Oleh Anjar Nugroho
Pemahaman Islam yang ditawarkan Ali Syari’ati berbeda dengan pemahaman maintreem saat itu. Islam yang dipahami banyak orang di masa Syari’ati adalah Islam yang hanya sebatas agama ritual dan fiqh yang tidak menjangkau persoalan-persoalan politik dan sosial kemasyarakatan. Islam hanyalah sekumpulan dogma untuk mengatur bagaimana beribadah tetapi tidak menyentuh sama sekali cara yang paling efektif untuk menegakkan keadilan, strategi melawan kezaliman atau petunjuk untuk membela kaum tertindas (mustad’afîn[1]).
Islam yang demikian itu dalam banyak kesempatan sangat menguntungkan pihak penguasa yang berbuat sewenang-wenang dan mengumbar ketidakadilan, karena ia bisa berlindung di balik dogma-dogma yang telah dibuat sedemikian rupa untuk melindungi kepentingannya.
Dalam konteks situasi politik saat Syari’ati hidup, wacana Islammainstreem itulah yang digunakan oleh sebagian besar ulama untuk mendukung kekuasaan rezim Syah. Ketika rezim Syah menindas rakyatnya, para ulama rezimis tersebut tidak mampu berbuat apa-apa untuk kepentingan rakyat. Justru ulama itu dipaksa untuk terus-menerus memberikan justifikasi keagamaan atas kebijakan-kebijakan Syah. Syari’ati menganalogkan Islam yang demikian itu sebagai Islam gaya penguasa (Islamnya Usman, Khalîfah ketiga Islam). Sementara Islam otentik, sebagaimana yang dinyatakan Syari’ati, adalah Islamnya Abu Zar, sahabat Nabi sang pencetus pemikiran sosialistik Islam:
Abu Dhar was watching these shameful scenes and because he could no longer bear it, could no longer remain silent, he rebelled, a manly and wonderful rebellion; an prising which caused rebellion in all the Islamic lands against ‘Uthman; an uprising from which the waves of enthusiasm can still be felt until the present day in the situations of human societies. Abu Dhar was trying to develop the economic and political unity of Islam and the regime of ‘Uthman was reviving aristocracy. Abu Dhar believed Islam to be the refuge of the helpless, the oppressed and the humiliated people and ‘Uthman, the tool of capitalism, was the bastion to preserve the interests of the usurers, the wealthy and the aristocrats.
(Abu Zar menyaksikan peristiwa yang memalukan ini dan karena tidak bisa lagi menerima hal itu itu, maka dia tidak lagi bisa diam, ia pun melawan, suatu perlawanan yang sangat bagus dan jantan; suatu perlawanan yang menyebabkan timbulnya perlawanan di semua wilayah Islam melawan kekuasaan Usman; suatu perlawanan dari gelombang gairah Islam yang tetap dirasakan sampai zaman sekarang di dalam sejarah umat manusia. Abu Zar sedang berusaha untuk membangun kesatuan ekonomi dan politik Islam dan rejim Usman sedang menghidupkan kembali aristocracy. Abu Zar percaya Islam sebagai tempat perlindungan orang yang membutuhkan pertolongan, si tertindas dan orang-orang yang terhina dan ‘Usman menjadikan Islam sebagai alat kapitalisme yang berarti pula benteng untuk memelihara para lintah darat, orang-orang kaya dan kaum ningrat.)[2]
Islam, dalam pandangan Syari’ati bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hanya sekadar hubungan antara hamba dengan Sang Khaliq (Hablu min Allah), tetapi lebih dari itu, Islam adalah sebuah ideologi emansipasi dan pembebasan:
Adalah perlu menjelaskan tentang apa yang kita maksud dengan Islam. Dengannya kita maksudkan Abu Zar; bukan IslamnyaKhalîfah . Islam keadilan dan kepemimpinan yang pantas; bukan Islamnya penguasa, aristokrasi dan kelas atas. Islam kebebasan, kemajuan (progress) dan kesadaran; bukan Islam perbudakan, penawanan dan pasivitas. Islam kaum mujâhid; bukan Islamnya kaum ulama. Islam kebajikan dan tanggungjawab pribadi dan protes; bukan Islam yang menekankan dissimulasi (taqiyeh) keagamaan, wasilah ulama dan campur tangan Tuhan. Islam perjuangan untuk keimanan dan pengetahuan ilmiah; bukan Islam yang menyerah, dogmatis, dan imitasi tidak kritis (taqlîd) kepada ulama.[3]
Selanjutnya, gambaran Islam pembebasan ditegaskan kembali oleh Syari’ati:
Adalah tidak cukup dengan menyatakan kita harus kembali kepada Islam. Kita harus menspesifikasi Islam mana yang kita maksudkan: Islam Abu Zar atau Islam Marwan (bin. Affan), sang penguasa. Keduanya disebut Islam, walaupun sebenarnya terdapat perbedaan besar diantara keduanya. Satunya adalah Islam ke-khalîfah-an, istana dan penguasa. Sedangkan lainnya adalah Islam rakyat, mereka yang dieksploitasi dan miskin. Lebih lanjut, tidak cukup syah dengan sekadar berkata, bahwa orang harus mempunyai kepedulian (concern) kepada kaum miskin dan tertindas. Khalîfah yang korup juga berkata demikian. Islam yang benar lebih dari sekedar kepedulian. Islam yang benar memerintahkan kaum beriman berjuang untuk keadilan, persamaan dan penghapusan kemiskinan.[4]
Islam pembebasan adalah Islam yang diwariskan oleh Imam Husein; kesyahidannya di Karbala menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang tertindas untuk memelihara Islam yang otentik itu. Sehingga, Islam yang demikian adalah Islam Syi’ah awal, yakni Islam Syi’ah revolusioner yang dipersonifikasikan Abu Zar al-Ghifari dengan kepapaannya, dan Imam Husein dengan kesyahidannya. Keduanya merupakan simbol perjuangan abadi ketertindasan melawan penguasa yang zalim. Islam Syi’ah revolusioner ini kemudian mengalami “penjinakan” di tangan kelas atas – penguasa politik dan ulama yang memberikan legitimasi atas “Islam” versi penguasa. Ulama, tuduh Syari’ati dengan menggunakan jargon Marxis, telah menyunat Islam dan melembagakannya sebagai “pemenang” (pacifier) bagi massa tertindas, sebagai dogma kaku dan teks skriptural yang mati. Ulama bergerak seolah-olah di dalam kevakuman, terpisah dari realitas sosial.[5]
Kenyataan ini, menurut Syari’ati, misalnya, terlihat pada masa Safawi, dimana dinasti penguasa memasyarakatkan Syi’isme versi mereka sendiri yang sangat berbeda dengan Syi’ah Imam Ali dan Imam Husein. Syari’ati, menyebut jenis Syi’ah penguasa sebagai “Syi’ah Hitam (Black Shi’ism)”, dan Syi’ah Imam Ali sebagai “Syi’ah Merah (Red Shi’ism)”, yakni Syi’ah kesyahidah (Shi’ism of martyrdom).
Shi’ites take their slogans from the embodiment of the tribulations and hopes of the masses of the oppressed. Aware of the rulers, and in rebellion against them, they cry out: “Seek the leadership of Ali and flee from the leadership of cruelty. Choose Imamate, and stamp ‘cancelled,’ ‘disbelief’ and ‘dispossession’ upon the forehead of the Caliphate.Choose justice, and overthrow the system of paradox and discrimination in ownership. Choose the principle of being ready to protest against the existing conditions, where the ruling government, religious leaders and aristocracy try to show that everything is in accordance with the Will of God, the Divine Law and the satisfaction of God and his creatures. Such things, to the ruling government, included their conquests, their plundering of mosques, associations, schools, gifts, trusts, and charities and the observance of religious ceremonies and practices…. And this is the last revolutionary wave of Alavite Shi’ism, Red Shi’ism, which continued for seven hundred years to be the flame of the spirit of revolution, the search for freedom, and justice, always inclining towards the common people and fighting relentlessly against oppression, ignorance and poverty. A century later came the Safavids, and Shi’ism left the great mosque of the common people to become a next-door neighbor to the Palace of ‘Ali Qapu in the Royal Mosque.
Red Shi’ism changes to Black Shi’ism!
The Religion of Martyrdom changes to The Religion of Mourning.(Syi’ah mengambil semboyan mereka (Imam Ali, Hasan, Husein, dan Zaenab) dari perwujudan harapan kesengsaraan rakyat jelata, orang-orang tertindas. Sadar akan hadirnya para penguasa (zalim), dan selalu memberontak melawan mereka. Mereka menangis histeris dan beriak : “Lihatlah itu kepemimpinan Ali yang lari dari kepemimpinan yang kejam. Pilihlah imâmah (kepemimpinan), pilihlah keadilan, dan robohkan sistem paradok dan diskriminasi di dalam kepemilikan. Pilihkah prinsip untuk selalu siap memprotes atas kondisi sosial politik yang ada, di saat para penguasa, para ulama dan bangsawan mencoba untuk menunjukkan segala hal itu sebagai kehendak Tuhan, Hukum Tuhan. Kehendak itu mewujud dalam menaklukkan mereka, merampas masjid mereka, perkumpulan, hadiah, kepercayaan, derma dan ketaatan dalam menjalankan upacara keagamaan… Dan ini adalah gelombang Syi’ah revolusioner, yakni Syi’ah Merah, yang selama tujuh ratus tahun menyalakan ruh revolusi, mencari kebebasan dan keadilan, berpihak kepada rakyat dan berani melawan berbagai tekanan, kemiskinan dan kebodohan. Satu abad kemudian datanglah Dinasti Safawi, dan Syi’ah telah (dipaksa) meninggalkan masjid besar milik bersama rakyat untuk menjadi penghuni masjid istana raja. Syi’ah Merah berubah menjadi Syi’ah Hitam! Agama Kesyahidan berubah menjadi agama berkabung.) [6]
Menurut pengamatan Syari’ati, selama 7 abad sampai masa Dinasti Safavi, Syi’isme (Alavi) merupakan gerakan revolusioner dalam sejarah, yang menentang seluruh rezim otokratik yang mempunyai kesadaran kelas seperti Dinasti Ummayah, Abbasiyah, Ghaznawiyah, Saljuk, Mongol, dan lain-lain. Dengan legitimasi ulama rezim-rezim ini menciptakan Islam Sunni versi mereka sendiri. Pada pihak lain, Islam Syi’ah Merah, seperti sebuah kelompok revolusioner, berjuang untuk membebaskan kaum yang tertindas dan pencari keadilan.
Syari’ati melihat rezim dan lembaga keulamaan, yang bisa jadi terkadang ditunggangi pihak luar, sebagai manipulator masa lampau Iran dan arsitek yang menjadikan tradisi menjadi penjara. Rezim Syah Iran tidak membangkitkan agama, tetapi mempertahankan kerajaan yang mandek, sementara para ulama mempertahankan kemandekan Islam. Menurut Syari’ati, apa yang terjadi di Iran adalah, bahwa di satu sisi, para ulama yang menjadi pemimpin agama selama dua abad terakhir telah mentransformasikannya menjadi bentuk agama yang kian mandek, sementara di sisi lain orang-orang yang tercerahkan yang memahami kekinian dan kebutuhan generasi dan zaman, tidak memahami agama. Akhirnya, kata Syari’ati, “Islam sejati tetap tak diketahui dan tersembunyi dalam relung-relung sejarah”.[7]
Bagi Syari’ati, Islam sejati bersifat revolusioner, dan Syi’ah sejati adalah jenis khusus Islam revolusioner.[8] Tetapi entah mengapa dalam perjalanan waktu kemudian Islam telah berubah menjadi seperangkap doa-doa dan ritual yang tak bermakna sama sekali dalam kehidupan. Islam hanya sebatas agama yang mengurus bagaimana orang mati, tetapi tidak peduli bagaimana orang bisa survive dalam kehidupan di tengah gelombang diskriminasi, eksploitasi, dan aneka penindasan dari para penguasa zalim. Agama model seperti ini yang sangat disukai para penguasa untuk menjaga kekuasaannya tetap aman, tanpa ada gangguan dari orang-orang yang ingin mengamalkan Islam sejati.
Gagasan Syari’ati tentang Islam revoluioner atau Islam pembebasan sejalan dengan gagasan tentang teologi pembebasan (theology of liberation) yang banyak diusung oleh tokoh-tokoh revolusioner baik di Amerika Latin maupun Asia. Ide dasar pemikiran antara Syari’ati dengan para pengusung teologi pembebasan hampir sama, yakni ingin mendobrak kemapanan lembaga resmi keagamaan (ulama, gereja) yang posisinya selalu berada pada pihak kekuasaan, dan berpaling dari kenyataan ril umatnya yang selalu ditindas oleh kekuasaan itu. Mereka sama-sama memberontak dan tidak puas dengan seperangkat doktrin yang telah dibuat oleh ulama atau gereja untuk melindungi kepentingan kelas atas dan menindas kelas bawah. Islam revolusioner dan teologi pembebasan sama-sama berupaya untuk mengakhiri dominasi lembaga resmi agama dan mengembalikan hak menafsirkan agama itu kepada rakyat, sehingga doktrin-doktrin yang terbentuk adalah ajaran agama sejati yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Seperti yang pernah dinyatakan oleh Leonardo Boff, Teologi Pembebasan adalah pantulan pemikiran, sekaligus cerminan dari keadaan nyata, suatu praksis yang sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya, masih menurut Boff, ini adalah pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas, yang muncul pada tahun 1960-an yang melibatkan sektor-sektor penting sistem sosial keagaman, seperti para elit keagamaan, gerakan orang awam, para buruh, serta kelompok-kelompok masyarakat yang berbasis keagamaan.[9]
Teologi Pembebasan adalah produk kerohanian. Dan harus diakui, dengan menyertakan di dalamnya suatu doktri keagamaan yang benar-benar masuk akal, Teologi Pembebasan telah memberikan sumbangsih yang amat besar terhadap perluasan dan penguatan gerakan-gerakan tersebut. Doktrin masuk akal itu telah membentuk suatu pergeseran radikal dari ajaran tradisional keagaman yang mapan. Beberapa diantara doktrin itu adalah ; 1). Gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan kepada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan menindas, 2) Penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab-musabab kemiskinan, 3) pilihan khusus pada kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan, 4) Suatu pembacan baru terhadap teks keagamaan, 5) Perlawanan menentang pemberhalaan sebagai musuh utama agama 6) Kecaman teradap teologi tradisional yang bermuka ganda sebagai hasil dari filsafat Yunani Platonis.[10]
Sejalan dengan kerangka pikir gerakan teologi pembebasan yang diusung oleh kalangan revolusioner di lingkungan agama Katholik, Islam revolusioner atau Islam pembebasan kurang lebih mempunyai kerangka pikir yang sama. Teologi pembebasan berbasis pada kesadaran rohani dan Islam pembebasan juga berbasis pada kesadaran Islam sejati atau otentik. Masing-masing mempunyai tujuan untuk menjadikan agama sebagai sarana untuk memperjuangkan tegaknya keadilan, meruntuhkan segala sistem despotik dan otoriter dan menjaga agar tidak ada penindasan di muka bumi ini.
Sebagaimana yang telah terekam dalam sejarah Islam, bahwa kedatangan Islam adalah untuk merubah status quo serta mengentaskan kelompok yang tertindas dan eksploitasi; mereka inilah yang disebut dengan kelompok masyarakat lemah. Masyarakat yang sebagian anggotanya mengeksploitasi sebagian anggota yang lainnya yang lemah dan tertindas, tidak disebut sebagai masyarakat Islam (Islamic society), meskipun mereka menjalankan ritualitas Islam. Ajaran Nabi menyatakan bahwa kemiskinan itu dekat dengan kekufuran, dan menyuruh umatnya untuk berdoa kepada Allah agar dapat terhindar dari keduanya. Penghapusan kemiskinan merupakan syarat begi terciptanya masyarakat Islam. Dalam hadis lain Nabi menyatakan, bahwa sebuah negara dapat bertahan hidup walau di dalamnya ada kekufuran, namun tidak bisa bertahan jika di dalamnya terdapat dhulm(penindasan).[11]
Sayangnya, sebagaimana yang telah digelisahkan oleh Syari’ati, Islam yang bersifat revolusioner ini segera menjadi agama yang kental dengan status quo. Islam sarat dengan praktek feodalisme dan para ulama justru menyokong kemapanan yang sudah kuat itu. Mereka lebih banyak menulis buku tentang kaidah-kaidah ritual dan menghabiskan energinya untuk mengupas masalah-masalah furû’iyah dalam syari’at, dan sama sekali mengecilkan arti elan fital Islam dengan menciptakan keadilan sosial dan kepedulian Islam yang aktif terhadap kelompok yang lemah dan tertindas (mustad’afîn). Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai mustakbirîn (orang yang kuat dan sombong).
Seperti yang telah disebut di muka, Syari’ati “menuduh” ulama sebagai sumber utama atas penyelewengan ajaran Islam yang bersifat revolusioner. Di tangan ulama, Islam telah menjadi agama “orang mati” yang tidak berdaya melawan “orang-orang yang serakah”. Dalam konteks Iran, ulama telah merubah Syi’ah dari kepercayaan revolusioner menjadi ideologi konservatif; menjadi agama negara (din-i dewlati), yang paling tinggi menekankan sikap kedermawanan (philanthropism), paternalisme, pengekangan diri secara sukarela dari kemewahan. Sedangkan pada pihak lain, demikian Syari’ati menggambarkan, ulama mempunyai hubungan organik dengan kemewahan itu sendiri melalui kelas berharta. Karena ulama Syi’ah memperoleh pemasuka dari Khams (sedekah) dari sahm-i Imâm(bagian dari zakat), mereka tak terhindarkan lagi terkait kepada orang kaya, negara tuan tanah, dan pedagang bazaar. Sebagai respon terhadap orang yang mengklaim bahwa ulama Syi’ah lebih independen dibandingkan dengan ulama Sunni. Syari’ati berargumen bahwa hal itu mungkin benar pada masa sebelum Safavi, tetapi tidak demikian setelahnya.[12]
Syari’ati lebih jauh menilai, hubungan khusus ulama semacam itu telah menjadikan mereka sebagai instrumen kelas-kelas berharta. Lembaga-lembaga pendidikan Islam dibiayai kaum berharta untuk mencegah ulama berbicara tentang perlunya menyelamatkan kaum miskin. Sebaliknya, dengan menggunakan doktrin fikih tentang ekonomi, ulama berusaha mengabsahkan ekploitasi, yang menurutnya bahkan lebih ekploitatif dibandingkan dengan kapitalisme Amerika. Pada akhirnya, Islam telah menjadi khordeh-i burzhuazi (burjuasi kecil). Dan, kaum mullah telah melakukan perkawinan yang tidak suci (unholy marriage) dengan pedagangbazâr. Dalam perkawinan ini, mullah menciptakan agama bagi pedagang, sementara pedagang membuat dunia lebih menyenangkan bagi mullah.[13]
Tentu saja kritik yang cukup pedas dari Syari’ati kepada golongan ulama membuat para ulama menberikan reaksi balik. Muthahari, salah sorang ulama terkemuka, memandang Syari’ati telah memperalat Islam untuk tujuan-tujuan politis dan sosialnya. Lebih jauh Muthahari menilai, aktivisme politik protes Syari’ati menimbulkan tekanan politis yang sulit untuk dipikul oleh sebuah lembaga keagamaan seperti Hussainiyeh Ersyad dari rezim Syah.[14] Dan Memang, setelah Syari’ati banyak mengkritik lembaga ulama dan rezim, Hussainiyeh Ersyad akhirnya ditutup paksa oleh pasukan keamanan. Selain Muthahhari, masih banyak ulama sumber panutan (marja’ taqlid) seperti Ayâtullah Khû’i, Milani, Rûhani, dan Thabathâba’i yang juga turut mengecam suara-suara kritis Syari’ati. Bahkan mereka mengeluarkan fatwa yang melarang membeli, menjual, dan membaca tulisan-tulisan Syari’ati.[15]
Setelah Syari’ati mengkritik ulama yang dinilainya sebagaiakhund,[16] Syari’ati lantas menyampaikan tipikal ulama ideal. Menurutnya, ulama ideal, secara sederhana, adalah ulama aktivis, yang menggalang massa untuk melakukan gerakan protes. Sehingga dalam hal ini, ia menjadikan ayahnya sendiri dan Ayâtullah Muhammad Baqir Sadr (dihukum mati oleh pemerintah Republik Islam Iran tahun 1979) atau pemikir aktivis dari kalangan Sunni seperti al-Afghani sebagai idolanya.[17] Khomaeni tentu saja cocok dengan kerangka Syari’ati mengenai ulama. Tetapi Syari’ati tidak pernah menyatakan perasaannya secara terbuka tentang Khomaeni. Informasi yang ada nampaknya memberikan indikasi bahwa Syari’ati mengakui Khomaeni sebagai pemimpin besar.
Walaupun Ali Syari’ati tampak sebangun dengan Imam Khomeini dalam melihat realitas politik Iran dan bagaimana faham Syi’ah berhadap-hadapan dengan faham resmi yang dibanguh rezim, akan tetapi ada satu hal yang membedakan antara keduanya, yaitu pada persoalan siapa yang akan menjadi lokomotif pembaharu atau revolusi. Khomeini cenderung mengedepankan peran ulama formal (para mullah) sedangkan Syari’ati pada kekuatan kelompok rausanfikr. Kelompok rausanfikr adalah sekelompok orang yang melakukan pembaharuan di kalangan umat dengan menjadikan faham Islam sebagai basis epistemologi dan aksiologisnya. Islam yang demikian itu, kata Syari’ati, adalah “Islam protestan” yang bisa menjadi kekuatan sosio-kultural untuk menghilangkan abad kegelapan dunia Islam dan menciptakan suatu abad renaisance.[18]
Pemikiran-pemikiran Ali Syari’ati tentang Islam secara konsisten berada dalam aras Islam progresif dan revolusioner. Corak Islam yang demikian itu berangkat dari faham bahwa dalam ajaran Islam, Tuhan telah menugaskan kepada manusia sebagai khalîfah-Nya di muka bumi. Khalîfahdalam hal ini adalah pemangku tugas pembaharu dan selalu memimpin dunia dengan keadilan dan kearifannya. Jika ditemukan dalam penggalan sejarah manusia-manusia serakah yang aksinya menindas dan memperkosa hak-hak manusia lain, maka menjadi tugas khalîfah untuk menyingkirkan jenis manusia itu dari muka bumi. Khalîfah haruslah dalam posisi pro-aktif memperjuangkan prinsip-prinsip keadilan, bukan manusia pasrah yang selalu menerima nasib secara taken for granted. Demikianlah yang dapat dikategorikan sebagai ajaran Islam progresif sebagaimana yang digagas oleh Ali Syari’ati.
Kata kunci progresifitas Islam adalah peran aktif dalam sejarah kemanusiaan. Islam bukan agama pasrah yang hanya berfikir tentang kehidupan akherat dan tidak melibatkan diri dalam dinamika sejarah sosial-politik manusia. Bentuk ajaran agama yang demikian ini yang telah melahirkan banyak kritik dari Karl Marx, sang revolusioner yang telah dituduh anti agama. Agama pasrah ini adalah agama candu yang akan melanggengkan segala bentuk kesewenang-wenangan dan penindasan. Dalam posisi ini, kata Marx, mereka yang tertindas akan dihibur oleh ajaran yang mengatakan bahwa penderitaan itu adalah taqdir Tuhan dan pahala mereka adalah surga.[19] Dan Syari’ati sangat setuju dengan pandangan Marx itu, khususnya dalam aspek bagaimana bentuk-bentuk penindasan itu tidak dilanggengkan oleh ajaran agama. Jika ini yang terjadi, maka Syari’ati pun akan senada dengan Marx, bahwa agama adalah candu (opium).
Bagi Syari’ati, Islam harus diekspresikan dalam tindakan. Hal ini dimulai dari menghidupkan kembali realitas abadi yang dipelajari kaum Syi’ah untuk memahami hakekat kehidupan. Teladan Imam Husein di padang Karbala harus menjadi inspirasi bagi semua umat yang tertindas dan terasingkan di dunia ini. Jika kaum Syi’ah mengikuti teladan Imam Husein dan memimpin semua bangsa di Dunia Ketiga dalam kampanye melawan tirani, mereka dapat mendorong Imam yang selama ini gha’ib dapat hadir kembali.[20]
Syi’ah, kata Syari’ati, harus dihidupkan kembali. Seperti telah dikemukakan di muka, Syi’ah Ali dan Husein yang asli telah dihapus oleh apa yang Syari’ati sebut “Syi’ah Safavi”. Suatu keimanan yang aktif dan dinamis telah dirubah menjadi masalah pribadi yang pasif, padahal menghilangnya Imam Gha’ib berarti bahwa misi Nabi dan para Imam sebenarnya dilanjutkan oleh umat. Karena itu, masa kegha’iban adalah masa demokrasi. Orang awam tidak boleh lagi menghamba kepada para mujtahîddan dipaksa meniru (taqlîd) perilaku keagamaan mereka, seperti yang dikehendaki oleh Syi’ah Safavi.Setiap Muslim harus tunduk kepada Tuhan semata, demikian penegasan Syari’ati, dan mempertanggungjawabkan kehidupannya sendiri. Selain ini adalah musyrik dan menyimpang dari Islam, mengubah ketaatan kepada Tuhan menjadi ketaatan tanpa jiwa kepada peraturan-peraturan. Rakyat harus memilih pemimpin mereka sendiri; mereka harus dimintai pendapatnya, sesuai dengan ajaran syûra. Kekuasaan ulama harus diakhiri, dan sebagai gantinya, kata Syari’ati, “kaum intelektual tercerahkan” (rausanfikr) menjadi pemimpin umat yang baru.[21]Untuk pernyataan yang terakhir inilah, Syari’ati berbeda pandangan secara mendasar dengan Imam Khomeini dimana Khomeini lebih menekankan kepemimpinan ideal ada di tangan ulama.
Syari’ati berpendapat bahwa Islam lebih dinamis dari pada agama lainnya. Terminologi Islam memperlihatkan tujuan yang progresif. Di Barat, kata “politik” berasal dari bahasa Yunani “polis” (kota), sebagai suatu unit administrasi yang statis, tetapi padanan kata Islamnya adalah “siyasah”, yang secara harfiyah berarti “menjinakkan seokor kuda liar,”, suatu proses yang amengandung makna perjuangan yang kuat untuk memunculkan kesempurnaan yang inheren.[22]
Catatan kaki:
[1] Dalam istilah al-Qur’an, istid’âf bukan berarti “kelemahan atau keputusasaan”. Itu merupakan kata jadian yang sama dengan istibdâd (despotisme),isti’mâr (kolonialisme), istismâr (eksploitasi), dan seterusnya. Dalam kenyatannya, yang terakhir itu merupakan bentuk-bentuk istid’âf (penindasan) yang telah terjadi di berbagai masa sejarah. Setiap kali rakyat dibiarkan lemah secara ekonomis (eksploitasi), politis (despotisme), nasionalis (kolonialisme), dan kultural (pelumpuhan), entah di dalam satu bidang ini atau gabungan beberapa diantaranya, maka terjadilah istid’âf dan korban-korbannya dinamakan mustad’afîn (yang tertindas). Lihat Ali Syari’ati, What Is To Be Done: The Enlightened and Thinkers and Islamic Renaisance, terj. Farhang Rajaee (Houston: IRIS, 1986), hlm. 1-2
[2] Ali Syari’ati, “And Once Again Abu-Dhar”, dalamhttp://www.iranchamber.com/personalities/ashariati/works/once_again_abu_dhar7.php, diakses tanggal 22 Pebruari 2006
[3] Dikutip dari Azyumardi Azra, “Akar-Akar Ideologis Revolusi Iran: Filsafat Pergerakan Ali Syari’ati”, dalam Azyumardi Azra, Pergolakan Islam Politik; Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm.77
[4] Dikutip dari Muhammad Nafis, “Dari Cengkeraman Penjara Ego Memburu Revolusi: Memahami “Kemelut” Tokoh Pemberontak”, dalam M. Deden Ridwan (ed.),Melawan Hegemoni Barat: Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia(Jakarta: Penerbit Lentera, 1999), hlm. 61
[5] Lihat Azra, “Akar-Akar Ideologis…”, hlm.77-78
[6] Ali Syari’ati, “Red Shi’ism (the religion of martyrdom) vs. Black Shi’ism (the religion of mourning)”, dalamhttp://www.iranchamber.com/personalities/ashariati/works/red_black_shiism.php, diakses tanggal 20 Pebruari 2006
[7] Syari’ati, What Is to Be Done, hlm. 21
[8] Robert D. Lee, “Ali Shari’ati”, dalam Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal, Hingga Nalar Kritis Arkoun, terj. Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 140
[9] Michael Lowy, Teologi Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 27
[10] Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya (Yogyakarta: LkiS, 2000), hlm. 23-25
[11] Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cet. III, hlm. 7
[12] Lihat Azra, “Akar-Akar Ideologis…”, hlm. 79
[13] Ibid., hlm. 80
[14] Abdulaziz Sachedina, “Ali Syari’ati: Ideologue of the Iranian Revolution”, dalam John L. Esposito (ed.), Voices of Resurgent Islam (New York, Oxford: Oxford University Press, 1983), hlm. 207; bandingkan dengan Shahrough Akhavi, “Shari’ati’s Social Thought”, dalam Nikki R. Keddie (ed.), Religion and Politics in Iran (New Haven: Yale University Press, 1983), hlm. 45
[15] Lihat Ali Rahnema, “Ali Syari’ati: Guru, Penceramah, Pemberontak”, dalam Ali Rahnema (ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 234.
[16] Akhund adalah sebuah istilah pejoratif untuk menyebut ulama yang berpengetahuan dangkal.
[17] Lihat Azra, “Akar-Akar Ideologis…,” hlm. 82
[18] Lihat Mungol Buyat, “Islam in Pahlevi and Post-Pahlevi Iran; A Cultural Revolution?”, dalam John L. Esposito (ed.), Islam and Development (New York: Syracuse University Press, 1980), hlm. 161
[19] Lihat Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya, terj. Ali Noerzaman (Yogyakarta: CV. Qalam, 2004), hlm. 243
[20] Lihat Karen Armstrong, The Battle For God (New York: Alfred A. Knopf, 2000), hlm. 401-402
[21] Lihat Akhavi, “Shari’ati’s Social Thought”, hlm. 132
[22] Lihat Michael J. Fischer, Iran: From Religious Dispute to Revolution(Cambridge, Mass, London: Cambridge University Press, 1990), hlm. 154-155
Nota: Makalah Anjar Nugroho ini diperoleh di: http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/16/pemikiran-syariati-1/
No comments:
Post a Comment