Oleh Mehdi Golshani
Prolog
Pada permulaan abad ke-19, ilmu modern (modern science) merembes ke dunia Islam diiringi dengan reaksi yang bermacam-macam. Hal itu antara lain disebabkan oleh kedatangannya yang tidak sendirian. Pandangan filosofis (philosophical attachment) ilmu modern juga ikut memberikan pengaruh besar kepada para intelektual Islam. Sehingga, tak mengheranan jika kita banyak mendengar slogan-slogan positivistik di seantero dunia Islam.
Kenyataan demikian sebagaimana yang telah kami ungkap di atas membawa angin reaktif yang cukup besar. Bila dipetakan, reaksi intelektual Islam terhadap ilmu modern tersebut dapat kami kategorikan menjadi empat kelompok:
(1) Kelompok minoritas ulama religius yang enggan bersentuhan dengan ilmu modern. Mereka menganggap ilmu modern bertentangan dengan ajaran agama Islam, sedangkan masyarakat Islam harus mengikuti ajaran Islam secara benar. Oleh karenanya, mereka pun mengharuskan umat Islam memiliki ilmu sendiri (tidak mengikuti ilmu modern—penerj.).
(2) Kelompok intelektual Islam yang banyak mengadopsi ilmu modern dan mengkampanyekan cara pandang empirisnya terhadap dunia. Menurut mereka, menguasai ilmu modern merupakan satu-satunya solusi untuk melepaskan dunia Islam dari keadaan stagnan. Hal itu dikarenakan mereka memandang ilmu modern sebagai satu-satunya sumber riil pencerahan (bagi dunia Islam—penerj.).
(3) Para ulama Islam yang mengakui peran sentral ilmu modern dalam memajukan Barat dan mendukung upaya untuk mengasimilasi ilmu modern (dengan tradisi Islam—penerj.). Namun demikian, mereka tetap memiliki perhatian khusus terhadap masalah keagamaan. Kelompok ini terdiri dari mayoritas intelektual muslim yang beriman baja. Secara spesifik, mereka dapat dikategorikan sebagai berikut:
Para pemikir Islam, seperti Seyyed Jamal al-Din dan Rasyid Reda, yang berusaha memberikan justifikasi bagi ilmu modern dengan dasar-dasar agama. Mereka memandang ilmu modern sebagai kelanjutan dari ilmu yang dihasilkan peradaban Islam. Oleh karenanya, mereka menganjurkan umat Islam mempelajari ilmu modern agar dapat menjaga indpendensi mereka dan dapat menyelamatkan mereka dari kritik yang dilancarkan para orientalis dan para intelektual Islam (yang kritis terhadap Islam—penerj.).
Para pemikir Islam yang berusaha mencari jejak-jejak penemuan ilmu penting di dalam Al-Qur’an dan tradisi Islam. Dalam hal ini mereka termotivasi oleh kehendak untuk menampakkan keselarasan ilmu modern dengan ajaran Islam. Mereka juga ingin membuktikan bahwa penemuan ilmu modern dapat digunakan untuk menguatkan paparan berbagai aspek keimanan. Hal itu juga dikarenakan mereka yakin bahwa beberapa hasil yang telah dicapai oleh ilmu modern telah disebutkan terlebih dahulu oleh Al-Qur’an dan Nabi Muhammad pada empat belas abad yang lalu, sebagai bukti keistimewaan wahyu kenabian. Pandangan semacam itu masih tetap hidup di dalam komunitas umat Islam hingga saat ini.
Para ulama yang berusaha menginterpretasikan ajaran teologis Islam dalam perspektif ilmu modern. Satu di antaranya adalah ulama India, Sir Seyyed Ahmad Khan. Seorang ulama yang menggulirkan teologi natural untuk menginterpretasikan kembali prinsip dasar agama Islam dalam bingkai ilmu modern dengan cara memberikan tafsiran ilmiah terhadap Al-Qur’an.
(4) Terakhir, para filsuf Islam yang membedakan antara penemuan ilmu modern dengan pandangan filosofis ilmu modern. Sehingga, tatkala mereka menganjurkan pencarian rahasia-rahasia alam semesta dengan ekperimentasi dan teori-teori ilmiah, mereka juga mengangkat panji-panji perlawanan terhadap berbagai penafsiran empiristik dan matrealistik yang diatasnamakan ilmu. Dalam pandangan mereka, ilmu pengetahuan memang dapat mengungkapkan beberapa aspek dunia fisik. Namun demikian, personalitas ilmu pengetahuan tidak dapat memberikan gambaran sempurna terhadap realitas. Untuk mencapai kesempurnaan, ilmu pengetahuan, menurut mereka, harus dilekatkan dengan cara pandang Islam terhadap dunia (Islamic worldview). Ayatullah Muthahhari merupakan satu di antara para filsuf yang berpendapat semacam itu.
Kritikan Muthahhari terhadap Ilmu Modern
Tatkala para ulama sibuk mengadaptasikan Al-Qur’an dan tradisi Islam dengan penemuan ilmu modern, Muthahhari lebih memperhatikan masalah mendasar ilmu pengetahuan yang dapat menimbulkan persilangan pendapat antara para ilmuwan dan para ulama. Dia yakin, pandangan filosofis terhadap ilmu lebih sering menjadi sumber konflik dari pada ilmu itu sendiri. Oleh karenanya, Muthahhari senantiasa mencari asumsi-asumsi filosofis yang tersembunyi dalam argumentasinya.
Dalam mempelajari proyek ilmiah setiap ilmuan, saya senantiasa mencari jalan yang dilalui oleh pemikirannya. Tujuannya adalah agar refleksi filosofis saya terhadap subyek dapat memahami mengapa seorang ilmuan memilih suatu jalan tertentu untuk memasuki suatu penelitian atau keluar darinya? Postulat apa yang diterimanya begitu saja (taken for granted) sebelum dia berpendapat ini dan itu?
Dalam pandangan Muthahari, kesalahfahaman ulama juga memberikan kontribusi besar pada peningkatan eskalasi konflik. Di sini, kami akan menyebutkan beberapa masalah utama yang meningkatkan konflik antara ilmu dan agama. Selain itu, kami juga akan mengelaborasi pendekatan Ayatullah Muthahhari terhadap masalah tersebut.
1. Argumentasi Keteraturan
Sebagaimana yang telah kami sebutkan, dengan merembesnya ilmu modern ke dunia Islam, sebagian ilmuan Islam mengatakan bahwa teologi dapat ditangguhkan perannya oleh metode empiris ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan merupakan satu-satunya jalan menuju Tuhan, dan keterangan ayat Al-Qur’an tentang fenomena alam merupakan bukti kongkret keunggulan metode ilmiah. Lebih dari pada itu, ada pula ilmuan yang mengidentikkan kebijaksaan Al-Qur’an dengan Positivisme.
Dalam hal ini, Muthahhari mengaku bahwa observasi dan eksperimentasi merupakan piranti penting untuk memahami alam semesta. Namun, Muthahhari tidak percaya dengan ketercukupan indera. Menurutnya, intelektualisasi sangatlah diperlukan sebelum indera itu memberikan interpretasi ketuhanan terhadap alam semesta. Dia juga memberikan apresiasi tinggi kepada ilmu empiris yang menjadikan kita akrab dengan ciptaan Tuhan. Namun dalam hal kajian ayat-ayat Al-Qur’an terhadap beberapa bagian alam semesta, Muthahari mengatakan bahwa kesimpulan atas Kemahatahuan dan Kemahakuasaan Tuhan tidak dapat muncul begitu saja tanpa pemikiran intelektual. Contohnya, kita butuh intelektualisasi saat mengkaji masalah pergerakan yang terbatas (finite) menuju ke tidak-terbatas (infinite), sebagaimana yang diungkapkan oleh Muthahhari:
Membuktikan keberadan Tuhan dengan menggunakan “teori keteraturan dan teori keterbimbimbingan” memang bagus. Namun teori itu hanya berfungsi untuk menyadarkan kita bahwa alam semesta ini ... berada di bawah pengawasan Kekuatan yang Maha Tahu, Pengatur Alam Semesta.... Adapun apa yang dapat dikatakan ilmu pengetahuan kepada kita hanya berkisar pada asumsi bahwa Pengatur Alam Semesta ini memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang dibuatnya. Tapi, ilmu pengetahuan tidak dapat membuktikan bahwa ‘Dia (Sang Pengatur Alam Semesta—penerj.) mengetahui segala sesuatu’ (Q.S. 57:3).
Agar argumentasi di atas lebih kuat, kita dapat melihat pada kenyataan hukum fisika dan kimia yang tidak murni berlandaskan fakta-fakta empiris. Kesimpulan keduanya sangat membutuhkan pengolahan intelektual. Sebagai contoh, konsep materi baru dapat dipahami setelah dikongklusikan dengan proses intelektual. Sebab, jika pengkajiannya hanya terbatas pada proses ekperimen tanpa intelektual, maka kita akan mendapat kelemahan eksperimen yang hanya memberikan sifat-sifat materi saja kepada kita.
Berkenaan dengan teori keteraturan, Muthahhari berpandangan bahwa setiap orang dihadapkan pada dua model keteraturan. Pertama, keteraturan yang berkaitan dengan sebab efisien (the efficient cause). Kedua, keteraturan yang berkaitan dengan sebab terakhir (the final cause). Jika yang pertama menyatakan adanya rangkaian sebab, maka yang kedua mengisyaratkan pengetahuan dan pilihan itu dalam lanskap sebab efisien. Sehingga kita pun dapat menyimpulkan bahwa keteraturan alam semesta, dalam konteks perbedaan di atas, terdapat pada model keteraturan yang pertama, yaitu keteraturan yang menunjukkan alam metafisik. Sayangnya, kebanyakan orang, menurut Muthahhari, tidak membedakan dua hal tersebut.
Selain itu, Muthahhari juga menegaskan bahwa argumentasi keteraturan yang digunakan untuk membuktikan eksistensi Tuhan pada hakekatnya memiliki bagian yang bersifat empiris dan bagian lain lain yang bersifat teoritis. Jika fakta tersebut diabaikan maka jangan menyesal bila jalan lebar sangat terbuka bagi para kritikus argumentasi keteraturan. Kembali kepada nilai dasar argumentasi keteraturan, kita juga perlu tahu bahwa nilai riilnya terdapat pada kenyataan bahwa argumentasi tersebut meletakkan kita pada perbatasan antara fisika dan metafisika. Ia menunjukkan keberadaan realitas supernatural. Namun, sayangnya, teori itu sama sekali tidak mengatakan keunikan realitas supernatural. Ia juga tidak mengatakan keterbatasan atau ketidakterbatasannya.
2. Teori Evolusi Darwin
Darwin menolak ide ketetapan spesies (the fixity of species) dan memproklamirkan ide evolusi spesies. Dia menegaskan idenya itu dengan teori mekanisme seleksi alam (the mechanism of natural selection) dan teori the survival of the fittest (yang kuat tetap hidup, yang lemah binasa). Selanjutnya, para Darwinian di satu sisi mengistilahkan hidup dengan proses untung-untungan (the chance processes), di sisi lain mereka menyangkal argumentasi keteraturan. Karena keteraturan yang kita lihat di kehidupan alam semesta mereka anggap sebagai hasil dari proses untung-untungan dan seleksi alam. Hal itu antara lain disampaikan oleh Richard Dawkins di program BBC2 tahun 1987:
Proses untung-untungan dalam seleksi alam yang berjalan selama ribuan tahun memiliki energi cukup untuk memproduk keajaiban seperti dinosaurus dan diri kita.
Selain itu, para Darwinian juga menyatakan bahwa mereka saat ini sedang berusaha sedapat mungkin mengeliminir eksistensi peran Sang Pencipta. Yang jelas-jelas mereka cari adalah sebuah mekanisme pendahuluan bagi suatu teori yang menegasikan peran Pengatur Alam Semesta. Yaitu dengan menyatakan bahwa penampakan spesies itu terjadi secara gradual dan tiba-tiba.
Namun demikian, Abu Al-Majd Muhammad Rida al-Najafi al-Isfahani, seorang intelektual muslim terkemuka awal abad ke-20, menyatakan bahwa teori evolusi yang tampak ekstrim memacam itu, pada dasarnya, tidaklah memusuhi faham ketuhanan. (theisme). Menurutnya, hanya penafsiran matrealistik terhadap teori ini saja yang menjadikannya tampak menegasikan Tuhan.
Di lain pihak, pada beberapa dekade terakhir, para eksponen atheis Darwinisme menggemborkan pertentangan tajam antara teori evolusi dengan faham ketuhanan. Dawkins sebagai salah satu dari mereka mengilustrasikan pertentangan tersebut sebagai berikut:
Teori ketuhanan dan seleksi alam merupakan dua teori yang menjadi proyek eksistensial kita.
Bahkan lebih jauh dari pada itu, Dawkins meyakini bahwa teori Darwin menjadikan kepercayaan kepada Tuhan sesuatu yang tidak berguna:
Kendati faham ketuhanan dapat dipertahankan secara logis pasca teori Darwin, Darwin dapat melencengkannya menjadi amunisi senjata pembenaran bagi faham atheis.
Yang jelas, Dawkins sama sekali tidak mengafirmasikan kompatibilitas teori seleksi alam dengan teori keberadaan pengatur alam semesta, dalam keterangan di atas.
Kemudian, pada sebuah kuliah yang diselenggaran tahun 1884, Archbishop Fredrick Temple memaparkan masalah tersebut sebagai berikut:
Apa yang digarap doktrin Evolusi bukanlah bukti tentang keteraturan alam semesta. Lebih dari pada itu, doktrim evolusi senantiasa mengelaborasi bagaimana pola keteraturan alam semesta itu terjadi.... Di suatu moment, Sang Pencipta memang tampak menciptakan hewan seketika dalam keadaan sebagaimana yang ada sekarang. Namun di moment lain, Sang Pencipta mengesankan adanya partikel materi tertentu (dalam penciptaan hewan tersebut—penerj).... Sepertinya, adanya kekuatan inheren tertentu dalam kehidupan mahluk hidup di sekuen waktu perkembangannya hingga sekarang ini.
Dalam menanggapi pendapat-pendapat tersebut, Muthahari merasakan adanya kerancuan yang nyata. Saat menyampaikan sebuah kuliah di Islamic Association of Physicians, Teheran, Muthahhari (1968) mengkritisinya secara filosofis dan teologis dengan menyatakan bahwa “teori instantaneous” (penciptaan gradual dalam kehidupan mahluk hidup) sama sekali tidak berkaitan dengan kepercayaan kepada Tuhan.
Kesalahanpahaman terhadap kesalahan yang dilakukan abad ke-19 juga terjadi tatkala sebagian orang melihat adanya hubungan langsung antara kepercayaan kepada Tuhan dengan “teori ketetapan spesies”. Bagaimanapun juga tidak ada perbedaan logis antara kepercayaan kepada Tuhan dengan teori evolusi. Namun demikian, Muthahhari menegaskan bahwa hukum evolusi Darwinian tidaklah cukup untuk menerangkan proses evolusi spesies. Karena keberadaannya baru akan sempurna bila ditambah dengan hukum metafisik.
Lebih lanjut Muthahari mengklasifikan dua kelompok yang memberikan kontribusi kepada perkembangan tesis ketidakselarasan faham ketuhanan dengan ide evolusi spesies. Kelompok pertama terdiri dari para ulama religius yang menyerang ide evolusi spesies karena menganggap ide tersebut bertentangan dengan agama mereka. Sedangkan kelompok kedua terdiri dari para materialis yang menggulirkan teori evolusi untuk melepaskan diri dari ide eksistensi Tuhan.
Selanjutnya, Muthahhari juga memberikan respon tajam terhadap pandangan yang mengatakan bahwa cerita tentang Adam yang ada di Bibel dan Al-Qur’an tidak sesuai dengan teori evolusi. Menurutnya, Adam memang bukan manusia yang pertama. Posisi signifikan Adam hanya terletak pada kemunculannya pada tingkat permulaan perkembangan umat manusia. Adapun cerita tentang Adam di dalam Al-Qur’a, menurut Muthahhari, pada hakekatnya, merupakan pelajaran tentang moraltas.
Cerita tentang Adam memang ada di dalam Al-Qur’an. Namun, cerita itu tidak memuat sedikitpun masalah pengertian tentang Tuhan ataupun monoteisme. Cerita itu sebenarnya diungkapkan untuk mengajari kita tentang (gambaran ataupun imbas dari) kesombongan setan dan kerakusan Adam. Adapun cerita tentang penciptaan manusia memang dimaksudkan untuk mengajari kita tentang faham monoteisme.
3. Masalah Kehidupan
Permasalahan jiwa dan raga berikut relasi antara keduanya memang merupakan permasalah yang sudah lama. Kemudian, dengan perkembangan dan popularitas teori evolusi dan filsafat matrealistik, para ilmuan berusaha terus-menerus untuk mengkaitkan segala karakteristik hidup dengan proses psiko-kimia, guna mengesampingkan konsep jiwa. Dalam hal ini, Muthahhari mengakui urgensi semua proses psiko-kimia bagi produksi efek-efek kehidupan. Namun, Muthahhari menganggapnya tidak mencukupi (untuk memproduksi efek-efek kehidupan secara keseluruhan—penerj.). Sebagai contoh, radio memang penting untuk menerima sinyal yang dikirim transmiter, namun keberadaannya tidak mencukupi (untuk menerima semua sinyal—penerj.). Untuk lebih jelasnya, Muthahhari mengatakannya sebagai berikut:
Pensintesisan, penjumlahan, pengurang dan pengombinasian bagian-bagian materi merupakan keadaan-keadaan yang dibutuhkan penampakan efek-efek kehidupan. Namun hal itu tidaklah cukup (untuk menampakkan semua efek kehidupan—penerj.).
Muthahari juga tidak serta merta setuju dengan pendapat yang mengatakan manusia dapat memproduksi efek-efek kehidupan. Dalam hal ini, Muthahhari memberikan respon berikut:
Tatkala kapasitas untuk penampakan hidup berkembang dalam suatu materi, Tuhan secara langsung atau pun tidak langsung telah memberikan kehidupan kepadanya. Dalam perkembangan geraknya itu, materi menjadi hidup. Ia mendapatkan kesempurnaannya yang masih kurang, dan menghasilkan efek serta aktivitas yang sebelumnya jauh dari kesempurnaan.
Responnya memang disengaja untuk tidak bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an yang mengatakan bahwa kehidupan ini merupakan anugerahNya. Oleh karenanya, Muthahhari menegaskan:
Sangatlah mustahil bila kondisi untuk menonjolkan hidup dari Tuhan itu ada, tapi kehidupan tidak tampak. Dan tidaklah benar jika Tuhan yang Tidak Membutuhkan Apa-Apa, Maha Sempurna dan Maha Pemurah kemudian disaingi oleh manusia. Sebab, yang memungkinkan bagi manusia hanyalah menyiapkan dasar-dasar kehidupan, bukan menciptakan kehidupan.
Pada tataran selanjutnya, Muthahhari juga mengkritisi orang-orang bertuhan (theis) yang mencari awal kehidupan untuk mengaitkan kemurnian kehidupan itu dengan Tuhan. Hal itu dikarenakan Muthahhari memandang mereka, secara tidak langsung, sedang mencari celah-celah kosong pada eksistensi Tuhan. Mereka juga jelas-jelas sedang mencari Tuhan pada area yang tidak diketahui manusia:
Di sini, kami ingin mencari alasan mengapa orang-orang yang bertuhan itu mencari permulaan kehidupan untuk mengkaitkan kemurnian kehidupan itu dengan kehendak Tuhan. Padahal, Al-Qur’an, dalam pandangan monoistiknya, sama sekali tidak mengikuti metode semacam itu. Hal itu dikarenakan Al-Qur’an menganggap hidup...sebagai hasil dari kehendak langsung Tuhan. Al-Qur’an, dengan kata lain, sama sekali tidak membedakan kemurnian hidup dengan ketidakmurniaannya (kelanjutannya).... Selain itu, kita tidak boleh lupa akan perbedaan fundamental antara logika Al-Qur’an dengan logika yang lainnya. Namun, sayangnya, orang-orang bertuhan itu tetap saja mencari Tuhan dari sisi negatif pengetahuan mereka. Sehingga tak mengherankan jika mereka sering kali mengkaitkan kebodohan mereka kepada Tuhan, tatkala pikiran mereka terbatas dalam memahami suatu hal.
4. Penciptaan Alam Semesta
Sejak zaman pertengahan, masalah penciptaan alam semesta senantiasa dikaitkan dengan konsep ketuhanan. Penciptaan alam semesta selalu digunakan sebagai bukti filosofis bagi keberadaan Tuhan. Namun, pada dua abad terakhir ini, terutama sejak abad ke-20, kepercayaan tentang kelanggengan alam semesta sangatlah popular dalam diskusi ilmu pengetahuan. Kepercayaan itu pun menjadi salah satu argumen kuat kaum matrealistis untuk melawan konsep keberadaan Tuhan.
Kemudian, setelah Hubbel menemukan perubahan warna merah pada cahaya dari galaksi, ‘teori ekspansi alam semesta” atau “teori Big Bang” benar-benar membumi dan meraih popularitas yang tidak alang kepalang. Teori itu pada tataran lebih lanjut diterima pula oleh orang-orang bertuhan di seluruh dunia. Sebab, mereka merasa mendapatkan bukti kongkret keterciptaan alam semesta di tangan Tuhan, dari teori tersebut. Namun tiba-tiba, para pakar kosmologi atheis berusaha keras untuk menghadirkan suatu argumentasi yang dapat menolak ide keterciptaan alam semesta dalam satu waktu. Selanjutnya terjadilah perdebatan yang cukup sengit di antara mereka. Pada akhirnya, beberapa ahli fisika mengetahui bahwa asumsi yang mengatakan alam semesta tidak bermula dari suatu waktu tertentu, tidak mampu menjadikan alam semesta berbicara tentang dirinya sendiri. Dalam hal ini Paul Davies berkata:
Fakta yang menyatakan bahwa alam semesta tidak bermula dari suatu waktu tertentu tidak dapat menjelaskan eksistensi alam semesta. Fakta itu juga tidak dapat menjawab pertanyaan mengapa alam semesta ini terbentuk semacam ini? Mengapa sifat dasar alam semesta dapat menempati suatu bidang tertentu dari suatu mahluk? Dan mengapa prinsip-prinsip fisikal dapat berada pada suatu kondisi tertentu?
Sebagai pelengkap, Muthahhari juga menegaskan bahwa konsep ketemporeran mahluk atau kelanggengan alam semesta tidak bertentangan dengan masalah eksistensi Sang Pencipta. Sebab, kesalahan fatal akan terjadi, kata Muthahhari, tatkala kita mengasumsikan kepercayaan kepada Tuhan itu membutuhkan konsep ketemporeran mahluk alam semesta:
Mengapa kita memperbincangkan masalah hari pertama penciptaan alam semesta, dan mengatakan bahwa alam semesta tercipta secara gradual? Padahal, alam semesta selamanya dalam keadaan tercipta. Tidak ada sesuatu pun yang langgeng dalam alam semesta.
Selain dari pada itu, prinsip-prinsip monoistik pun membenarkan seseorang untuk mengatakan bahwa alam semesta ini tidak berpermulaan. Sebab, jika alam semesta ini berpermulaan, bisa jadi, ada alam lain sebelum alam ini dalam bentuk yang lain pula. Hal itu, secara ekplisit, dikatakan Muthahhari sebagai berikut:
Mungkin mereka benar, jika kita berjalan mundur ke ribuan tahun silam, kita akan dapatkan suatu keadaan dunia yang berbeda dengan keadaan dunia saat ini. (Jika kita menyatakan bahwa pernyataan di atas tidak benar—penerj.), bagaimana kita dapat mengetahui ketidakadaan dunia lain sebelum dunia ini yang memiliki aturan yang berbeda itu?
Dalam teks itu, Muthahhari, secara implisist, menyatakan adanya keberagaman alam semesta. Yang cukup mengagumkan, ide yang digulirkan Muthahhari pada pertengahan tahun 1970-an itu sempat popular dalam kajian kosmologis tahun 1980-an dan 1990-an. Namun, para kosmologian hanya menggunakan ide itu untuk memperselisihkan ide keberadaan Tuhan. Sedangkan Muthahhari menggunakannya untuk mempropagandakan ide Kepemurahan Tuhan.
5. Prinsip Kausalitas
Ahli fisika di zaman klasik mempercayai prinsip kausalitas sebagai suatu postulat dasar. Mereka juga percaya bahwa dengan mengetahui persamaan gerak suatu sistem berikut kondisi permulaannya, seseorang dapat memprediksikan masa depan sistem tersebut secara tepat.
Pada tahun 1927, Heisenberg menggulirkan ide “relasi yang tidak menentu”, yang berisikan ketidaktahuan manusia akan posisi dan kecepatan tertentu dari suatu partikel. Setelah itu, Heisenberg meloncat dari kesimpulan epistemologisnya itu menuju ke kesimpulan ontologis, dengan mendeklarasikan teori yang mengatakan bahwa prinsip kausalitas tidak berlaku pada realitas atom. Selainjutnya, dia menegasikan kemungkinan adanya level sub-quantum dalam aturan hukum kausalitas. Dan dia juga menganggap bahwa spekulasi-spekulasi itu sering kali tidak berbuah (atau tidak mencapai suatu kesimpulan—penerj.) dan tidak terindera:
Sebagaimana wajarnya karakteristik statistik teori quantum yang berkaitan erat dengan ketidakpastian setiap persepsi, seseorang dapat mencapai pada suatu anggapan bahwa di belakang dunia statistik yang di dalamnya terkandung hukum kausalitas, terdapat “dunia realitas” yang tersembunyi. Spekulasi sering kali mengatakan hal itu secara ekplisit, namun, sering kali pula, tidak mencapai pada suatu kesimpulan dan tidak dapat terindera.... Dengan kata lain, mekanika quantum telah menetapkan kegagalan final teori kausalitas.
Namun, ahli fisika lain, seperti Einstein Nernst..., menolak ide di atas dan mengaitkan ketidakpastian realitas atom dengan ketidaktahuan manusia. Kemudian penolakan itu ditolak oleh ahli fisika dan filsuf lain yang berpikiran bahwa ide Heisenberg dapat memberikan solusi bagi masalah kebebasan kehendak manusia. Sebab, proses psikologis bergantung kepada proses fisika yang pada dasarnya tidak menentu. Tapi, lagi-lagi, Einstein mengkritik. Dalam pandangan Einstein, aturan hukum kausalitas tidak menampakkan keselarasannya dengan kebebasan kehendak manusia:
Sepertinya Anda menghadapi masalah konflik antara perspektif kausalitas murni versi Spinoza dengan perspekif yang bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial. Bagi saya, tidak ada konflik di situ. Untuk menghadapi ketegangan mental, kita memang tidak cukup mengandalkan nafsu saja. Kita juga harus mendorong terwujudnya keadilan sosial dengan cara menyatukan berbagai faktor yang masing-masing mengambil bagian dari sistem kausalitas yang masih terabaikan.
Sejalan dengan maraknya diskusi tentang teori quantum dan teori kausalitas, ilmuwan Islam, pada dekade terakhir ini, juga mulai merevivalisasikan teori Asy’ari yang telah lama diabaikan. Mereka juga menggunakan teori quantum untuk mendukung ide-ide mereka. Namun, Muthahhari, menolak teori fisika quantum itu. Dengan melakukan beberapa observasi, Muthahhari mengkritisi teori yang menyatakan ketidakpastian prinsip itu. Hasil observasinya antara lain sebagai berikut:
1. Kami tidak bermaksud untuk menolak observasi ekperimen para ahli fisika. Yang ingin kami lakukan hanyalah mengkritisi kesimpulan filosofis yang telah mereka capai.
2. Hukum kausalitas adalah hukum filosofis. Oleh karenanya, keberadaannya hanya dapat ditolak dengan argumentasi filosofis. Sedangkan ilmu pengetahuan tidak mungkin mampu untuk menetapkan ataupun menolaknya. Ia hanya mampu untuk menerimanya sebagai sebuah postulat dasar. Dalam hal ini Planck berkata:
Tentu saja kita bisa mengatakan bahwa hukum kausalitas pada dasarnya hanya sebuah hipotesis. Namun demikian, posisi hukum kausalitas tidak sama dengan hipotesis yang lainnya. Karena hukum kausalitas merupakan hipotesis yang paling fundamental. Dia adalah hipotesis yang berbentuk postulat, yang berperan penting dalam memberikan pengertian dan makna bagi seluruh penggunaan hipotesis dalam penelitian ilmiah.
3. Hukum kausalitas menggenggam seluruh alam semesta dalam satu kesatuan. Oleh karenanya, penerapannya pada mikrokosmos dapat merusak validitas hubungan hukum tersebut dengan keseluruhan alam semesta. Shabistari, seorang mistikus Persia pernah mengatakan hal tersebut sebagai berikut:
Jika Kau buang sekeping ( dari hukum kausalitas—penerj.) dari tempatnya, seluruh alam semesta akan hancur berantakan.
4. Ketidakterprediksikannya realitas atom tidak berarti ketidakvalidan hukum kausalitas. Sebab, kita tidak punya alasan pasti untuk menyatakan bahwa kita telah mencapai batas akhir pengetahuan kita atau kita telah menelusuri semua faktor yang relevan (untuk dikaji). Ketidakmampuan kita dalam memprediksikan sesuatu bisa jadi merupakan hasil dari ketidaktahuan kita atas beberapa fakta yang belum diketahui. Henry Stapp pernah menyitir pendapat itu pula. Seorang eksponen teori quantum kontemporer itu berkata:
Teori quantum kontemporer memperlakukan kejadian-kejadian (alam semesta) ini sebagai suatu variabel serampangan (random variables), dengan cara menspesifikkan bobot statistiknya saja ke dalam teori ini. Artinya, teori kuantum tidak turut campur membahas pilihan aktual-spesifik suatu kejadian atau bagaimana kejadian itu terjadi.
Yang jelas, pernyataan teori fisika kontemporer bahwa tidak ada sesuatu selain yang ada/terjadi, tidak berarti ilmu pengetahuan telah menjadi bisu (stagnan). Jika para ahli fisika masa kini percaya akan kebenaran teori “sesuatu yang simpel tidak keluar dari mana-mana”, secara ilmiah, sebagaimana saya, ilmu pengetahuan seyogyanya tidak berhenti dan puas dengan keadaan itu. Ilmu pengetahuan sudah selayaknya senantiasa berjuangan menuju posisi yang lebih baik. Semua cabang ilmu pengetahuan harus memainkan peranannya masing-masing.... Sehingga, pada konteks perjuangan yang sangat luas itu, teori di atas seyogynya diposisikan sebagai salah satu elemen dari ketidaktahuan dunia kontemporer yang masih harus dikaji. Teori itu, dengan kata lain, bukan sebagai ungkapan final yang harus kita terima secara puas.
Ilmuan lain ada pula yang mengatakan kemungkinan ketidakfisikan sebab-sebab. Pernyataan itu antara lain diungkapkan oleh seorang ahli matematika Kanada yang bernama John Byl:
Argumentasi yang menyatakan bahwa “ketiadaan sebab-sebab fisik merupakan suatu kepastian dalam kejadian quantum” itu, pada hakekatnya, telah membuka jalan bagi kemungkinan eksistensi sebab-sebab non-fisik. Sebab-sebab non-fisik itu bisa jadi berupa akal manusia, wujud spiritual seperti malaikat, jin, atau tindakan langsung Tuhan. Secara definitif, dia berada di luar penyelidikan ilmiah. Namun, secara ilmiah, dia tidak menjamin kebenaran teori “ketidakadaan sebab fisik mengindikasikan ketidakadaan suatu sebab.
Sebenarnya, dalam spirit itulah, David Bohm mengkontruksikan variabel teori quantum yang tersembunyi, bersifat kausal dan dapat memproduk seluruh hasil ekperimen teori kuantum.
5. Generalisasi hasil eksperimen suatu hukum baru bermakna bila telah memperoleh hukum kausalitas. Di ranah ini, Plank berkata:
Hipotesis yang mengindikasikan aturan tertentu menunjukkan prinsip kausalitas itu valid.
6. Para ilmuan yang berusaha menjelaskan kebebasan manusia dengan cara menerapkan hukum kausalitas pada hakekatnya salah dalam memahami makna kebebasan kehendak. Kita memang bebas dalam memilih melakukan ini dan itu. Namun pilihan kita itu tergantung pada motivasi kita dan berbagai sebab-sebab lainnya.
Epilog
Fenomena di atas cukup menggairahkan. Di sana, kita menyaksikan bagaimana poin-poin yang dibicarakan Muthahhari pada permulaan tahun 1950-an dibicarakan oleh ahli-ahli fisika papan atas, seperti Dirac dan de Broglie, pada tahun 1960-an dan 1970-an. Bahkan, teori kausalitas mekanika kuantum yang dibicarakan Muthahhari pun sempat ngetrend di dua dekade terakhir ini. Sampai-sampai, ahli fisika papan atas seperti G. ‘t Hooft menerima Nobel Fisika Laureate lantaran melakukan riset tentang teori tersebut.
Nota: Mehdi Golshani merupakan ahli fizik kuantum di Universiti Sharif, Tehran. Makalah ini dibentangkan sewaktu (?) Seminar Internasional Pemikiran Murtadha Muthahhari, Auditorium Adhiyana, Wisma Antara Lt. 2, Sabtu, 8 Mei 2004. Sumber diperoleh dari: http://icas.ac.id/icas/index.php?option=com_content&task=view&id=197&Itemid=1
Saturday, February 20, 2010
Kritik Filsafat Muthahari terhadap Ilmu Modern
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment