua sisi yang selanjar, berterusan dan suatu kerja yang tiada hentinya.
Biarpun pendirian Shari’ati ini jelas berbeza dengan Muthahhari, sepertimana yang telah diungkapkan sendiri oleh Hamid Algar dalam salah satu prakata buku Shari’ati, namun masing-masing tetap punya sumbangan yang tersendiri. Hampir pasti, kebesaran Shari’ati dalam konteks memugar keaslian pemikiran Islam tidak harus dinafikan. Inilah yang dinukilkan sendiri oleh murid Mohammad Arkoun, Robert D. Lee (1997) dalam Overcoming Tradition and Modernity: The Search for Islamic Autenticity, bahawa wacana Shari’ati antara tradisi dan kemodenan merupakan antara idea utamanya yang kian menarik untuk dicermati.
Itu Shari’ati: yang lahir pada 1933 dan shahid pada 1977. Jenazahnya di bawa dari Southampton dan diabadikan di sebelah maqam Zaynab al-Kubra. Imam Musa al-Sadr pula memimpin shalat akhir terhadapnya. Shari’ati manusia misteri dan kompleks. Selama 44 tahun, perjalanan kehidupan, perjuangan dan kematiannya penuh dengan catatan warna-warni. Tapi, dalam perjalanan singkat itulah yang menyerlahkan warna kental pada diri Shariati.
Warna Shariati adalah warna kelabu. Pengalaman Ali Rahnema (2000) dalam buku yang paling komprehensif tentang Shari’ati, An Islamic Utopian: A Political Biography of Ali Shari’ati barangkali dapat mencoretkan sedikit tentang kekelabuan Shariati ini. Ungkap Rahnema, saat mahu mencari manuskrip dan kumpulan-kumpulan catatan Shari’ati bazar-bazar di pinggir Tehran, terdapat mereka yang sudi menyerahkan bahan tersebut padanya—hanya semata-mata kerana ingin Rahnema menjernihkan segala kekelabuan pada diri Shari’ati itu.
Benar, Shari’ati adalah manusia kelabu, juga sekaligus manusia yang beragam-dimensi. Barangkali catatan muafakat terbaik buat Shari’ati ialah ia juga adalah seorang revolusioner, sama seperti ikonnya, Abu Dharr al-Ghiffari. Hal ini hamper pasti, kerana itulah yang dilukiskan pada dirinya sendiri dalam permulaan buku What is To Be Done: The Enlightened Thinkers and Islamic Renaissance. Kata Shari’ati dengan mengugah:
“Mengikuti tradisi Abu Dharr, yang saya anggap guru saya, yang pemikirannya, kefahamannya tentang Islam dan ajarah Shi’ah, dan cita-cita serta keinginan-keinginannya saya tiru. Maka saya mulai perbicaraan ini atas nama Tuhan kaum mustadh’afin.”
Demikian Shari’ati: sendiri di waktu kecilnya, dan sendiri juga di saat terakhirnya. Tragik, bukan? Memang, bukankah itu hukum buat mereka yang mahu mengikuti jalan Abu Dharr? Jalan yang panjang, berliku dan memeritkan! Tetapi, itulah jalan tawhid!
2 comments:
salam ziarah dari sy
kalau ada masa lawatlah
shaharirbmz@blogspot.com/
Post a Comment