Sebelum ke Indonesia, antara nama yang benar-benar ingin saya temui, dan ingin wawancarai, ialah Buddy Munawar-Rachman. Saya banyak mengenalnya sebagai seorang muslim progresif, kalau boleh digunakan kata begini, serta dekat dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). Tapi, apakah benar Pak Buddy, sapaan padanya, itu muslim progresif?
Muslim progresif, sama seperti kata Islam Liberal, adalah kata yang barangkali bermasalah. Dilema ini muncul saat kata ini cuba dipadankan dengan pengalaman progresif Eropah. Setelah Revolusi Perancis, kata progresif bagaikan sebuah ajaran keramat, di mana memunculkan semangat zaman yang penuh dengan rasionalisme dan empirisme. Walhal, rasionalis-empirisme itu tak lepas dari kritik-kritik tajamnya juga.
Namun, lebih baik kita tak terlalu membahas—secara filsafat—masalah kata ‘kontroversi’ dalam ruang terbatas ini. Kita kesampingkan dulu hujatan-hujatannya, dan menerima saja erti progresif dalam memaknai kehendak murni untuk melihat Islam itu maju serta dapat menangani pertanyaan zaman. Pak Buddy, sejauh yang saya kira, adalah antara individu Indonesia yang mencuba memikul peranan besar ini.
Beruntung, setelah di Indonesia, akhirnya saya ditemukan dengannya. Menarik, bukan tembual, tapi dapat mengikuti kuliyyah Filsafat Islam-nya di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Dalam kuliyyah yang pertama, Pak Buddy menyedari bahawa adalah sulit untuk masuk ke ruang metafizik, akal-wahyu, Ibn Sina, al-Farabi, Mulla Sadr dll. Lalu, kami, seluruh kelas, akan dibawa kepada pengalaman Indonesia dalam ber-Islam.
Sekali lagi, saya beruntung. Barangkali, kuliyyah Pak Buddy mampu menjadi jalan pintas untuk lebih memahami tiga kata (yang pernah?) kotor di Indonesia: sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Saya kira, tiga kata ini mula dimengerti baik-baik dari kalangan pemikir Indonesia, apatah lagi setelah Gus Dur diangkat sebagai Bapa Pluralisme Indonesia.
Buku wawancara—dengan 70 pemikir Indonesia—suntingan Pak Buddy, “Membela Kebebasan Beragama” menjadi teks kuliyyah, yang di sana jelas mahu merumuskan sebuah kesimpulan. Dan, kesimpulan paling revolusioner ada pada tangan Dawam Rahardjo, dengan ungkapan yang kira-kira: “hanya dengan pemahaman tiga kata ini (sekularisme, liberalisme, dan pluralisme), Islam di Indonesia akan dapat mempertahankan dirinya dalam arus masharakat globalisasi.”
Mungkin benar pandangan ini. Tapi, jangan menerima bulat-bulat tanpa perjalanan kesedaran-sendiri.
Apapun, kata Mas Dawam ini seakan mengesahkan lagi bahawa Indonesia, adalah sebuah lapangan kajian Islam yang menarik. Sejak berdekad-dekad, citra Indonesia, merangsang banyak penyelidik barat untuk menyambut cabaran kajian budaya-agama-nya. Tak ragu untuk saya katakan, Indonesia adalah antara negara muslim yang memiliki bunga-rampai khazanah Islam yang bitara, akibat dari pergumulan rencam-budaya, serta akar-hindu yang kuat sebelumnya.
Lalu, dari pergelutan inilah, Islam yang lahir di negeri Sang Saka Merah ini begitu putis sekali, yang jauh dari kekhasan dan kebisingan Arab.
Mungkin catatan saya tentang Islam di Indonesia—setelah ini—akan banyak dpengaruhi dari kuliyyah Pak Buddy. Rupa-rupanya, saya baru maklum, bahawa sosok muda ini adalah alumnus STF juga, bahkan dengan tiga strata tertinggi pendidikan. Padanya, ada kejernehan, ada keterbukaan, dan juga ada kebaikan.
Namun begitu, dalam segala puji-pujian pada Indonesia, kita juga tak perlu lalai untuk melampirkan kritikan. Bukan kritikan, dalam bandingan dengan Malaysia, sebaleknya kritikan dalam piawai keimanan yang kita (atau, saya) rasakan sendiri. Ini adalah pergumulan peribadi yang memikat. Yang jelas, kita seharusnya menikmati apa kata batin kita, tentang agama, malah, tentang segalanya!
Sebab itu, adalah amat penting untuk kita menjadi diri sendiri, tanpa sumbatan luar, hanya “dari dalam” melimpah “keluar,” di samping sentiasa menjaga jarak komunikasi sesama.
Monday, February 8, 2010
Indonesia & Islam
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment