Studi komparatif atas Pandangan Allamah Thabathaba’i dan Ayatullah Muthahhari
Oleh Dr. A.N. Baqirshahi
Dasar-dasar nilai moral merupakan salah satu tema pembahasan utama dalam filsafat moral. Semertara filsafat moral sendiri, agaknya segcara filosofis, bersifat kontroversial, di mana di dalamnya esensi bidang-bidang filsafat lainnya tidak dibahas. Dalam artikelnya, The Nature of Moral Philosophy, Richard Lindly membagi filsafat moral dalam dua bagian: metaetika dan etika normatif.
Karena yang kedua (etika normatif) terutama berkaitan dengan bagaimana manusia harus berperilaku dalam kehidupan, maka yang pertama (meta-etika) mengajukan pertanyaan seperti, “Apakah ada kebenaran obyektif dari moralitas?” dan “Apakah yang membedakan antara pembenaran-pembenaran lain?” Selama Abad ke-20, sampai akhir 1960-an, pandangan yang lazim berlaku di kalangan para filosof dalam tradisi berbahasa Inggris, adalah bahwa filsafat moral, sebagaimana filsafat sains, benar-benar sekadar kegiatan nomor dua (second-order).
Dengan agak memandang rendah, kajian etika dianggap sebagai kajian yang “moralistik”, sehingga harus diserahkan kepada para moralis atau para tokoh puritan, yang dalam ini termasuk pula kalangan pendeta, doktor, guru sekolah, dan para politisi, tapi tentunya bukan termasuk kalangan filosof dalam kapasitas profesionalnya.menurut pandangan ini, filosof, umpamanya, tidak mempunyai pandangan tentang muatan keputusan moral. Sejak 1960-an, terjadi kebangkitan kepentingan dalam etika normatif,1) yang mungkin sebagian besar dipicu oleh krisis moral yang menimpa masyarakat Amerika dengan terjadinya Perang Vietnam.
Peranan filososf moral seperti ahli-meta-etis adalah untuk memberikan suatu analisis logis yang benaratas konsep-konsep moral. Dalam bukunya, A Modern Introduction to Ethics, Milton K. Munitz mengatakan:
“Kepentingan utama dari penyelidikan logis seperti itu telah difokuskan pada persoalan-persoalan berikut yang memberikan karakteristik pernyataan etis (yang mencantumkan penggunaan kata ‘baik’, ‘benar’, dan seterusnya, banyak varian dan berlawanan yakni ‘jahat’, ‘salah’, dan seterusnya). Bagaimana kita akan menafsirkan hal demikian, yang di dalamnya pernyataan tersebut digunakan? Bagaimana, jika tidak sama sekali, membedakannya dari jenis-jenis pernyataan lain, misalnya, pernyataan factual dari wacana biasa atau dari sains? Jenis keterangan apa, yakni jenis tuntutan atau pernyataan apa yang mengandung kesepakatan dan tidak [mengandung, red.] kesepakatan tentang persoalan-persoalan etis? Bagaimana, jika tidak sama sekali, mungkin mengatasi ketidaksepakatan dalam etika?”2)
Asumsi umum yang mendasari hampir seluruh tulisan tradisional adalah pengetahuan tentang apa itu kebaikan dan kejahatan. Filsafat etis kontemporer mengklasifikasi setiap teori tentang nilai dalam kategori naturalistik dan non-naturalistik. Pembagian etika ini diciptakan GE Moore dalam Principia Ethica-nya (1903). Tulisan Hume dijadikan rujukkan, yang dengannya ia mengatakan:
“Dalam setiap sistem moralitas yang telah saya temui sampai sekarang ini, saya selalu menyatakan bahwa pengarang melakukan penalaran dengan cara yang biasa untuk beberapa waktu dan menetapkan wujud suatu kebaikan, atau melakukan pengamatan-pengamatan berkenaan dengan persoalan-persoalan manusia, ketika saya tiba-tiba menemukan bahwa alih-alih kurpulasi dari proposisi yang biasa, ternyata, adalah dan bukan sebaliknya, saya tidak menemukannya dengan proposisi yang tidak berhubungan dengan suatu ‘keharusan’ atau ‘ketidakharusan’.”3)
Perdebatan tentang masalah esensi nilai-nilai moral telas beusia setua filsafat sendiri. Nyaris tak ada pemikir utama dari zaman manapun dari setiap tradisi yang tidak mendiskusikan masalah ini.
Asal-usul topic ini, dalam filsafat Islam, dapat dilacak hingga ke periode perdebatan Asy’ariyah-Mu’tazilah, sehubungan masalah etika. Belakangan, ulama ushul al-fiqh (yurisprudensi Islam) juga mengangkat tema ini sampai pada tataran filsafat. Allamah Muhammad Husain Thabathaba’I (1902-1981), pemikir paling orisinal dari dunia muslim kontemporer, yang diilhami para ulama ushul, khususnya almarhum Syeikh Muhammad Husain Isfahani, mengajukan pandangan baru tentang tema ini dalam filsafat Islam. Bukunya Ushul-e Falsafeh wa Rawisy-e Riyalism (Prinsip-prinsip Filsafat dan Metode Realisme).
Murtadha Muthahhari murit Allamah, menulis cacatan penjelasan secara detail tentang buku tersebut, dengan menambahkan pandangan sendiri dalam bentuk komentar-komentar kritis. Ia menunjukkan ketidaksetujuan terhadap gurunya mengenai noktah-noktah mendasar tertentu berkaitan dengan isu-isu moral. Mari kita ikuti perdebatan pertama dengan membuat suatu perbedaan antara kearifan spekulatif dan kearifan praktis dalam filsafat Islam.
Kearifan Spekulatif dan Kearifan Praktis
Perbedaan antara spekulasi-spekulasi tentang hakikat realitas dan diskusi-diskusi tentang perilaku manusia telah insentif dikenal dan diakui. Untuk yang pertama disebut dengan ‘kearifan spekulatif’, sedangkan yang kedua dinamakan ‘kearifan praktis’.
Adalah tidak mungkin membawa prinsip-prinsip kearifan praktis ke dalam studi realitas, karena kearifan spekulatif membahas hal-hal sebagaimana adanya, sementara kearifan praktis membahas perbuatan-perbuatan manusia ‘bagaimana seharusnya’.
Dalam teks-teks pemikir muslim juga, akal spekulatif dan akal praktis diakui sebagai dua jenis fakultas manusia yang berbeda. Namun mereka tidak mendiskusikan ciri-ciri dan perbedaan antara akal spekulatif dan akal praktis secara lebih detail. Bagaimanapun, sebenarnya mereka mengajukan bahwa fakultas pertama (akal spekulatif) sudah inheren dalam diri manusia, yang dalam hal ini berusaha menemukan dunia eksternal dengan berbagai fakultas yang dimiliki; sedangkan akal praktis mengandung serangkaian persepsi yang dikontrol oleh diri yang merupakan pengatur tubuh.4)
Para filosof muslim awal mendefinisikan keadilan ditinjau dari kebebasan. Karena ‘diri’ akan gagal memperoleh kesempurnaan spekulatif tanpa menggunakan badan secara layak; maka ‘diri’ harus membangun keseimbangan antara dua fakultas tersebut sehingga mampu menggunakan badan secara adil. Fakultas yang membangun keseimbngan antara diri dan badan merupakan kekuatan yang efisien dan aktif. Bila keseimbangan diperoleh, maka diri tidak dikuasai tubuh; sebaliknya tubuh akan dikendalikan diri. Mereka menganggap keadilan sebagai suatu jenis koordinasi antara diri dengan badan, yang di dalamnya tubuh dikendalikan oleh diri dan diri dijaga ketat oleh tubuh.5)
Meskipun Ibnu Sina (980-1030), menerima perbedaan antara kearifan spekulatif dan praktis, bahkan membahas isu-isu ini dengan rinci, namun terdapat beberapa ambiguitas dalam pendekatannya atas akal praktis sebgai fakultas persepsi diri. Di satu pihak, fakultas persepsi digunakan dalam ilmu-ilmu spekulatif, sedangkan dipihak lain digunakan dalam ilmu-ilmu praktis. Namun filosof lain, seperti Mulla Hadi Sabzawari (1833-1910) tetap berpendapat bahwa istilah “akal” bisa digunakan sebagai aspek teoretis dan praktis dari fakultas perseptif atau kognitif. Tegasnya, akal merupakan fakultas efisien yang hanya mampu malakukan tindakan.6)
Pandangan Etika Allamah Thabathaba’i dan Kritik Muthahhari
Allamah Thabathaba’I yakin bahwa apapun yang kita anggap berasal dari kearifan praktis, berkenaan dengan dunia norma-norma atau gagasan yang berhubungan dengan ‘ilm al-ushul. Dengan kata lain, kearifan praktis merupakan domain bagi ‘keharusan’. Sehubungan dengan konsep ‘keharusan’, beliau berkata, “Alam mempunyai tujuan-tujuannya sendiri yang kepadanya ia bergerak.” Pada ranah benda-benda yang statis, tumbuhan, hewan dan manusia, seluruh aktivitas, sejauh mereka jatuh dalam domain instink, maka alam lah yang bergerak pada tujuannya. Terdapat serangkaian tindakan pada tataran manusia yang terjadi melalui sarana kemauan dan kontemplasi. Lewat tindakan-tindakan seperti itu, manusia mempunyai tujuannya sendiri yang diperoleh dengan tindakan-tindakan yang disengaja. Tujuan ini merupakan tujuan alam, di mana alam tidak dapat memperolehnya secara langsung, namun hanya melalui perantara kehendak dan kemestian manusia. Di sinilah suatu kebutuhan akan ‘kemestian’ atau nilai-nilai muncul, dan menerima eksistensinya secara fitriah.
Misalnya, tabiat manusia, seperti halnya tumbuhan yang perlu makanan; namun ia harus memperolehnya dengan sarana kemauan dan kontemplasi. Tidak seperti tumbuhan, yang memerlukan makanan secara langsung melalui akar dan binatang yang dirangsang dengan makanan secara naluriah, maka manusia mencari makanan dengan kesadaran kemauan dan ikhtiar. Di sini Allamah berkata bahwa sejauh ini naluri tidak diberi batasan dalam bentuk yang akurat. Manusia tidak menyadari bahwa system alam menggunakannya sebagai instrument untuk mencapai tujuan. Sejak lahir, manusia memiliki beberapa system: system alam, juga system pilihan dan kehendak. System pilihan dan kehendak ditundukkan oleh system alam. Tujuan alam direfleksikan dalam bentul keperluan atau hasrat dalam jiwa manusia (misalnya kecenderungan terhadap makanan). Allamah menyimpulkan bahwa di belakang setiap perbuatan ynag disengaja, ada perintah alam yang tersembunyi tentang ‘apa yang mesti manusia lakukan’ atau ‘apa yang tidak semestinya manusia lakukan’. ‘kemestian’ inilah yang sangat memotivasi seseorang untuk bergerak menuju tujuan alamiahnya.
Muthahhari mengomentari bahwa Allamah mungkin telah mereduksi seluruh perbuatan yang diinginkan kepada gagasan atau nilai-nilai. Dia juga membandingkan pandangan Allamah dengan teori moral Bertrand Russel. Secara mengejutkan, Allamah Thabathaba’I tanpa membaca karya Russel, mengembangkan suatu teori yang serupa dengan karya Russel, 40 tahun lalu, yang barangkali bersamaman ketika Rusel mengembangkan filsafat moralnya.7)
Dalam A History of Western Philosophy, Russel mengelaborasi pandangannya dalam konteks analisis terhadap pemikiran plato sekaitan dengan etika. Ia mengatakan bahwa menurut Plato, kearifan praktis dan kearifan spekulatif adalah identik. Dia menghasratkan kebaikan dan kebaikan itu terlepas dari diri. Dengan begitu, kebaikan dapat dipikirkan, seperti halnya obyek-obyek studi matematika atau kedokteran, yang terlepas dari pikiran manusia.8)
Russell menulis:
Plato yakin, ‘kebaikan’ dan hakikatnya dapat dijelaskam; ketika manusia tidak setuju tentangnya, orang sedang melakukan kesalahan intelektual, yang sama halnya seakan-akan itu kesalahan ilmiah terhadap beberapa persoalan fakta.9)
Russell sendiri berpendapat bahwa ‘baik’ atau ‘buruk’ merupakan masalah-masalah yang relatif, di mana pengertiannya ditentukan oleh interaksi manusia dengan benda-benad atau obyek-obyek. Ketika mempunyai tujuan yang akan dicapai, kita mengatakan ‘itu baik’. Pandangan bahwa ‘baik’ merupakan suatu kualitas obyektif yang inheren dalam esensi suatu benda seperti putih atau bundar adalah pandangan keliru. Muthahhari menyimpulkan dari diskusi ini bahwa ‘kebaikan’ dan ‘keburukan’ pada dasarnya tidak konkret dan bukan merupakan kualitas obyektif benda-benda tersebut yang dapat ditemukan seperti masalah-masalah alam lainya. Menurutnya, jika orang memperlakukan masalah-masalah moral seperti obyek kajian ilmiah, kesalahan itu memunculkan persoalan lain: Apakah norma-norma seperti itu dapat berubah (sementar sifatnya) atau apakah ada dua macam norma, satu dapat berubah dn satu lagi permanen. Mengenai masalah ini, pandanagn Muthahhari bertentangan dengan para filosof Barat. Secara kebetulan Allamah berpandangan bahwa nilai-nilai itu ada yang berubah dan ada yang tetap. Dia telah memberikan contoh keadilan dan kezaliman, dan mengatakan bahwa baiknya keadilan dan buruknya kezaliman merupakan hal yang swa-bukti (self-evident). Dengan demikian, ada sebagian nilai yang tetap dan abadi, dan sebagian lagi berupa nilai yang berubah sesuai perubaan waktu.10)
Tentu saja, kesangat-perluan ini adalah hal yang krusial bahwa sebagian ‘keharusan’ berhubunagn dengan individu-individu tertentu. Misalnya, jika seseorang membutuhkan suatu jenis pendidikan tertentu, ia mungkin mengatakan, “Saya harus mempelajari buku ini.” Sedangkan yang lain, yang tidak mmerlukan pendidikan tersebut, mengatakan,”saya harus mempelajari pelajaran lainnya.” Oleh karenanya, ‘keharusan’ individual dan khusus bersifat relatif.11)
Satu persoalan penting dalam etika adalah, “Apakan ada ‘keharusan’ universal dan absolute yang berlaku umum bagi seluruh manusia?” Muthahhari menyebutkan bahwa dalam kasus tersebut, terdapat suatu ‘keharusan’, karena setiap ‘keharusan’ diarahkan pada beberapa tujuan. Kita harus memastikan apakah ada suatu tujuan umum seperti itu yang mungkin merupakan landasan bagi universalitas nilai-nilai. Jika kita dapat membuktikan universalitas dan keabadian nilai-nilai, maka kita harus menerima bahwa mereka berawal dari diri yang abstrak, dan bahwa manusia tidak ditentukan dengan semata-mata fisik.12)
Allamah Thabathaba’i berkeyakinan bahwa benda hidup dan benda mati berbeda dilihat dari gerakannya menuju tujuannya. Misalnya benda mati bergerak ke tujuan dengan satu arah yang ditentukan. Alam, dalam rangkaian gerakan normalnya, dilengkapi sarana yang dengannya ia bergerak menuju tujuan. Benda hidup juga, sekaitan dengan wujud fisik mereka (bukan sebagai wujud mental dan rasional), dalam dunianya sendiri bergerak menuju tujuannya secara langsung. Namun, karena hukum dan sarana alam tidak cukup untuk mengarahkan benda hidup menuju tujuan yang diinginkan, maka mereka juga menggunakan fakultas mental dan perseptual agar sampai kepada tujuan. Sebenarnya, di sana muncul sejenis keseimbangan antara alam fisik (yang tidak sadar) dengan proses-proses mental yang memungkinkan suatu wujud, memiliki kesadaran, untuk mencapai tujuan yang dikehendaki alam. Kesadaran sanggup mengarahkan suatu wujud untuk bergerak menuju tujuan-tujuan tertentu lainnya, yang diyakini berbeda dari tujuan alam. Manusia bisa membayangkan bahwa keharmonisan antara gerakan-gerakan menuju yang alamiah, dengan tujuan-tujuan yang diinginkan adalah kebetulan, namun menurut Allamah ada suatu jenis keharmonisan yang telah disusun sebelumnya (preestablished harmony) antara proses fisik dengan proses mental.
Mental alamiah menjadikan manusia dan hewan sedemikian rupa sehingga mereka merasakan dan memahami suatu obyek yang memunculkan hasrat dan keinginan terhadapnya, dan mereka mencari kepuasan dengan memperolehnya. Apabila mereka gagal memperoleh, maka mereka merasakan penderitaan. Misalnya, pada dasarnya, manusia mencari kepuasan dan menghindari penderitaan. Pengalaman kepuasan di masa lalu dalam menikmati suatu makanan mengundang selera terhadap makanan tersebut, dan ia bergerak dengan gerakan yang memuaskan hasratnya. Tindakan ini dipengaruhi proses mental tertentu, namun pada saat yang sama ia juga berperan guna mencapai tujuan alamiahnya, karena tubuh memerlukan makanan yang didorong oleh wataknya sendiri. Dengan demikian, kegiatan makan memenuhi tujuannya, orang beroleh kesenangan di dalamnya, dan pada saat yang sama alam memuaskan kebutuhannya juga. Oleh karena itu, muncul pertanyaan: Apakah kedua tindakan ini tidak berhubungan satu sama lain, sehingga terjadi bersamaan secara kebetulan?; Apakah ini yang disebut dorongan alamiah untuk mencari kesenangan yang memerlukan sarana-sarana alamiah tertentu guna mencapainya, apakah itu semata dorongan alamiah yang menjadikan manusia merasakan kepuasan dalam menikmati seleranya?
Dengan kata lain, pertanyaannya adalah, “Apakah pencarian kesenangan membantu tujuan alam, ataukah sebaliknya, alam yang membantu dalam memperoleh kesenangan? Sulit memutuskan mana di antara kedua pertanyan tersebut yng bersifat fundamental dan mana yang sekunder. Namun, Muthahhari berpandangan bahwa ada beberapa jenis keharmonisan antara tujuan-tujuan alamiah dengan tujuan-tujuan berkesadaran, dan keharmonisan ini sifatnya terencana sebelumnya (pre-planned) dan bukan kebetulan. Lebih jauh, sewaktu membahas masalah ini, beliau merujuk pandangan Ibnu Sina yang berpendapat bahwa gerakan ini dibatasi pada wujud yang sadar dan memahami saja. Allamah mengatakan, alam sendiri mengikuti tujuan-tujuan tertentu, maka semua wujud bergerak menuju tujuan-tujuan tersebut. Lantaran itu, semua gerakan pada hakikatnya bertujuan, yakni dikuasai dan dipengaruhi beberapa tujuan. Kegiatan manusia yang sadar juga merupakan bagian dari skenario besar alam yang mengarah pada tujuan-tujuan. Muthahhari tidak sepakat dengan generalisasi yang dibuat Allamah.13)
Lebih jauh, Allamah menyatakan bahwa salah satu dari nilai-nilai moralitas tersebut adalah ‘pengkhidmatan’ (istikhdam), yang berkaitan dengan interaksi manusia dengan anggota-anggota badan berikut fakultas-fakultasnya, dan interaksi tersebut bersifat obyektif, real dan kreatif. Kekuatan tangan saya berada di bawah kendali saya, yang bersifat alamiah, yakni kekuatan ini ada pada kehendak dan pengaturan saya. Seluruh organ tubuh manusia dimiliki manusia dan menyusun suatu rangkaian integral dari wujudnya, serta berada pada kekuasaan dan kontrol manusia. Allamah mengatakan bahwa segenap obyek eksternal bisa dianggap sebagai perangkat-perangkat pertahanan yang digunakan demi kelangsungan hidupnya. Tidak hanya benda mati, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain yang diperuntukkan bagi manusia, bahkan manusia lain juga, merupakan pelayan bagi sesamanya.
Dengan kata lain, semua makhluk, termasuk manusia, yang terlibat dalam suatu bidang aktivitas, merupakan alat bagi manusia. Dengan demikian, manusia mengembangkan eksitensi terbatasnya pada lingkungan makhluk-makhluk lain. Muthahhari mengatakan bahwa menurut Allamah, kecenderungan maupun ketertarikan manusia pada makhluk-makhluk lain merupakan sesuatu yang bersifat alamiah, yang tidak dibatasi pada makhluk non manusia, tapi juga mencakup sikap manusia terhadap sesamanya. Muthahhari tidak bersepakat terhadap Allamah dan menegaskan bahwa dalam hal ini Allamah rupanya setuju dan mendukung kalangan evolusionis dan menerima prinsip-prinsip Darwinian, ihwal mempertahankan hidup (struggle for existence). Dalam pandangan Muthahhari, Allamah telah menggunakan istilah yang lebih terhormat bagi gagasan Darwinian. Dalam upaya mempertahankan hidup, setiap manusia memanfaatkan sesamanya sebagai alat, dan menjadikan mereka sebagai pelayan dan budaknya.
Barangkali, baik Allamah maupun Muthahhari tidak mengenal gagasan-gagasan serupa dari Heidegger. Menurut filsafat eksistensi Heidegger, semua makhluk yang terlibat dalam wilayah eksistensi manusia adalah alat atau sarana memperluas dan pengembang eksistensi masing-masing wujud. Sifat wujud-wujud lain yang membedakannya dengan makhluk manusia adalah ketangkasan mereka yang menentukan seberapa jauh mereka bermanfaat bagi manusia. Dikatakan bahwa Allamah Thabathaba’i yang mengembangkan prinsip-prinsip istikhdam-nya selama kira-kira 20 tahun, tidak tahu bahwa teori yang serupa juga telah diformulasikan seorang eksistensialis Eropa (yakni, Heidegger). Bukan saja dalam karya filosofis utamanya, ushul-e Falsafahwa Rawish-e Rialism, tetapi juga dalam karya tafsir ilmiahnya, Al-Mizan, beliau telah merujuk pada prinsip-prinsip pengkhidmatan dalam banyak kesempatan, selama berkaitan dengan berbagai aspek eksistensi manusia. Muthahhari rupanya lebih konservatif terhadap isu ini, karena penjulukannya pada Allamah sebagai seorang Darwinis menunjukkan ketidakpuasan terhadap gagasan mendasar dari pengkhidmatan manusia pada manusia lain. Dengan cara yang sama, penolakan Muthahhari terhadap doktrin Allamah mengenai relativisme nilai-nilai moral tertentu memperlihatkan kesetiaannya pada tradisi Platonik dan filsafat Islam tradisional.
Muthahhari berkesimpulan bahwa prinsip-prinsip Darwinian tentang perjuangan untuk hidup (struggle for existence) dari filsafat Allamah dalam konteks pandanganya adalah bahwa manusia harus melakukan penyesuaian diri dengan manusia lainnya dalam bntuk persahabatan kerja sama atau melalui sarana-sarana lain, sehingga mampu survive dalam perjuangan tersebut, yang di dalamnya setiap manusia mencoba memanfaatkan orang lain sebagai alat. Muthahhari menyatakan bahwa meskipun Allamah tidak secara eksplisit mengarah pada masalah ini, prinsip pengkhidmatannya menjurus pada suatu konsep yang serupa.14)
Allamah mengakui bahwa prinsip-prinsip pengkhidmatan adalah kriteria baik dan buruk, benar dan salah. Di sini muncul dua permasalahan, ”Apakah manusia mempunyai kecenderungan alamiah pada keburukan dan kejahatan, atau dengan kata lain, apakah kejahatan inheren dalam tabiatnya?” muthahhari menjawab bahwa dari tinjauan Allamah, setiap orang memiliki kecenderungan alamiah untuk memperoleh hasrat yang diinginkannya sendiri, yang membuatnya memperlakukan yang lain seolah-olah budak-budaknya untuk melayani tujuan dan kepentingannya. Menurut Allamah, kecenderungan untuk tidak memperlakukan orang lain sama dan setara dengan tujuan dirinya sendiri, tidak lain dari kesehatan itu sendiri.15)
Persoalan lain adalah berhubungan dengan kemungkinan identitas pengkhidmatan dan prinsip perjuangan untuk hidup. Muthahhari tidak menyebutkan keduanya sebagai identik, namun dia berpendapat bahwa karena keduanya sebagai identik, namun dia berpendapat bahwa karena keduanya menjurus pada tujuan yang sama, yakni pertumbuhan individu (di sini, dalam arti moral), keduanya bisa dijelaskan sebagai mempunyai afinitas yang dekat satu sama lain.16)
Namun, Muthahhari tidak sepenuhnya menolak pandangan Allamah sehubungan dengan keberadaan manusia dan moralitas. Apa yang membuatnya tidak setuju adalah generalisasi atas prinsip pengkhidmatan. Muthahhari, seraya menetapkan posisinya sendiri, menyebutkan bahwa suatu perbedaan perlu dibuat antara kecenderungan alamiah dengan kehendak. Binatang-binatang berbuat secara instinktual berdasarkan kecenderungan alamiahnya, sementara manusia bertidak bertindak berdasarkan kesengajaan. Lebih jauh, Muthahhari membuat suatu perbedaan antara dua jenis perbuatan manusia dengan menambahkan unsur kehendak pada perbuatan naluri manusia; manusia dapat menghindari dari makan-makanan atau jenis-jenis makanan tertentu secara sengaja, walau ia mempunyai tendensi alamiah untuk memakannya. Perbuatan-perbuatan naluri dilaksanakan secara pasif di bawah tekanan alam yang etika melakukan perbuatan-perbuatan demikian, akal manusia dikekang. Oleh karenanya, perbuatan-perbuatan tersebut merupakan perbuatan-perbuatan yang ditentukan. Sebaliknya, tindakan-tindakan sadar dilakukan di bawah kendali dan petunjuk akal. Lantaran demikian, Muthahhari berpandangan bahwa kehendak adalah kebebasan. Manusia disebut bebas karena ia bisa bertindak berdasarkan kehendaknya, dan perbuatannya tidak dtentukan sebagaimana perbuatan-perbuatan binatang.
Muthahhari mengajukan poin-poin signifikan lainnya berkenaan dengan perbuatan berkehendak. Dia menyatakan bahwa dalam perilaku alamiah atau impulsif, manusia berada di bawah kendali dunia ekternal, sementara dalam berkehendak, manusia menarik dirinya dari dunia eksternal dan menginternalisasi wujudnya juga melakukan pilihan dan pemecahan. Dalam kehendak, manusia mengingat kembali bahwa ketika dalam bertindak secara impulsif, wujudnya tercerai berai. Sekaitan dengan persoalan apakah kehendak sepenuhnya tidak ada ketika berbuat secara impulsif, ataukah kehendak itu lemah, Muthahhari menjawab bahwa kehendak itu ada, namun ia kian melemah. Dalam penambahan dalam impuls, kehendak melemah secara seimbang (semakin manusia berbuat menurut geark hati [impuls], makin lemah pula kehendaknya, pen.). Beliau mengkritik Mulla Sadra, Hadi Sabzawari, dan Ibnu Sina karena menganggap hasrat dan kehendak adalah hal yang sama dan satu adanya. Meskipun Ibnu Sina kadang-kadang membuat beberapa perbedaan antara keduanya, kriteria batasannya tidaklah begitu jelas.17)
Di sini muncul dua pertanyaan, “Bagaimana masalah-masalah etika didemonstrasikan?” Bagaimana kita dapat membuktikan tentang apa yang disebut ‘baik’ dan apa yang disebut buruk?” Allamah berpendapat bahwa ini tidak dapat dibuktikan, karena materi non faktual tidak dapat dibuktikan, karena materi non faktual tidak dapat dibuktikan entah dengan deduksi maupun induksi. Kita hanya bisa memaparkan berdasarkan dasar lingusitik, dan juga bergantung situasi yang mewarnai. Nilai-nilai moral bukan persoalan-persoalan factual ataupun opyektif. Secara rasional maupu empiris, kita apat membuktikan ide-ide atau teori-teori yang hanya berkaitan dengan realitas obyektif. Dengan alasan ini , Allamah mengakui bahwa nilai-nilai moral bersifat subyektif dan relativistic.
Filsafat praktis berkaitan dengan baik dan buruk, dan konsep-konsep ini diturunkan dari “yang seharusnya” (perintah-perintah) dan “yang tidak seharusnya” (larangan-larangan). Istilah-istilah tersebut tergantung pada kecintaan atau keinginan terhadap sesuatu, atau sebaliknya. Dalam persoalan cinta dan suka, masing-masing individu berbeda antara satu sama lainnya. Oleh karenanya, nilai-nilai moral yang bergantung pada kecintaan atau kebencian terhadap beberapa obyek, terkait pada sikap subyektif masing-masing individu. Dengan demikian, kedua-duanya bersifat subyektif dan relatif. Di sini bisa ditunjukkan bahwa pemikiran Allamah dekat, pada satu sisi, dengan GE Moore, yang mengakui nilai-nilai sebagai tidak dapat didenifisikan, dan lebih dekat dengan Russell, pada sisi lainnya.
Bertrand Russel adalah seorang di antara pemikir tersebut yang sampai pada kesimpulan yan sama dalam bukunya, A History of Western Philosophy. Dia menganalisis pandangan Plato berkenaan dengan keadilan dalam kata-kata sebagai berikut:
Ada beberapa hal yang perlu dicatat mengenai definisi [keadilan] Plato. Pertama, tanpa keadilan, ada kemungkinan tidak ada kesamaan kekuasaan dan hak-hak istimewa. Para wali harus memiliki semua kekuasaan tersebut, lantaran mereka merupakan anggota komunis yang paling bijaksana: kezaliman hanya akan terjadi, menurut definisi Plato, jika ada orang-orang dalam kelas-kelas tertentu yang lebih bijaksana ketimbang dari sebagian para wali. Inilah alasan mengapa Plato mengajukan adanya kemungkinan pencabutan dan pencabutan warga negara, kendati ia berfikir bahwa pertambahan kelahiran dan peningkatan pendidikan yang berlipat akan menjadikan anak-anak para wali lebih utama daripada anak-anak lain dari beberapa kasus. Sekiranya ada ilmu pemerintahan yang lebih tepas, dan makin banyak orang yang mengikuti ajaran-ajarannya, maka akan lebih banyak lagi yang dikatakan tentang sistem Plato. Tak seorang pun berpendapat bahwa adalah kezaliman menempatkan orang-orang terbaik dalam suatu tim sepakbola, meskipun dengan cara demikian mereka mendapatkan suatu superioritas besar.”18)
Di tempat lain, Russell berkata:
“Perbedaan antara Plato dengan Trasymachus adalah sangat penting, namun bagi para sejarawan filsafat, hal itu harus dicatat, bukan untuk diputuskan. Plato berpikir bahwa dirinya mampu membuktikan bahwa gagasannya tentang republik adalah baik; seorang demokrat yang menerima obyektivitas etika mungkin mengira bahwa ia bisa membuktikan bahwa republik itu buruk; tapi siapapun yang sepakat dengan Trasymachus akan berkata,’Tidak ada masalah tentang membuktikan atau tidak membuktikan; satu-satunya persoalan adalah apakah anda suka corak negara yang Plato inginkan. Jika anda suka, maka itu baik untuk anda; jika anda tidak suka, itu buruk bagi anda. Jika banyak yang suka dan tidak suka. Keputusan tidak bisa dibuat oleh akal, namun hanya dengan kekuatan, baik aktual maupun yang tersembunyi.’ ‘Inilah salah satu masalah dalam filsafat yang masih terbuka; setiap pendapat membangkitkan rasa hormat. Namun, untuk waktu yang sangat lama, pendapat plato hampir tidak bisa dibantah.”19)
Berikut ini dua poin kritik Muthahhari terhadap Allamah Thabathaba’i:20)
1. Muthahhari berkeyakinan bahwa kita tidak bisa menisbahkan aktivitas berorientasi-nilai pada seluruh makhluk hidup sebagaimana yang telah dilakukan oleh Allamah. Kesadaran nilai dibatasi kepada manusia yang mempunyai akal praktis.
2. Muthahhari menyangkal prinsip-prinsip pengkhidmatan sebagaimana dikemukakan Allamah. Penyangkalannya ini didasarkan pada tiga argumen yang dielaborasi oleh karyanya. Akhlak wa Jawidanagi. Berpijak pada tiga argumen ini, ia membuktikan gagasannya perihal keuniversalan dan keabadian baik dan buruk.
Argiumen pertama:
Manusia mempunyai motif-motif tertentu yang membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan individualnya. Aktivitas manusia juga dirangsang oleh motivasi jenis lain yang disebut Muthahhari sebagai motif berorientasi-makhluk. Hal ini berbeda dengan motif-motif yang berorientasi-individual, yang hanya membantu kepentinagn-kepentinagn individu. Motif berorientasi individu ini berhubungan dengan pasangan dan keturunan seseorang. Sedangkan motif berorientasi-makhluk bersifat umum dan mencakup keseluruhan humanitas. Motif ini tidak dibatasi lingkungan, situasi, ataupun kurun waktu tertentu. Lantaran motif-motif ini, orang bisa mendahulukan kesejahteraan dan kebahagiaan anggota-anggota masyarakatnya di atas kesejahteraan sendiri. Motif-motif ini bisa diterangkan sebagai motif kemanusiaan (humanitarian), karena di dalamnya orang merasa sakit jika merasakan orang lain menderita. Motif jenis ini bisa juga didenifisikan sebagai motivasi sosial. Ia menyetarakan dengan yang lain, ia gembira dengan kegembiraan mereka dan sedih dengan kesedihan mereka. Muthahhari mengatakan, sekiranya kita menerima peranan dari motif yang berorientasi-makhluk ini, maka pandangan Allamah tertolak, karena ia mempercayai bahwa mental alamiah manusia tersusun sesuai dengan dorongan alamiah dan biologisnya.
Allamah menganggap teori pengkhidmatan dapat diaplikasikan ke seluruh makhluk manusia sebagai prinsip umum. Menurut pandangan Muthahhari, prinsip ini bertentangan dengan kriteria moralitas yang kita terima. Pada umumnya, motif-motif dan tindakan-tindakan egosentris atau kedirian dari aspek moral dianggap rendah, atau agak buruk, sebagaimana bila dibandingkan dengan motif-motif dan tindakan-tindakan altruistik. Moralitas membebaskan manusia dari membatasi kepentingan dirinya sendiri dan karena itu, secara universal, dapat diaplikasikan ke seluruh masalah, waktu dan situasi. Dengan demikian, beliau mempertegas prinsip-prinsip keuniversalan dan keabadian nilai-nilai moral. Adapun pertanyaannya adalah, “Mengapa kebaikan itu bagus?” Maka Jawabannya adalah, “Karena kebaikan memenuhi kepentingan semua orang.”21)
Agemen Kedua:
Ketika Muthahhari mendasarkan argumen pertamanya pada dualitas motif, ia mendasarkan argumen keduanya sesuai dengan universalitas dan kelanggengan moralitas pada dualitas diri manusia. Pandangan ini sama dengan pandangan dari beberapa pemikir kontemporer yang meyakini bahwa adalah mustahil untuk mencari sesuatu kecuali jika sesuatu itu dijalin dengan diri sendiri. Apapun yang tampak menyenangkan bagi individu, pada akhirnya diterima sebagai hal baik bagi seluruh manusia. Durkheim dan beberapa sosiolog lain menemukan, dengan alasan ini, bahwa manusia mempunyai dua diri: diri individual dan diri kolektif. Manusia, dari perspektif biologis, adalah seorang makhluk individu. Namun dari perspektif sosial, manusia adalah makhluk sosial dan mempunyai diri sosial juga. Oleh karenanya setiap manusia mempunyai dua diri. Muthahhari, dengan mengacu ke tulisan-tulisan Allamah, mengatakan bahwa diri sosial juga membenarkan teori ini tanpa mengetahui teori-teori sosiologi dewasa ini, dan menerima bahwa masyarakat tersebut memiliki diri yang nyata, yang tidak bersifat relatif. Para sosiolog juga menisbahkan kepribadian dan diri pada masyarakat, yang nyata, obyektif, dan terlepas dari diri-diri dari anggota-angota individual. Ia bukanlah jumlah total diri-diri dari anggota-anggota individualnya, tapi suatu yang berbeda darinya. Setiap manusia memiliki diri sosial dan diri individual.
Di sini Muthahhari mengacu pada doktrin mistis perihal diri universal. Menurut kaum sufi dan ahli mistik lain, ada suatu interaksi mendasar di antara diri-diri manusia, yang karenanya menyadarkan manusia ketika dirinya disucikan. Dengan berpijak pada diri universal dan menyadari bahwa melaluinya semua manusia berhubungan satu sama lain, akan mengantarkan manusia pada penyatuan spiritual dengan diri universal.
Para sosiolog berpandangan bahwa masyarakat tersusun dari individu-individu yang mempunyai kepentingan sosial yang sama, atau diri kultural yang nyata. Mereka menyaksikan bahwa kadangkala tindakan manusia dimotivasi oleh motif-motif perseorangan, sedangkan pada kesempatan lain, tindakannya didorong motif-motif sosial. Motif-motif individual dan sosial masing-masing berasal dari diri individual dan diri sosial. Yang petama bersifat alamiah dan biologis, sedangkan yang kedua bersifat kolektif. Dari dualitas motif ini, para sosiolog menyebutkan tentang gagasan tentang dualitas diri. Berangkat dari sudut pandang biologis, Muthahhari berkesimpulan bahwa setiap tindakan yang berasal dari diri sosial, diakui secara moral sebagai hal yang baik dan ia ditentukan oleh sistem nilai yang universal dan abadi. Sebaliknya, setiap tindakan yang berasal dari diri individual sama sekali jauh dari kebaikan moral. Oleh karenanya, moralitas tidak bersifat relatif, individual atau bisa berubah. Moralitas dipengaruhi nilai-nilai yang secara universal; dan abadi, yang kebenarannya bersifat valid.22)
Argumen ketiga:
Muthahhari mengajukan argumen ketiganya dengan menegaskan bahwa manusia tidak melakukan sesuatu apapun yang tidak berkaitan dengan semesta dirinya. Dia menyangkal prinsip pengkhidmatan dari Allamah Thabathaba’i, yang menurutnya tindakan manusia dipaksakan kepadanya oleh diri-diri yang lain. Untuk mengelaborasi argumen ini, dia mengambil cara lain tentang pembagian tradisional eksistensi manusia ke dalam dua diri: superior (spiritual) dan inferior (jasmani) diatur oleh hasrat-hasrat dan motif-motif kebinatangan. Moralitas berarti menundukkan diri hewani kepada diri yang lebih tinggi. Apapun yang dilakukan diri yang lebih rendah adalah bukan moralitas. Tindakan-tindakan moral mempunyai sumber dalam diri yang lebih tinggi. Diri hewani ditundukkan di bawah sistem niali yang lebih tinggi, yang secara universal diberikan pada semua manusia. Menurut Muthahhari, diri yang lebih tinggi bersifat universal dan nilai yang di bawahnya juga bersifat universal dan abadi. Dia ingin tahu mengapa Allamah lupa untuk merujuk pada konsep ini, niscaya ia akan menerima argumen bahwa tindakan-tindakan moral adalah tindakan-tindakan yang dilakukan karena kepuasan dari diri yang lebih tinggi. Dalam hal ini, niscaya beliau menolak doktrin relitivisme moral, juga prinsip pengkhidmatan.
Muthahhari juga sepakat dengan Allamah, Russell dan lainnya bahwa baik dan buruk, ‘seharusnya’ dan ‘tidak seharusnya’, didasarkan pada cnita manusia pada tujuan akhir dan ketidaksukaannya pada hal-hal lain. Dia bertanya, “Tapi cinta dan benci yang mana merupakan kriteria baik dan buruk?” Dia menjawab, sekiranya orang mengatakan bahwa kriterianya adalah diri yang lebih rendah atau diri hewani yang menyukai atau membenci suatu obyek sebagai standar moralitas, maka orang itu keliru, karena ia menafikan spirit mora;litas yang azali. Kepentingan diri yang lebih rendah boleh jadi berbeda antara individu dengan individu lain, sehingga pada gilirannya tak ada nilai moral yang universal dan abadi. Pada sisi lain, jika kita percaya bahwa diri yang lebih tinggi merupakan pijakan moralitas, niscaya kita akan mengakui bahwa nilai-nilainya valid, serta berlaku universal dan abadi.
Muthahhari mengatakan, di akhir karyanya Akhlaq wa Jawidanagi:
“Saya ingin merujuk pada suatu doktrin Islam yang sangat signifikan dalam memecahkan masalah moralitas, yang dilalaikan para filosof. Yakni, manusia mempunyai kemuliaan dan keluhuran budi yang bisa didenifisikan sebagai suatu fakultras spiritual atau tanda Ilahiah. Setiap orang tidak sadar mengalaminya. Ketika melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, ia merenungkan apakah perbuatan-perbuatan tersebut sesuai dengan keluhuran budinya ataukah tidak. Kapanpun ia menjumpai suatu perbiuatan yang sesuai dengannya, ia mengakui perbuatan itu sebagai hal yang bagus dan bajik; jika tidak sesuai dengannya, diangap buruk dan jahat. Seperti hewan yang tahu apakah sesuatu itu bermanfaat atau berbahaya bagi mereka, maka diri manusia yang mempunyai kebajikan metafisik mengetahui apakah kebaikan itu dan apakah keburukan itu, apa yang ia harus lakukan dan mana yang seharusnya ia tidak lakukan… manusia diciptakan sama, sepanjang fakultas spiritual dan kebajikan pun sama, pandangan-pandangan mereka pun sama.secara biologis dan filosofis, manusia berbeda satu sama lain dan di bawah kondisi-kondisi yang beragam, kebutuhan-kebutuhan fisik mereka pun berbeda. Namun sepanjang kemampuan untuk mencapai sublimasi spiritual diperhatikan, pada dasarnya mereka sama dan perlu mempunyai kesukaan dan ketidaksukaan yang sama, serta setandar baik dan buruk yang sama. Semua kebajikan moral, baik individu maupun sosial, seperti kesabaran, dapat dijelaskan dari pandangan ini.”23)
Muthahhari menyimpulkan bahwa prinsip yang dikutip di atas menjelaskan kriteria baik dan buruk juga kebajikan individual dan sosial, ketika dibandingkan dengan semua teori moral yang disebutkan di atas. Prinsip ini juga memberikan pijakan yang paling kokoh untuk memepercayai keabadian dan keuniversalan nilai-nilai moral. Pandangan filsafat Muthahhari mempunyai afinitas yang tipis dengan pemikir-pemikir moral kontemporer, yang pada umumnya, menerima sebagian corak relativisme. Filsafat moral mereka pun tidak bermanfaat. Meskipun tidak mengeluarkan unsur manusia dalam menentukan kebaikan dan keburukan, ia tidak dapat menyetujui pendapat pemikir Barat tertentu yang menganggap semua nilai moral mempunyai sumbernya dalam pengalaman manusia dan kepentingan sosial serta individual. Moralitas dalam Islam mempunyai sumber dan pijakan ketuhanan, yang dalam hal ini hanya dapat diakses oleh diri yang lebih tinggi. Pandangan filsafat Muthahhari sesuai dengan ajaran Islam, dan ia telah menegaskannya dengan istilah yang sepadan dengan masalah-masalah kontemporer yang menghadang manusia.
Nota: Pertama kali termuat di dari Jurnal Al-Huda Vol.1 No.2, 2000. Tapi, ini diperoleh di:http://sahabat-muthahhari.org/media.php?module=detailpemikiran_muthahhari&id=47
Catatan:
1. G.H.R. Parkinson, An Encyclopedia of Philosophy, Routledge, London: 1989, hal. 517-718.
2. Milton K. Munitz(ed.), A Modern Introduction to Ethics. The Free Press of Glence, USA: 1961, hal. 520.
3. David Hume, A Treatise of Human Nature, hal. 469.
4. ‘Abdal-Karim Surush(ed.), Jawidanagi wa Akhlaq, Yadnameh-ye Uistad-e Shahid murtadha Muthahhari, Sazman-e Intisharat wa amuzish-e Enghelab-e Islami, Tehran: 1360 H Syamsiyyah (tahun Iran), jilid I, hal. 384.
5. Ibid.
6. Ibid., hal. 385.
7. Ibid.
8. Ibid. hal.389.
9. Bertrand Russell, A History of Western Philosophy,George Allen Unwin, London: 1984, hal.133.
10. ‘Abd Al-karim Surush, op. cit., hal. 392.
11. Ibid.
12. Ibid. hal. 393.
13. Ibid. hal. 398.
14. Ibid. hal. 400.
15. Ibid. hal. 402.
16. Ibid.
17. Ibid. hal. 407.
18. Bertrand Russell, op. cit., hal.130.
19. Ibid., hal.133.
20. ‘Abd Al-karim Surush, op. cit., hal. 405.
21. Ibid. hal. 411.
22. Ibid., hal.414.
23. Ibid., hal.416
Sumber: http://sahabat-muthahhari.org/media.php?module=detailpemikiran_muthahhari&id=47
No comments:
Post a Comment