www.flickr.com

Saturday, February 20, 2010

Dr. Ali Shariati: Sang Muhajir Revolusioner

Oleh Ahmad Y. Samantho

Revolusi Islam Iran (1979) yang dipimpin oleh Ayatullah Imam Khomeini adalah salah satu revolusi politik terpenting pada abad ke-20. Salah satu tokoh intelektual yang sangat berpengaruh terhadap lahirnya revolusi itu adalah Ali Shariati, yang mati syahid 32 tahun lalu pada bulan ini.

Ali Shariati dilahirkan pada 1933 di Mazinan, pinggiran kota Sabzevar, Iran. Ayahnya seorang orator nasionalis progresif yang kelak ikut serta dalam gerakan-gerakan politik anaknya.

Ketika belajar di Sekolah Pendidikan Keguruan, Shariati bergaul dekat dengan para pemuda golongan ekonomi lemah (mustad’afin), sehingga ia menyaksikan dan merasakan sendiri kemiskinan dan kehidupan yang berat di Iran pada masa itu.


Di usia 18, ia mulai mengajar. Pada saat yang sama, ia pun berkenalan dengan banyak aspek pemikiran filsafat dan politik Barat, seperti yang tampak dari tulisan-tulisannya. Ia berusaha menjelaskan dan memberikan solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat muslim Iran melalui prinsip-prinsip Islam tradisional yang terjalin dan dipahami dari sudut pandang sosiologi dan filsafat modern. Shariati juga sangat dipengaruhi oleh pemikiran Maulana Jalaluddin Rumi dan Muhammad Iqbal.

Shariati lalu pergi ke Tehran dan mulai mengajar di Institut Hosseiniye Ershad. Kuliah-kuliah umumnya kembali sangat populer di antara mahasiswa-mahasiswanya dan akibatnya berita menyebar dari mulut ke mulut hingga ke semua lapisan ekonomi masyarakat, termasuk kelas menengah dan atas yang mulai tertarik akan ajaran-ajaran Shariati.

Pihak Kekaisaran Iran tentu saja gusar terhadap keberhasilan Shariati yang terus berlanjut memperbanyak pengikut. Polisi Shah Reza Pahlevi pun segera menahannya bersama banyak mahasiswanya.

Tekanan yang luas dari penduduk Iran dan tekanan internasional akhirnya mengakhiri masa penjaranya selama 18 bulan. Ia dilepaskan oleh pemerintah Shah Pahlevi pada 20 Maret 1975 dengan syarat-syarat khusus yang menyatakan bahwa ia tidak boleh mengajar, menerbitkan, atau mengadakan pertemuan-pertemuan, baik secara umum maupun secara pribadi. Aparat keamanan dan intelejen SAVAK mengawasinya dengan ketat.

Shariati memilih menolak syarat-syarat ini dan memutuskan hijrah meninggalkan negaranya dan pergi ke Inggris. Tiga minggu kemudian, pada 19 Juni1977, ia dibunuh oleh agen-agen SAVAK.

Sang Muhajir

Ali Shariati memelajari dan menghayati banyak mazhab pemikiran filsafat, teologi, sosiologi dengan satu sudut pandang Islami. Sebagian orang menyebutkan bahwa dia adalah muslim “Muhajir” (yang berhijrah), yang muncul dari kedalaman samudra mysticism (tasawuf) Timur, lalu mendaki ketinggian pesona gunung sains sosial Barat. Namun ia tak sampai terperangkap pesona itu: ia kembali ke tengah masyarakatnya dengan semua permata yang didapat dari perjalanannya.

Latar pemikiran Timurnya, tentu, ia dapat dari tradisi intelektual Iran yang sangat subur dengan khasanah filsafat Islam dan tasawuf yang kaya. Iran, atau tanah Persia, adalah rumah bagi Jalaluddin Rumi dan Surawahdi, para mistikus Islam klasik. Latar pemikiran Baratnya ia dapat dari Universitas Sorbonne, Paris, Prancis. Sorbonne adalah rumah bagi para pemikir posmodernis terkemuka seperti Michel Foucault.

Karena sangat memahami kondisi sosial-politik pada zamannya, Shariati memulai gerakan kebangkitan Islaminya dengan melakukan pencerahan terhadap massa rakyat, khususnya kalangan muda, melalui kuliah, ceramah, demonstrasi, dan gerakan sosial-politik. Ia percaya jika elemen muda masyarakat ini memiliki keimanan Islam yang benar, mereka akan secara total mengabdikan diri dan aktif menjadi mujahid yang mau berkorban bahkan nyawa.

Ali Shariati secara konstan berjuang untuk menciptakan nilai-nilai kemanusiaan di dalam diri generasi muda Iran. Bagi Shariati, nilai-nilai tersebut telah dirusak oleh metode teknis-saintifik (empirisme-positivisme ilmiah sekular) dan hedonisme-permisif.

Dengan antusias, ia berusaha untuk memperkenalkan kembali al-Qur’an dan sejarah Islam kepada generasi muda sehingga mereka dapat menemukan jati diri mereka yang sejati, agar dapat berjuang melawan semua kekuatan masyarakat yang dekaden dan korup. Tafsir historisnya terhadap Al-Quran sungguh menggugah.

Ideologisasi Islam

Ali Shariati dikenal sebagai pemikir yang multidimensi dan, karenanya juga, multi-interpretable. Tapi para pengamat juga dapat melihat semacam pandangan dunia (weltanschauung) yang cukup konsisten dalam tulisan-tulisannya.

Pandangan dunia Ali Shariati yang paling menonjol adalah soal hubungan agama dan politik, yang dapat dikatakan menjadi dasar dari ideologi pergerakannya. Dalam konteks ini Shariati dapat disebut pemikir politik-keagamaan (politico religio thinker). Demikian ulas Anjar Nugroho dalam blognya, www.pemikiranislam.wordpress.com.

Menurut Anjar Nugroho, salah satu tema sentral dalam ideologi politik keagamaan Shariati adalah agama –dalam hal ini, Islam– dapat dan harus difungsikan sebagai kekuatan revolusioner untuk membebaskan rakyat yang tertindas, baik secara kultural maupun politik.

Lebih tegas lagi, Islam dalam bentuk murninya –yang belum dikuasai kekuatan konservatif– merupakan ideologi revolusioner ke arah pembebasan Dunia Ketiga dari penjajahan politik, ekonomi, dan kultural Barat. http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/16/pemikiran-syariati-2/ - _ftn3

Dalam pandangan Shariati, agama sebagai ideologi diartikan: “suatu keyakinan yang dipilih secara sadar untuk menjawab keperluan-keperluan yang timbul dan memecahkan masalah-masalah dalam masyarakat.” Ideologi dibutuhkan, menurut Shariati, untuk mengarahkan suatu masyarakat atau bangsa dalam mencapai cita-cita dan alat perjuangan. Ideologi dipilih untuk mengubah dan merombak status quo secara fundamental. http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/16/pemikiran-syariati-2/ - _ftn4

Menurut Ali Shariati, ada dua jenis agama dalam tahap sejarah. Pertama, agama sebagai ideologi dan kedua, agama sebagai kumpulan tradisi dan konvensi sosial atau juga sebagai semangat kolektif suatu kelompok. Ia menggambarkan kedudukan agama sebagai ideologi dengan pernyataan:

Islam, sebagai suatu ideologi, bukanlah suatu spesialisasi ilmiah; tetapi adalah kepekaan rasa seseorang yang terhubung dengan suatu aliran pikiran yang berupa sistem kepercayaan dan bukan sebagai budaya. Ia memosisikan Islam sebagai suatu gagasan dan bukan sekedar sebagai suatu koleksi ilmu pengetahuan. Islam yang demikian memunyai pandangan yang utuh tentang manusia, pergerakan intelektual dan sejarah, bukan sebagai suatu gudang informasi teknis dan ilmiah. Dan, pada akhirnya, Islam sebagai ideologi berada dalam pikiran kaum intelektual dan bukan sebagai ilmu pengetahuan religius masa lampau yang berada dalam pikiran ulama. http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/16/pemikiran-syariati-2/ - _ftn5

Shariati juga melihat ada problem besar masa depan dunia Islam, yaitu kolonialisme dan neo-kolonialisme oleh Barat. Hal ini telah mengasingkan masyarakat muslim dari kebudayaan aslinya (turâts), karena mereka mau tidak mau harus mengikuti alur kebudayaan dan pola pikir yang telah “dipaksakan” oleh pihak kolonialis maupun neo-kolonialis.

Shariati memandang saat itu kolonialisme dan westernisasi (pembaratan) telah melanda negara Dunia Ketiga, tak terkecuali Iran. Akibat yang timbul dari hal itu adalah munculnya bentuk-bentuk korporasi multinasional, rasisme, penindasan kelas, ketidakadilan, dan mabuk kepayang terhadap Barat (Westoxication).

Ia menyatakan bahwa kolonialisme Barat dan kepincangan sosial sebagai musuh terbesar masyarakat yang harus diberantas dalam jangka panjang. Tetapi untuk jangka pendek, menurut Shariati, ada dua musuh yang harus segera dimusnahkan: pertama, Marxisme vulgar – menjelma terutama dalam Marxisme-Stalinisme – yang banyak digemari para intelektual dan kaum muda Iran. Kedua, Islam konservatif sebagaimana dipahami kaum mullah yang menyembunyikan Islam revolusioner dalam jubah ketundukan kepada para penguasa. http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/16/pemikiran-syariati-2/ - _ftn9

Untuk membebaskan massa rakyat dari krisis untuk membawa mereka mencapai negara yang merdeka dan berkeadilan sosial-ekonomi, Shariati yakin bukan melalui Liberalisme, Kapitalisme, ataupun Sosialisme. Yang bisa mengobati penyakit ini, kata Shariati, hanyalah Islam. Baginya, Islam merupakan satu-satunya solusi yang akan menyelamatkan negeri Muslim dari segala bentuk tekanan dan penindasan.

Pertama-tama Shariati berusaha melakukan ideologisasi Islam dengan menunjukkan karakteristik revolusioner Islam. Ia berupaya membuktikan bahwa Islam agama yang sangat progresif, agama yang menentang penindasan. Shariati sangat antusias untuk membuktikan perlunya suatu reformasi bagi pemahaman Islam yang benar, sehingga dibutuhkan figur-figur yang mampu memimpin masyarakat kepada perubahan paradigma dan mental masyarakat.

Mereka itulah yang menurut Shariati disebut para pemikir tercerahkan (rausanfikr). Kemudian Shariati menunjukkan bahwa Islam merupakan akar budaya masyarakat Iran yang telah lama mendarah daging. Dengan demikian, masyarakat Iran harus kembali kepada warisan budaya Islam jika menginginkan perubahan.

Shariati berusaha untuk membedakan antara ideologi, ilmu dan filsafat. Ilmu menurutnya adalah pengetahuan manusia tentang alam yang kongkret. Ia merupakan penemuan manusia tentang beberapa hubungan, suatu prinsip, kualitas dan karakteristik di dalam kehidupan manusia, alam dan benda-benda lainnya. Filsafat, dapat didefinisikan sebagai pencarian ke arah pemahaman sesuatu yang bersifat umum, belum diketahui dan tidak terjangkau ilmu. Filsafat mempersoalkan kemungkinan-kemungkinan ideal, kebenaran dan substansi, fenomena, dan konsep-konsep yang ada dalam alam pikiran manusia. http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/16/pemikiran-syariati-2/ - _ftn14

Ideologi menuntut seorang intelektual untuk memihak. Setiap ideologi memulai dengan sikap kritis terhadap status quo, kritis terhadap masyarakat dengan berbagai aspek kultural, ekonomi, politik dan moral yang cenderung melawan perubahan-perubahan yang diinginkan. Berbeda dengan filsafat maupun ilmu, yang sama sekali tidak memunyai komitmen seperti itu, hanya menggambarkan realitas seperti apa adanya dengan tidak membedakan apakah ia menolak atau menerima realitas tersebut. http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/16/pemikiran-syariati-2/ - _ftn16

Inilah perbedaan yang menyolok antara ilmu, filsafat dan ideologi. Dengan kata lain, agar ideologi mampu memposisikan dirinya menjadi landasan perjuangan, maka keberpihakannya harus jelas. Pada wilayah politik, ia harus mengabdi sehingga mampu memberikan doktrin-doktrin politik. Pada kekuasaan politik ia harus bisa menyerang. Inilah sebenarnya, kata Shariati, makna sesungguhnya dari ideologi, yang berarti bukan konsep, landasan berfikir, filsafat, apalagi ilmu. Ideologi adalah kata lain dari keberpihakan politik, tegas Shariati.

Lebih lanjut Shariati mengatakan, baik ilmu maupun filsafat tidak pernah melahirkan revolusi dalam sejarah walaupun keduanya selalu menunjukkan perbedaan-perbedaan dalam perjalanan waktu. Adalah ideologi-ideologi, tegas Shariati, yang senantiasa memberikan inspirasi, mengarahkan dan mengoganisir pemberontakan-pemberontakan menakjubkan yang membutuhkan pengorbanan-pengorbanan dalam sejarah manusia di berbagai belahan dunia.
Hal ini karena ideologi pada hakekatnya mencakup keyakinan, tanggung jawab, keterlibatan dan komitmen. http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/16/pemikiran-syariati-2/ - _ftn17

Ideologi, lanjut Shariati, menuntut agar kaum intelektual bersikap setia (commited). Ideologilah yang mampu mengubah masyarakat, sementara ilmu dan filsafat tidak, karena sifat dan keharusan ideologi meliputi keyakinan, tanggung jawab dan keterlibatan untuk komitmen. Sejarah mengatakan, kata Ali Shariati, revolusi atau pemberontakan hanya dapat digerakkan oleh ideologi.

Konflik abadi

Menurut Shariati, sejarah umat manusia sepanjang zaman tidak akan terbebas dari konlfik abadi antara yang haq dan yang bathil, antara kaum penindas arogan (mustrakbirin) dengan kaum tertindas yang dilemahkan (mustad’afin).

Seolah ini sudah merupakan skenario Ilahi. Selalu saja ada peperangan antara dua kubu yang saling bertentang secara diametral ini. Syariati mencontohkan dengan awal konflik dan pembunuhan antara saudara sekandung putra Adam dan Hawa, Habil dan Qabil.

Konflik antar kelas ini lalu juga berlanjut misalnya antara Raja Namrud dengan Nabi Ibrahim AS, antara Firaun Raja Mesir dengan Nabi Musa AS dan Nabi Harun, antara imperium Romawi dengan Nabi Isa AS. Berlanjut ke konflik antara para saudagar konglomerat Arab Quraisy dengan Nabi Muhammad AS. Bahkan bersambung para konflik dan peperangan antara Yazid Bin Mua’wiyah dengan Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucunda kesayangan Rasulullah. http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/16/pemikiran-syariati-2/ - _ftn18

Tak semua ulama yang terlibat dalam Revolusi Islam Iran sepakat dengan pemikiran Ali Shariati. Di antara yang tak sepakat, Murtadha Muthahari, misalnya. Namun, kematian Dr. Ali Shariati dan membuka pintu kemenangan Revolusi Islam Iran tahun 1979.

Nota: Artikel ini dimuat di majalah Madina No. 7 edisi Juli 2009. Artikel ini diperoleh di: http://www.madina.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=107:dr-ali-shariati-sang-muhajir-revolusioner&catid=38:newsflash&Itemid=37

No comments: