Murtadha Muthahhari sebagai Perintis Teologi Baru (New Kalam), (ed.)
Oleh AN Baqirshahi
KONSEP keadilan meliputi seluruh kebajikan dan mencirikan keharmonisan sempurna yang mendapat dukungan dari perilaku dan moral teladan. Untuk tujuan analisis rasional, para filosof klasik, pasca Aristoteles, lebih suka menekankan referensi istilah tersebut kepada kebajikan khusus, yang membedakan misalnya, antara keadilan dan persamaan atau antara keadilan dan kebaikan.
Dalam Republic [salah satu karya Plato-pent.], fungsi keadilan adalah untuk mengatur dan menyeimbangkan kebajikan-kebajikan lain. Dengan kata lain, keadilan berfungsi untuk memperoleh keharmonisan dan memelihara keseimbangan. Keadilan berasal dari setiap elemen masyarakat dalam melakukan tugas yang tepat. Untuk menghindar dari dualisme Plato, yang mementingkan peran keadilan dan mencela hukum positif, Aristoteles menganggap keadilan sebagai imanen dalam hukum yang berlaku dan dengan demikian memberinya suatu fungsi yang nyata-nyata lebih efektif. Karena imanen, keadilan pada prinsipnya menimbulkan antitesis dan ketegangan yang sulit. Untuk itu, Aristoteles yang tidak seperti sebagian para pendahulunya meninggalkan masalah yang belum dapat dipecahkan itu secara jujur.
Dalam perkembangan lain, Kant dan muridnya hanya menguraikan konsep keadilan secara sepintas setelah memberikan suatu definisi positivistik yang sederhana tentang “adil” dan “zalim” dalam Metaphysics of Morals. Filosof seperti Hume pada dasarnya amat memperhatikan koherensi dan konsistensi moral serta memandang cukup menandai keadilan dalam pelaksanaannya dengan mengajukan pandangan bahwa “manfaat publik merupakan satu-satunya sumber keadilan.”
Tidak seperti Saint Simon dan para teoretisi sosial lainnya dan tidak sebagaimana para murid mereka sendiri, Marx dan Engels tidak memberi ruang bagi “keadilan” dan analisis mereka tentang relasi-relasi ekonomi. Seperti Bentham, mereka berdua mengabaikan istilah tersebut dan menganggap keadilan hanya sebagai kedok bagi ekspoitasi kapitalis dan kemunafikan.
Kaum sosialis menisbatkan kezaliman yang terjadi di masyarakat kepada individualisme yang merajalela yang bertangung jawab sepenuhnya terhadap munculnya ketidakadilan sosial dan degradasi massa manusia. Pada gilirannya, mereka menyimpulkan bahwa kegagalan individualisme memaksakan penerimaan terhadap sistem alternatif satu-satunya, yakni sosialisme. Bahkan penulis Socialism memegang keyakinan bahwa “sosialisme menerima dunia karena kezaliman.” Namun sosialisme juga, dengan menyangkal eksistensi individu, gagal dalam menegakkan keadilan yang sama dan perlindungan hak-hak serta kebebasan yang setara. Oleh karenanya, sosialisme melahirkan suatu kelas baru di negeri-negeri sosialis. Dalam bukunya The Open Society and Its Enemies (II), Karl Popper juga memprediksikan kelahiran kelas baru di negeri-negeri sosialis.
Pengarang Democracy Versus Socialism menerangkan perbedaan etis yang pokok antara dua sistem sosial ini sebagai berikut:
Sosialisme, yang menolak eksistensi hak-hak alamiah individu, muncul untuk: (i) merekonstruksi masyarakat dalam arah yang berlawanan menuju evolusi masa lalunya; (ii) menundukkan individu kepada negara secara mutlak; (iii) menghilangkan kesamaan hak-haknya dengan orang lain dalam menjalankan fakultas industrialnya sebagaimana ia kehendaki dan memaksanya untuk melakukannya dalam cara, waktu, dan tempat tertentu sebagaimana ia diarahkan; (iv) mengabaikan hak individu untuk memperoleh keuntungan dengan perbuatan-perbuatannya sendiri yang bermanfaat; dan (v) menyerahkan kepada individu balasan yang tidak merujuk kepada jasa yang dilakukan olehnya. Sementara di sisi lain, individualisme: (i) mengukuhkan eksistensi persamaan, hak-hak alamiah individu, (ii) mencari evolusi yang lebih jauh dari masyarakat dalam arah evolusi masa lalunya sampai masyarakat akan menjadi sepenuhnya tunduk kepada kesejahteraan individu-individu yang menyusunnya; (iii) mencoba memperoleh kesejahteraan umum melalui penghapusan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang ada pada hak-hak alami dan setara dari semua individu. Kebebasan setiap orang menggunakan seluruh fakultasnya, sebagaimana ia kehendaki, hendaknya tidak melanggar kebebasan yang sama-sama dimiliki orang lain. Masing-masing orang berhak menggunakan fakultas kemampuannya selagi kesempatan memungkinkan. Namun haknya itu dibatasi oleh hak orang lain. Hak yang tidak terbatas dari setiap orang untuk memperoleh keuntungan dengan perbuatan yang menguntungkannya sendiri, merupakan balasan yang disediakan terhadap tindakan pelayanan.
Namun kepemilikan pribadi dan monopoli dalam kapitalisme menolak mayoritas manusia atas keuntungan yang diperoleh dari perbuatan-perbuatan mereka dan mereduksi penghargaan mereka ke bawah nilai pengabdian yang mereka lakukan. Individualisme juga gagal mendapatkan kebebasan dan keadilan bagi mayoritas manusia.
Muthahhari, sebagai pelopor dari teologi baru (new kalam), dalam bukunya yang bertajuk ‘Adl-e Ilahi (Keadilan Ilahi) dan Barrasi-ye ijmali-ye mabani-ye iqtishad-e Islami (Telaah Ringkas ihwal Prinsip-prinsip bagian pertama Divine Justice (Keadilan Ilahi), ia mendiskusikan secara mendetail gagasan keadilan dari sudut pandang Islam. Menurut Muthahhari, penolakan atau penyangkalan prinsip-prinsip keadilan memainkan peranan penting dalam perkembangan filsafat sosial di dunia Muslim. Berkaitan dengan signifikansi keadilan sosial, Muthahhari mengatakan:
Pertama, saya akan mengawali tulisan dengan mendiskusikan tema keadilan untuk menjelaskan pengaruh keadilan terhadap prinsip keadilan sosial. Kedua, penolakan prinsip keadilan dan pengaruh negatifnya, kurang lebih dalam pemikiran kita, merupakan sebab utama dari merosotnya keadilan sosial dalam Islam yang niscaya dapat dikembangkan dengan pijakan ilmiah dan argumentasi rasional dan menjadi prinsip penunjuk dalam fiqih (yurisprudensi). Sebagai akibatnya, sekarang ini muncul suatu jenis fiqih yang tidak konsisten dengan keabadian prinsip-prinsip Islam dan tidak mempunyai jaminan pijakan untuk filsafat sosial. Jika ada yang memunculkan kebebasan pemikiran (dalam Dunia Islam) dan jika kaum tradisionalis (ashab al-sunnah) tidak mendominasi para pembela keadilan (ahl al-‘adl), dan jika Syi’ah tidak mempunyai akhbarigari, maka niscaya kita mempunyai filsafat sosial yang dikodifikasi dan fiqih kita juga niscaya disandarkan atasnya, dan kita tidak akan ditenggelamkan ke dalam kontradiksi-kontradiksi dan kehancuran.
Pandangan Asy’ariyyah dan Mu’tazilah tentang Keadilan dalam Karya-karya Muthahhari
Dalam bukunya, Asyna’I ba ‘ulum-e Islami (Suatu Pengantar kepada Ilmu-ilmu Islam), Muthahhari memandang bahwa sebenarnya tak satu pun mazhab-mazhab Islam yang menolak keadilan sebagai salah satu sifat ketuhanan. Tak satu pun yang pernah mengklaim bahwa Tuhan itu zalim. Perbedaan antara Mu’tazilah dengan penentang-penentang mereka adalah mengenai interpretasi keadilan. Kalangan Asy’ariyyah menafsirkan keadilan dengan sedemikian rupa yang maksudnya, dalam pandangan Mu’tazilah, nyaris merupakan suatu penyangkalan sifat keadilan. Akan tetapi, Asy’ariyyah sendiri tidak bisa dianggap sebagai para penentang keadilan.
Mu’tazilah percaya bahwa beberapa perbuatan pada prinsipnya “adil” dan sebagian lagi secara intrinsik “zalim”. Umpamanya, memberi pahala kepada yang taat dan menghukum kepada pendosa adalah keadilan. Dan, Allah harus memberikan pahala kepada yang taat dan menghukum pendosa, dan mustahil bagi-Nya untuk berbuat sebaliknya. Memberi pahala kepada pendosa dan menghukum yang taat pada prinsipnya dan secara intrinsik adalah zalim, dan mustahil bagi Tuhan untuk melakukan perbuatan semacam itu. Dengan cara yang sama, Dia memaksa makhluk-makhluk-Nya untuk berbuat dosa, atau menciptakan makhluk tanpa kekuatan untuk melakukan kebaikan. Pada saat yang sama (Dia) menciptakan perbuatan-perbuatan dosa dari para pendosa dan kemudian menghukum mereka karena dosa-dosa mereka, yang berada di balik kekuatan mereka, tidak lain merupakan kezaliman, suatu hal yang buruk bagi Tuhan untuk melakukannya; itu tidak dapat dibenarkan dan tercela.
Akan tetapi, Asy’ariyyah percaya bahwa tidak ada perbuatan yang secara intrinsik ataupun secara prinsip adil ataupun zalim. Keadilan pada prinsipnya apapun yang Tuhan lakukan. Jika secara teoretis, Tuhan menghukum yang taat dan memberi pahala kepada pendosa, niscaya itu pun merupakan hal yang adil. Dengan cara yang sama, jika Tuhan menciptakan makhluk-makhluk-Nya tanpa kehendak apapun, kekuatan ataupun kebebasan tindakan, dan kemudian jika Ia menyebabkan mereka berbuat dosa dan menghukum mereka karena itu, itu bukan kezaliman esensial. Jika kita mengira bahwa Tuhan berbuat dengan cara ini, maka itu adil. Dengan demikian, menurut Asy’ariyyah, keadilan ditentukan semata-mata oleh kehendak dan perbuatan Allah.
Dalam bukunya, The Philosophy of the Kalam, H.A. Wolfson juga berpendapat bahwa karena penegasan mereka (Mu’tazilah) terhadap kehendak bebas didukung oleh mereka dengan landasan khusus tentang Keadilan Ilahi, dan penyangkalan mereka akan eksistensi terpisah dari Sifat-sifat Ilahi didukung oleh mereka dengan pijakan konsepsi khusus mereka tentang tauhid, maka Mu’tazilah dijuluki sebagai “para pembela keadilan dan tauhid” (ashhab al-‘adl wa al-tawhid).
Teologi Syi’i
Dalam sistem keimanan Syi’ah, prinsip Keadilan Ilahi dinilai sebagai salah satu dari lima doktrin pokok. Menurut prinsip ini, keadilan merupakan Sifat Allah, yang identik dengan Zat-Nya. Allah adalah Pembuat hukum keadilan. Dalam hal ini, jika Allah menyertakan hukum-Nya sendiri, ini tidak dalam pengertian pembatasan kekuasaan-Nya. Berdasarkan dokrin ini, mereka mengatakan bahwa menurut Keadilan Ilahi manusia semestinya bebas dan mampu berbuat berdasarkan kehendaknya. Sebaliknya, jika manusia tidak bertanggung jawab terhadap perbuatannya, maka akibatnya, ia tidak diberi pahala maupun dihukum. Lebih jauh mereka mengatakan bahwa jika Allah tidak memberikan pahala kebajikan dan tidak menghukum kejahatan, berarti Ia zalim, yang itu adalah mustahil.
Dalam dokrin Syi’ah, kebebasan manusia merupakan konsekuensi logis dari Keadilan Ilahi. Syi’ah sebagaimana sebagian dari Asy’ariyyah dan Mu’tazilah, berpendapat bahwa perbuatan manusia terdiri dari dua jenis: refleksif yakni tidak sengaja, dan dikehendaki atau dipilih. Tidak ada perselisihan berkaitan dengan perbuatan refleksif, karena perbuatan itu sifatnya instinktif (naluriah) dan manusia tidak mempunyai kendali atasnya. Namun, perbuatan yang dipilih manusia untuk dilakukan merupakan perbuatan sengaja. Dalam hal ini, manusia bisa berbuat dengan dua cara, karena ia bisa memilih di antara benar dan salah, baik dan buruk. Kita telah melihat, Mu’tazilah percaya akan kebebasan total manusia berkaitan dengan perbuatan-perbuatan sengaja. Kebebasan ini disebut qadar atau tafwidh. Istilah tafwidh bermakna ‘pendelegasian’ atau ‘pelimpahan wewenang’. Menurut sebagian Mu’tazilah, Allah telah mendelegasikan kekuasaan kepada manusia dalam melakukan perbuatan baik ataupun jahat. Ini artinya bahwa kekuasaan selalu bersama manusia. Di pihak lain, murid Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, Abu Bakar Al-Baqillani, seorang Mu’tazilah belakangan, percaya bahwa kekuasaan makhluk semata-mata Sifat Ilahi yang milik Tuhan, dan Dia adalah Pencipta segala jenis perbuatan. Tuhanlah satu-satunya yang memberikan kekuatan kepada manusia guna memilih antara perbuatan baik dan buruk, benar dan salah. Manusia hanya mempunyai kekuasaan yang terbatas. Doktrin ini disebut doktrin ‘kasb’. Dengan cara ini, Mu’tazilah dan Asy’ariyyah mengambil dua posisi yang ekstrem. Sementara itu, Syi’ah, menurut ajaran para Imam dari Keluarga Nabi, mengambil posisi tengah. Dalam konteks ini, Imam Ja’far Al-Shadiq a.s. berkata:
Tidak ada determinisme ataupun kebebasan (mutlak), tetapi suatu kedudukan tengah-tengah.
Dalam Ushul Al-Kafi, dalam kitab al-tawhid, ada bagian yang berjudul al-jabr wa al-qadar wa al-‘amr bayn al-‘amrayn. Penerjemah dan pensyarah Persia, Sayyid Jawad Mushtafawi, mendefinisikan qadar sebagai sinonim dengan bahasa Arab lain yakni tafwidh. Setelah menjelaskan doktrin determinisme dan kehendak bebas manusia, ia menulis:
Doktrin kebebasan atau ‘amr bayn al-‘amrayn (perkara di antara dua perkara) membentuk kandungan dari seluruh hadis yang diriwayatkan di bagian ini dan semua hadis yang sampai kepada kita melalui para Imam Ahlul Bait. Semua hadis jabar dan tafwidh (atau qadar) ini telah ditolak, dan dengan menolaknya suatu posisi tengah-tengah (‘amr bayn al-‘amrayn) diajukan; yakni, bahwa manusia bukanlah makhluk tiada kuasa dalam melakukan perbuatan apapun ibarat alat di tangan pekerja; tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan apapun atau membela dirinya sendiri, ataupun ia bukanlah makhluk yang sepenuhnya mampu melakukan perbuatannya secara independen, seakan-akan Tuhan tidak mempunyai kekuasaan atas perbuatannya. Dalam kenyataan, semua perbuatan ini saling berkaitan, di satu sisi dengan Tuhan, dan di sisi lain dengan dirinya sendiri.
Hak Alamiah dan Keadilan:
Mengenai hak-hak alamiah, Muthahhari berpendapat bahwa Islam percaya hak-hak alamiah serta keadilan universal (yang inheren dalam hukum-hukum alam). Tanpa menegaskan suatu tujuan ataupun maksud untuk dunia, yakni suatu pandangan dunia teleologis, maka hukum-hukum alamiah tidak bisa dibenarkan.
Ia mengatakan bahwa berjalannya alam semesta menurut hukum-hukum alam menunjukan bahwa berjalannya itu bertujuan, dan bahwa tujuan menuju pencapaian yang hal itu bergerak, ditentukan oleh Penciptanya, Allah.
Dengan demikian, Muthahhari menarik kesimpulan, perbedaan mendasar antara logika Ilahi dan logika profan atau non-Ilahi adalah yang pertama didasarkan pada keyakinan bahwa setiap orang yang lahir di dunia ini memiliki hak atas dunia. Seluruh makhluk manusia merupakan anak-anak alam semesta, dan seorang anak mempunyai hak terhadap orangtuanya, dan sebaliknya ia harus memberikan kompensasi untuk dunia di masa depan (yakni memenuhi tanggung jawabnya terhadap dunia).
Dalam mendukung pandangannya ia mengutip ayat al-Qur’an:
Dialah yang menciptakan bagi kalian semua yang ada di bumi. (QS….)
Dan bumi, Dia telah menatanya untuk makhluk-makhluk; (55:10)
Dan sesungguhnya Kami telah menempatkan kalian di bumi dan membuat sarana-sarana penghidupan di dalamnya bagi kalian; sedikit sekali di antara kalian yang bersyukur. (QS.7:10)
Dan sesunguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam, dan Kami angkat mereka di daratan dan di lautan. (QS 17:70)
Ayat-ayat ini mengelaborasi hak-hak alamiah yang dilimpahkan kepada manusia, yang menegaskan bahwa hak-hak alamiah pada prinsipnya bersumber dari Tuhan, yaitu dilimpahkan oleh Tuhan sendiri kepada manusia. Pandangan ini adalah kutub-kutub yang terlepas dari pandangan Marxis yang percaya bahwa manusia memperoleh suatu hak setelah ia memenuhi tanggung jawabnya. Islam, sebaliknya, pertama-tama mengakui hak-hak dan kemudian mengobligasikan kepada manusia untuk melakukan tugasnya terhadap dunia dan masyarakat. Hal ini berlawanan dengan prinsip pokok dari The Communist Manifesto: Kepada setiap orang menurut kerjanya. Prinsip Marxis yang asli yang dimodifikasi adalah ‘kepada setiap menurut kebutuhannya’, yang agaknya sepadan dengan gagasan Islam tentang hak-hak alamiah.
Kini pertanyaan yang muncul adalah apakah hak manusia lebih utama daripada keadilan ataukah sebaliknya. Dengan kata lain, apakah hak-hak ditentukan berdasarkan keadilan ataukah sebaliknya. Muthahhari berkeyakinan bahwa keadilan merupakan pondasi dan pijakan bagi hak-hak. Perlu dicatat bahwa Muthahhari mengeluarkan aasan kebebasan dan persamaan dari kategori hak-hak, karena ia percaya bahwa hak-hak diturunkan dari kebebasan dan persamaan, sehingga definisi hak tidak melingkupinya dan tidak dapat diaplikasikan kepada kebebasan dan persamaan. Di sini orang bisa menjumpai suatu kesamaan yang menakjubkan antara pandangan Muthahhari ihwal kebebasan dan gagasan kaum eksistensialis tentang kebebasan, yang secara khusus dalam pandangan Jean-Paul Sartre, dianggap sebagai kategori ontologis, pijakan, dan hakikat eksistensi manusia.
Agama dan Keadilan:
Tentang hubungan antara agama dan keadilan, Muthahhari percaya bahwa hal ini merupakan tema yang krusial yang terhdapnya mendukung mazhab teologi yang bermacam-macam. Mu’tazilah percaya bahwa keadilan adalah agama, yakni agama disandarkan kepada keadilan. Itulah mengapa Mu’tazilah secara popular dikenal sebagai “adliyyah (para pembela keadilan). Namun Asy’ariyah percaya apa yang agama katakana adalah keadilan. Muthahhari mendukung Mu’tazilah dan yakin bahwa pandangan keadilan merupakan criteria agama, atau dengan kata lain, keadilan adalah agama. Muthahhari mengatakan demikian dalam salah satu tulisannya, yang dimasukkan dalam pengantar Barrasi-ye ijmali-ye mabani-ye iqtishad-e Islami:
Prinsip keadilan adalah criteria, yakni orang harus mengevaluasi seluruh perkara dengan sorortan criteria ini. Keadilan memiliki sebab (atau alasan) hokum-hukum agama dan bukan salah satu efek (produk) dari hokum. Apa yang agama terangkan bukanlah keadilan, namun apa yang keadilan tawarkan itulah agama.18)
Menurut pandangan ini, keadilan memberikan landasan bagi agama, dan dengan demikian keadilan loebih utama daripada agama. Pandangan ini dengan implikasinya menunjukkan bahwa “adlm (keadilan) adalah criteria baik dan buruk, yang berarti bahwa semua kebaikan dan keburukan ditentukan secaravrasional. Di sini ada kemiripan antara pandnagan Muthhhari dan pplato mengenai keadilan
Kini pertanyaannya adalah apa hokum adil itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, Muthahhari menjawab: pertama, harus dijelaskan apakah keadilan itu dann bagaimana hokum serta terbti sosial harus ditempatkan untuk menututpi jalan bagi keadilan sosial? Dengan demikian, keadilan dan kezaliman di luar konteks masyarakat tidak punya arti apa-apa. Muspra. Pada saat yang sama, keadilan dan kezaliman tidak dibatasi kepada manusia, yakni juga ia mencakup binatang dan tumbuhan. Sehingga binatang pun mempunyai hak di alam semsta. Oleh kareanya, keadilan terlepas dari konteks sosialnya, mencakup makhluk non manusia juga. 19)
Kembali pada gagasan keadilan sosial, dalam bukunya Barrasi-ye ijmali-ye mabani-ye iqtishad-e Islami, Muthahhari berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara keadilan sosial dengan keadilan individu. Yakni keadilan sosial tidak menghalangi keadilan individu ketika bersifat ilahiah. Kezaliman, lawan keadilan, dapat dihukum.
Menjamin hah-hak manusia merupakan tanggung jawab seluruh manusia, karena hak-hak alamiah wujud sifatnya permanen dan pada prinsipnya universal. Pengalaman menunjukkan keduanya tidak terpisahkan. Misalnya hak hidup, hak kebebasan dan hak persamaan yang tidak dapat dihapuskan. Muthahhari berpendapat bahwa bahkan dalam kepentingan masyarakat, orang tidak bisa dihapuskan hak alamiahnya. Namun pada saat yang sama ia mengakui bahwa jika kepentingan sosial secara keseluruhan dalam bahaya, sebagian dari hak-hak ini dapat dihilangkan. Umpamanya, jika masyarakat merasa terancam, orang bisa mengorbankan hak hidupnya, namun hal ini baru diperbolehkan dalam keadaan yang sangat darurat.
Dengan merujuk Declaration of Human Rights, ia mengatakan bahwa hak-hak manusia diperkosa secara diam-diam ataupun terbuka di zaman kita. Kendati masyarakat manusia mengalami kemajuan di bidang teknologi dan saintifik. Ia menyimpulkan bahwa satu-satunya keimanan yang bisa menjamin hak-hak alamiah dan menegakkan keadilan adalah: keimanan terhadap moral, hukum dan keadilan. Muthahhari berkata bahwa kita tidak bisa menolak peranan ilmu namun ilmu mempunyai bidang dan batasannya sendiri. Yakni, ia bisa menjadi instrumen yang baik dan dapat berperan sebagai cahaya, namun ia bukan suatu tujuan dalam dirinya sendiri. Orang-orang yang mencukupkan akal sebagai instrumen untuk menegakkan hukum keadilan, berharap terlalu banyak darinya. Ilmu dan akal merupakan instrumen dalam menggerakkan manusia kepada tujuannya, namun kekuatan penggerak di balik keduanya adalah keimanan, yang baginya keduanya merupakan alat.
Dalam bukunya, Insan wa Iman (Manusia dan Keimanan), Muthahhari menulis bahwa hubungan antara ilmu dan agama telah melahirkan banyak kepentingan di antara para pemikir religius dan non-religius. “Allamah Muhammad Iqbal menulis tentang tema ini:
Sekarang ini kemanusiaan membutuhkan tiga hal: interpretasi spiritual atas alam semesta, emansipasi spiritual dari individu, dan prinsip-prinsip mendasar dari signifikansi universal yang mengarahkan evolusi masyarakat manusia ke pijakan spiritual. Eropa modern, tidak diragukan lagi, telah membangun system ideal pada jalur ini, namun pengalaman menunjukkan bahwa kebenaran yang diturunkan melalui akal murni tidak mampu membawa api keyakinan hidup. Hanya wahyu yang bisa membawanya. Inilah alasannya mengapa pengaruh pemikiran murni terhadap manusia sangatlah sedikit, sementara keimanan senantiasa mengangkat individu-individu, dan mentransformasi seluruh masyarakat. Idealisme Eropa tidak pernah menjadi faktor yang menghidupkan dalam kehidupannya dan akibatnya adalah suatu ego yang menyimpang yang mencari dirinya sendiri melalui demokrasi yang tidak toleran secara mutual yang mempunyai fungsi tunggal yaitu untuk mengeksploitasi kaum miskin demi kepentingan kaum kaya.20)
Ketika dibandingkan dengan para pemikir Barat kontemporer, bisa dibenarkan bahwa Muthahhari telah membangun ide keadilannya pada landasan yang lebih aman daripada yang ditawarkan oleh para pemikir Barat ini. Landasan ini disiapkan dengan konsepsi fitrah Muthahhari dan hak-hak alamiah yang dijamin oleh alam untuk seluruh makhluk hidup. Ia memberikan prioritas kepada hak-hak alamiah. Akan tetapi, ketika ada kepentingan masyarakat yang mendesak maka hak-hak alamiah individu bisa dinomorduakan. Dalam pandangannya, hak-hak alamiah bersumber dari Tuhan. Pandangan teistik dari para filosof Barat kontemporer. Ia percaya bahwa hanya Islam, sebagai penentang kapitalisme dan sosialisme, yang sepenuhnya menjamin hak-hak alamiah manusia dan memberikan garansi keadilan sosial bagi seluruh manusia. Patut dicatat bahwa saripati pemikiran Muhahhari melalui karya-karyanya tentang filsafat sosial merupakan konsep fitrah manusia. Ini adalah dasar-dasar teologi baru bagi Muthahhari. Konsep fitrah membantu Muthahhari dalam mengkritik kecenderungan Barat berkaitan gagasan keadilan dan keadilan sosial serta merekonstruksi pemikiran Islam.
Catatan:
1. David L. Sills, Encyclopedia of Social Science, (USA The Macmillan Company & The Free Press, 1968), vol. 8, hal. 344-345.
2. Ibid
3. Ludwig Von Mises, Socialism, Terjemahan J. Kahane (London, Jonathan Cape Ltd., 1936).
4. Untuk rincian tentang kelas baru lihat buku New Class dari Milowon Djilas.
5. Marx Hirsch (Melbourne), Democracy versus Socialism, New York: Macmillan and Company Ltd., 1961), hal. 253.
6. Murtadha Muthahhari, Barrasi-ye mabani-ye iqtishad-e Islami, (Telaah Ringkas Ihwal Prinsip-prinsip Ekonomi Islam) (Teheran: Hikmat Publications, 1403 H.), hal. 170.
7. Murtadha Muthahhari, An Introduction to’Ilm al-Kalam,”Al-Tawhid”’ A Quarterly journal of Islamic Thought and Culture (Tehran: Islamic Propagation Organization, Januari 1985), hal.63.
8. H.A. Wolfson, The Philosophy of Kalam, (London, Cambridge, 1970).
9. Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq al-Kulaini (w.328 atau 329 H), Ushul al-Kafi (Tehran, Intisyarat-e Islami), vol.1, hal. 222-224.
10. Dr. Syed Lathif Hussain Kazhmi, Concept of Freedom in Sartre’s and Iqbal’s Philosophy, tesis doctoral yang diajukan ke Jurusan Filsafat, A.M.U. Aligarh, hal.186.
11. Murtadha Muthahhari, Barrasi-ye mabani-ye iqtishad-e Islami, op.cit., hal.164.
12. Ibid., hal.165.
13. QS. Al-Baqarah, 2: 29
14. QS. Al-Rahman, 55: 10
15. QS. Al-A’raf, 7: 10
16. QS. Al-Isra, 17: 70
17. Murtadha Muthahhari, Barrasi-ye ijmali-ye mabani-ye iqtishad-e Islami, op.cit., hal., hal.65.
18. Ibid., hal. 170-171.
19. Ibid., hal. 15-16
20. Murtadha Muthahhari, Fundamentals of Islamic Thought, terjemahan R. Campbell (California, Mizan Press, 1985), hal. 34.
*Dr. Ridha Dawari, ketua jurusan filsafat Universitas Teheran, dalam artikelnya “Muthahhari and New Kalam” (Muthahhari dan Teologi Baru), menegaskan bahwa Muthahhari merupakan penggagas teologi baru. Meskipun teologi, setelah Nashir Al-Din Al-Thusi, juga dinilai sebagai teologi baru, namun teologi Muthahhari disebut baru dalam pengertian bahwa ia dihubungkan dengan problem-problem kontemporer. ‘Teologi baru’ yang dimaksudkan di sini ialah sejenis rekonstruksi pemikiran Islam dalam sorotan kebutuhan zaman modern. Yakni, untuk memenuhi tantangan-tantangan dari dalam dan luar Islam denagn suatu cara yang logis.
Tulisan ini pernah termuat di Jurnal Al-Huda, Vol. 1 No. 3, 2001, ICC Al-Huda Jakarta. Tapi, diperoleh di: http://sahabat-muthahhari.org/media.php?module=detailpemikiran_muthahhari&id=46
No comments:
Post a Comment