www.flickr.com

Saturday, February 20, 2010

Memahami Pemikiran Murtadâ Mutahharî tentang Feminisme

Oleh Alef Theria Wasim

Sulit menyatakan secara pasti apakah feminisme di kalangan muslim ada kaitannya dengan kesadaran baru dunia Timur yang dikenal dengan "oksidentalisme" dan kesadaran "post-kolonialis". Pembahasan tentang ketidakadilan gender yang dialami perempuan muncul pada akhir abad ke-20, yaitu pada gelombang II gerakan feminisme di Barat (Eropa dan Amerika), dan fenomena post-kolonialis menampakkan beberapa kegiatan dunia Timur khususnya sekitar abad ke-19 dan abad ke-20an. Di dunia Islam, penulis-penulis feminisme perempuan juga muncul. Dan sejak belahan ke-dua abad ke-20, perempuan dari strata menengah ke atas mulai menulis seputar feminisme dan peran gender serta hubungannya dengan keluarga dan masyarakat. Setelah masyarakat "feminisme" menikmati sajian dari penulis perempuan, kemudian masyarakat pembaca juga dapat menikmati dan memahami sajian tentang feminisme oleh beberapa penulis feminisme laki-laki. Dengan demikian di dunia Timur yang muslim terdapat beberapa sajian yang bervarian dari beberapa penulis muslim baik kalangan perempuan maupun laki-laki.

Kesadaran berbicara dan menyajikan feminisme dari kalangan muslim muncul dengan memuat kesadaran gender serta berupaya memperjuangkan penghapusan ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan. Dapatlah dikatakan bahwa dari lingkungan dunia Islam, biasanya mereka, baik para perempuan maupun juga laki-laki, mempersoalkan ajaran Islam. Beberapa penulisnya, ada yang berpandangan bahwa Al-Qur'an tidak melihat inferioritas perempuan dibandingkan dengan laki-laki; laki-laki dan perempuan setara dalam pandangan Tuhan, dan mufassir lah yang menafsirkan ayat-ayat tidak sebagaimana yang seharusnya.

Secara studi agama-agama, pada fenomena sosial keagamaan yang menampilkan kajian feminisme terdapat kesadaran untuk melakukan re-interpretasi terhadap teks-teks yang memuat persoalan yang dapat menjelaskan realitas feminisme dan perlu dilakukan bukan hanya oleh perempuan akan tetapi juga oleh laki-laki. Di antara kalangan laki-laki yang melakukan pemahaman dan re-interpretasi teks-teks yang memuat persoalan dimaksud adalah Murtadâ Mutahharî yang dipandang sebagai salah seorang tokoh yang cukup berhasil; bukan hanya dalam melakukan pemahaman dan re-interpretasi akan tetapi juga dalam menjelaskan seputar persoalan feminisme.

Mengenal Murtadâ Mutahharî

Syahid Murtadâ Mutahharî terlahir 2 Februari 1919 di Khurasan dari seorang ayah, Hujjatu 'l-Islâm Muhammad Husain Mutahharî. Murtadâ Mutahharî pada waktu kuliah di Qum sangat berminat dalam bidang filsafat dan sains modern. Di Qum ia belajar pada Ayatu 'l-Lâh Boroujerdi dan Ayatu 'l-Lâh Khomaeini dan belajar filsafat dari `Allâmah Tabatabâ`î. Murtadâ pernah mengajar logika, filsafat, dan fikih di Universitas Teheran, dan menjabat Ketua Jurusan Filsafat di Fakultas Teologi. Di kalangan ilmuwan muslim, penguasaan filsafat Islamnya dikenal mendalam. Murtadâ Mutahharî juga dikenal sangat berperan dalam Revolusi Iran. Ia juga dikenal sebagai seorang alim di antara tokoh ulama yang dianggap sebagai model ulama Islam sejati, karena kedalamannya dalam penguasaan ilmu agama yang mampu dipertemukan dengan keluasan pengetahuannya tentang pengetahuan modern. Dengan bertemunya ilmu agama dan sains modern pada penguasaan pengetahuannya, menampakkan bahwa dialah élite sebenarnya. Bahkan karena pendirian dan perjuangannya, dia dikenal sebagai syâhid; gagasan-gagasannya terimpresi dari agamanya dan gagasan serta keyakinannya terpadu dalam perjuangannya. Karena itu wajar kalau ia mengekspresikan ide serta pemikirannya dan memanifestasikannya dalam berbagai karyanya dan memprogresikannya dalam gerakan dan berbagai institusi. Sikapnya sangat mencerminkan kepribadiannya, dan kritiknya terhadap Barat cukup tajam; dan bilamana difahami dengan tepat, ide serta pemikirannya cukup memberikan solusi bagi persoalan yang dihadapi manusia pada umumnya, dan dunia Islam pada khususnya.

Pandangan serta sikapnya tentang feminisme cukup menunjukkan keutuhan serta kebulatan penguasaan pengetahuan dalam bidang dimaksud. Sambil melakukan kritik terhadap Barat, beliau menyajikan feminisme di dunia dengan Islam sebagai "ideologi" yang dipandang sebagai solusi persoalan yang dihadapi manusia modern.

Feminisme dalam Lintas Perkembangan

Batasan tentang feminisme dan para feminisnya sudah dikenal di lingkungan dunia muslim di berbagai wilayah: di Asia dan bukan-Asia, di dunia Timur pada umumnya, apa lagi muslim di dunia Barat. Pengertian feminisme menjadi cukup "bervarian" ketika feminisme masuk dalam wacana yang mengaitkan fitrah fungsi serta peran perempuan, terlebih setelah dibatasi kalangan agama tertentu yang terekspresikan dalam berbagai karya mereka.

Umumnya, feminisme mempunyai artian sebagai "suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, baik itu di tempat kerja ataupun dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan dan laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut". Artian feminisme sedemikian ini biasanya tidak pilah dari artian gender; yaitu "kesadaran akan ketidakadilan gender yang menimpa para perempuan baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat, dan tindakan sadar oleh perempuan ataupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut".

Dalam perspektif feminisme, kata seks dan gender sering kali dari sisi bahasa dikenal sebagai "jenis kelamin", dan sisi konseptual sering dikenal sebagai bersifat alami, kodrati, dan tidak dapat diubah karena terbawa sejak lahir. Kata seks dan gender dipandang suatu sifat yang melekat pada para perempuan dan laki-laki, sebagai hasil konstruksi sosial dan kultural sepanjang sejarah. Karena merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural, maka sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan, menerima perubahan.

Perbedaan gender (yang dikenal dengan gender differences) sebenarnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender (gender equality). Akan tetapi realitas historis memperlihatkan bahwa perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan gender, terlebih lagi bagi perempuan. Dari realitas historis semacam ini perbedaan gender terbentuk bahkan tersosialisasi, terkokohkan, terbakukan, dan terkonstruksi secara sosial kultural melalui ajaran keagamaan bahkan melalui negara; karena itu sering kali diyakini sebagai ketentuan Tuhan bahwa yang bersifat biologis tidak dapat diubah lagi dan kodrat laki-laki serta perempuan difahami sebagai perbedaan gender. Ini kemudian memunculkan berbagai teori; dari yang psikologis, fungsional struktural, konflik, sosio-biologis, sampai ekologis.

Dikarenakan perbedaan analisis tentang terjadinya ketidakadilan dimaksud, maka dalam feminisme tampak adanya berbagai aliran: feminisme liberal, feminisme Marxis, feminisme radikal, feminisme sosialis, dan feminisme ekologis, dan bukanlah suatu yang mustahil bahwa masih banyak kemungkinan munculnya aliran-aliran yang lainnya lagi.

Pada dua dekade ini telah muncul suatu perspektif baru dalam perkembangan feminisme; yaitu yang tetap menerima perbedaan antara perempuan dan laki-laki dan bahwa perbedaan gender bukan hanya konstruksi sosial budaya akan tetapi memang ada perbedaan yang "sangat" intrinsik. Analisis feminisme yang berkesimpulan bahwa perbedaan gender tidak terkonstruksi sosial dan kultural sepanjang sejarah manusia, memunculkan beberapa teori yang lebih menekankan mengapa terjadi perbedaan tersebut. Di antaranya teori psikoanalisis, teori fungsional-struktural, dan teori konflik yang biasanya terkait dengan teori sosio-biologis dan faktor sosial. Sudah barang tentu bahwa teori-teori ini bukannya berarti berdiri sendiri masing-masingnya; cukup logis bahwa pada ketokohan seseorang, teori-teori ini dapat saling melengkapi satu dengan yang lainnya dan diperkokoh oleh pandangan serta teori sang tokoh dengan struktur pemikirannya.

Aliran-aliran dengan berbagai teori analisisnya, dalam kenyataan, memungkinkan adanya perkembangan tertentu dalam pemikiran sang tokoh, Murtadâ Mutahharî, yang terekspresikan dalam berbagai sikap dan pendapat, dan termanifestasikan dalam berbagai karya serta kegiatan lain, bahkan terprogresikan dalam institusi-institusi.

Bilamana dicermati, teori-teori feminisme tadi memiliki kesamaan asumsi yang dipakai yaitu sistem patriarki. Asumsi feminisme tentang ideologi patriarki adalah negatif; ideologi ini menempatkan perempuan pada posisi subordinat, dan demi tercapainya sistem yang lebih egaliter maka penolakan terhadap sistem patriarki ini mewarnai gerakan feminisme, yaitu ingin meruntuhkan struktur patriarki. Karena itu, terbaca bahwa dalam mencapai sistem yang lebih egaliter tersebut, gerakan feminisme lalu memiliki dua pola; pertama dengan transformasi sosial melalui perubahan eksternal yang revolusioner, dan kedua dengan transformasi sosial melalui perubahan internal yang evolusioner.

Dari gerakan-gerakan feminisme tadi, realitas apa yang kemudian terjadi dalam masyarakat? Ternyata, satu setengah dekade yang lalu, 1990-an, telah memunculkan pembalikan arah perkembangan pemikiran feminisme. Para feminis sendiri berbalik mulai melakukan kritik teori mereka sendiri. Yaitu bahwa teori-teori feminisme yang ada hampir tidak pernah menyentuh masalah kesejahteraan anak-anak dan kelestarian lingkungan hidup. Cukup menarik, bahwa di Barat sendiri, muncul karya The Prisoner of Men's Dream karya Susan Gordon. Karya ini mengungkapkan pengalaman pribadinya yang "merasa terkhianati". Sebagai seorang feminis yang yakin dengan slogan feminisme, masuk dan berpartisipasinya kaum perempuan ke dunia laki-laki yang seharusnya dapat mentransformasi dunia yang semakin damai, ternyata sebaliknya, ia mendapatkan dunia justeru semakin rusak. Kerusakan dunia ini dikarenakan oleh telah masuknya perempuan dalam perangkap sistem patriarkis; karena itu yang terjadi adalah bahwa perempuan telah menjadi male clone! Perempuan mengalami pemiskinan, dikarenakan adanya pembalasan laki-laki (dikenal dengan male backlash); bahwa laki-laki kesulitan melindungi perempuan karena sudah setara bahkan bisa saja terjadi pergeseran laki-laki tersubordinasi perempuan. Karena itu perempuan tidak lagi diperlakukan secara khusus.

Kondisi perempuan yang terjadi sedemikian ini memacu perempuan untuk mempertanyakan kembali kebebasan yang pernah diperoleh. Kaum feminis mengkritik konsep kebebasan perempuan yang dirasa terjelma menjadi konsep yang menakutkan perempuan sendiri. Konsep ini telah merusak keluarga konon karena secara teoretis, feminisme modern anti keluarga, dan membuat laki-laki menjadi semakin lepas bebas dari beban keluarga dan tanggungjawab keluarga, yang di situ sistem tradisional mengharuskan laki-laki bertanggung-jawab terhadap nafkah dan kesejahteraan isteri dan anak.

Mulailah ada kajian-kajian kembali ke beberapa pemikiran ahli dalam bidangnya. Khusus di dunia Islam, muncul ketokohan ilmuwan, politisi, sekaligus pemerhati tentang feminisme, seorang `Allâmah, yang sekaligus seorang Syâhid, yaitu Murtadâ Mutahharî dengan pendekatannya yang cukup unik dan sangat distinctive jika dibanding dengan tokoh pemikir yang lain.

Pendekatan dan Pemahaman Murtadâ Mutahharî tentang Islam dan Feminisme

Seperti pendekatan terhadap Islam dalam uraian-uraian lain, subyek feminisme didekati oleh Murtadâ Mutahharî dengan melakukan studi fakta-fakta dan realitas sejarah, sosial, serta budaya, dan praktik keagamaan pada umumnya, dan dengan merinci yang termanifestasikan. Kalau tidak, maka perhatian terhadap persoalan feminisme yang berkembang di dunia pada umumnya dan dunia Islam pada khususnya, baru dipandang faktual jika terdapat identifikasi proses. Historisnya, ada keterikatan pada ruang, waktu, dan objek manusia sebagai individu. Karena itu, feminisme sering dibedakan dari perkembangan feminisme yang hanya menekankan pada realitas di belahan dunia Barat saja, atau hanya pada aspek-aspek fenomenal feminisme yang tertentu saja. Persoalan ini penting bagi tujuan penjelasan tentang feminisme dalam pandangannya. Feminisme sering dianggap sebagai studi keagamaan (semisal studi sosial dan kultural) dan kadang-kadang juga filosofis; baginya, agama adalah segalanya. Kesemuanya itu merupakan kajian proses maturitas keberagamaan tertentu yang unik. Walaupun di sini Murtadâ Mutahharî tidak menyisihkan suatu tipologi keagamaan tertentu, namun ia mencoba melihat proses-proses dimaksud sebagaimana benar-benar berkembang dalam lingkungannya sendiri.

Murtadhâ Mutahharî menyadari arti penting pengertian "feminisme" dan bagaimana metode mengkaji "feminisme" secara keagamaan. Mengenai pengertian feminisme, ia tidak hanya berangkat dengan pengertian abstrak begitu saja, akan tetapi mempertimbangkan pemahaman dan pengertian doktriner, suatu wawasan yang juga dimilikinya. Ia merekam serial fakta yang luas, bervarian, dan bersifat cukup pluralis. Untuk mencapai pengertian tentang "feminisme", selain berangkat dari teks kitab suci Al-Qur’an ia juga berupaya memahami dengan menggunakan metode yang cukup realis. Ia melihat feminisme dan unsur-unsurnya secara historis, dengan memperhatikan asal-usul dan perkembangan feminisme, yang cukup problematis. Dalam kerangka konteks dimaksud, konsep umum tentang feminisme dilakukan dengan suatu otonomi kategorial. Seterusnya, bagaimana arti “feminisme” dan “keagamaan” serta "hak-hak perempuan" terutama menurut Islam, dan dimana perlu konsep serta istilah yang kemudian mengalami perubahan dari aslinya, dikemukakannya secara realis. Cara ini terbaca jelas ketika Murtadâ Mutahharî menguraikan sesuatu yang dulu pernah di"wajib"kan kemudian pada masa Sayyidinâ `Alî, Amîr al-Mu'minîn, tidak lagi diwajibkan.

Murtadhâ Mutahharî merujuk pada Al-Qur'an, wahyu, untuk menyatakan modalitas agama sebagai interaksi pemikiran dan semua ditentukan dalam nilainya. Al-Qur'an, wahyu, dimaksudkan sebagai perluasan konsep keagamaan itu sendiri, seterusnya aspek yang bersifat fungsional dikaitkan dengan penjelasan dan pemecahan permasalahan keagamaan. Di sisi lain, dalam beberapa karyanya, Al-Qur'an, wahyu, dapat ditelusuri pada persoalan asal-usul dari pemahaman agama dan keberlangsungan sejarah perkembangannya, dan mengintroduksi batasan Islam dengan menekankan unsur kunci iman terhadap yang Adi-Insani, iman terhadap Allah Yang Maha Kuasa, Allah Sang Khaliq. Murtadâ Mutahharî mampu mengamati bahwa batasan Islam melibatkan pemahaman realis yang mencerminkan fakta-fakta yang tersebar di lingkungannya: Iran pada waktu itu. Terkait dengan Dunia Timur, dan Dunia Islam pada umumnya, Iran, Indonesia, dan belahan-belahan dunia yang lain, agama merupakan suatu fenomena universal bagi peradaban manapun dan bagi masyarakat manusia apa pun. Dalam merekam feminisme, disertai dengan unsur-unsur perbandingan, misalnya saja: feminisme di dunia Barat pada umumnya, feminisme di dunia Islam, dan feminisme menurut agama Islam menurut pemahamannya.

Studi tentang feminisme dipraktikkan dalam studi yang bertujuan membatasi kawasan budaya, sosial serta politik, dan kawasan Islam, sebagai suatu metode yang memerlukan aspek historiografis, dan dengan aspek ini diharapkan dapat diketahui adanya perbedaan antara kawasan budaya yang satu dari yang lainnya. Dengan menggunakan induksi dan komparasi diharapkan dapat memperjelas konklusi. Dalam karyanya, Murtadâ Mutahharî mengamati fenomena-fenomena feminisme di sekitarnya dan melakukan komparasi terhadap kawasan budaya yang dunia Barat di dalamnya. Selain itu, bilamana dicermati, Murtadâ Mutahharî menyatakan bahwa dalam agama Islam ada suatu unsur penting yang memungkinkan terungkapnya suatu fakta yang terdapat pada suatu kategori, yang fakta tersebut tidak terdapat pada kategori yang lain. Dengan kajian komparatif, fakta beberapa praktik keislaman yang secara universal terdapat di lingkungan keberadaan dan lingkungan kehidupannya, dia berupaya memahami Islam dan "feminisme" dengan baik. Dapat dikatakan, bahwa di satu segi, Islam merupakan suatu fenomena universal bagi semua peradaban dan segenap manusia. Di antara unsur perbandingan yang terekspresikan dalam karyanya adalah Islam pada masa Rasûl Muhammad dan Islam pada masa Sayyidinâ `Âlî, Amîr al-Mu'minîn, dan Murtadâ Mutahharî mencermati bahwa dalam sisi praktik keislaman adalah pada masa Sayyidinâ `Âlî Amîr al-Mu'minîn. Karya informatif yang padat muatan namun disajikan secara komunikatif, adalah Tema-tema Pokok Nahj al-Balâghah dengan beberapa unsur keimanan yang membuat batasan Islam dapat diterima oleh para pembacanya.

Bagi Murtadhâ Mutahharî aspek inti pemikiran tentang mutlaknya Tuhan adalah syarî`ah Islam walaupun kadang-kadang ia memfokuskan pada hukum Islam dalam lingkungan budaya. Ada kendala untuk mengetahui dengan jelas mengapa ia memfokuskan pada Islam Syi`ah di Iran. Namun dapat difahami bahwa memang ia tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan tersebut sehingga baginya Islam di Iran merupakan keistimewaan perhatiannya. Walaupun Islam yang hidup di Iran telah membudaya, namun dalam hal tertentu ia berupaya memahami adanya perbedaan antara agama dan budaya. Salah satu di antara pandangannya adalah tentang keterkaitan mahar dan ekonomi. Kemudian, apakah hasil pemikiran keagamaan akan merupakan suatu bentuk baru dari "agama"? Jika kasus dengan mengutamakan Al-Qur'an, wahyu, adalah suatu penyisipan minat baru, maka penempatan nilai-nilai baru, dan penyisipan konsep tentang dunia yang benar (baru), dapat membawa pada yang berlainan, berbeda, bahkan bisa jadi akan berlawanan dengan konsep-konsep lama. Ia menyebutkan bagaimana suatu hukum menjadi beda, berubah, jika hasil pemikiran Islam (pemikiran yang baru) “berlainan”, berbeda dan “berlawanan” dari konsep asali dalam hukum Islam. Meskipun ada kontinuitas yang menjunjung tinggi dan menegakkan akidah dasar tertentu, yang dibentuk oleh doktrin keagamaan tertentu dan dilembagakan dalam syari`ah serta hukum Islam tertentu. Dari teks, sering kali unsur “pembaruan” tersebut dipandang oleh Murtadâ Mutahharî sebagai “waspada meskipun kelihatannya wajar”. Karena itu ia menyatakan juga tentang sejauh mana pembaruan tersebut dipandang perlu dan mana yang dipandang membahayakan penghayatan keislaman. Terlebih lagi jika terkait dengan faham feminisme Barat.

Murtadhâ Mutahharî berupaya memecahkan problema pengertian feminisme atau perempuan dalam suatu cara dialektis; ia berupaya untuk memantapkan pengertian, bilamana kajian tentang konsep dan praktik keagamaan dilakukan. Di sini sering kali terdapat ide tertentu yang bersifat keislaman. Ia tidak berangkat dari batasan teoretis, akan tetapi melakukan rekonstruksi pengertian tentang feminisme atau tentang perempuan dan itu dilakukannya dengan cara induktif. Problema pengertian feminisme dapat membawa kepada permasalahan tentang metode apa yang seharusnya digunakan. Apakah metode fenomenologis, metode filosofis, atau metode historis, atau metode tipologis. Atau, paduan keduanya: fenomenologis-filosofis atau fenomenologis-historis atau historis-tipologis, atau yang lainnya lagi. Metode tersebut tidak selalu dibatasi pada suatu tipologi atau fenomenologi yang mengesankan konsep feminisme sebagai sesuatu yang sudah dibatasi. Andaikata menyentuh suatu metode tipologis yang mampu mengkhususkan berbagai macam tipe feminisme dengan aliran-alirannya dan melakukan deskripsi yang mencakup persamaan atau perbedaannya, maka akan sampai pada pandangan yang di situ ada kesamaan dan ada kebedaan tentang hal-hal yang sejalan tadi; dengan demikian akan memberi pengertian bahwa itu adalah feminisme yang memfokus pada hak-hak perempuan dalam Islam. Dalam hal ini akan memunculkan persoalan hubungan dengan berbagai macam alasan keterkaitannya, yang akan sampai pada makna keterkaitan antara satu (aliran) feminisme tertentu dengan aliran-aliran feminisme lain.

Jika dialektika proses pengertian kesadaran yang ditentukan untuk membentuk pengertian induktif dan konkret tentang fakta-fakta feminisme dipertahankan, maka dialektika dimaksud tidak selalu berpusat pada persamaan-persamaan yang berasal dari berbagai unsur faham dan aliran feminisme dan praktiknya.

Feminisme adalah suatu pengetahuan yang tidak hanya terpusat pada kajian kategori historis mengenai asal-usul dan perkembangan. Problema asal-usul dan perkembangan tidak berakhir hanya dengan keterkaitan atau dengan relasi. Tanpa mengeluarkan problema dari sejarah kehadirannya, dan dari keunikan problema tersebut, maka akan dapat meluas pada tipologi historis, yang menyingkapkan analogi jawaban historis terhadap suatu analogi situasi keagamaan. Dan ini adalah dalam kerangka suatu sejarah (dunia) yang berasal dari proses yang terjadi di `alam, dunia yang sangat luas bagi “manusia”. Atau, dunia luas menurut Murtadâ Mutahharî yang mencakup kehidupan di dunia dan di akhirat. Untuk memberikan ide tentang problema historis yang terbatas pada permasalahan analogi dan tipologi historis mengenai agama-agama, Murtadâ Mutahharî selain merujuk pada perbedaan antara Islam dengan bukan-agama, juga perbedaan antara “tauhîd” dan “monoteisme”, dengan yang “bukan-tauhîd”. Di antara pengertian tipologi historis tentang feminisme atau perempuan menurut Islam di sini adalah tipologi yang selain ada pada kajian lingkungan historis yang bukan-tauhîd atau dihasilkan oleh lingkungan luar Islam; juga ada dalam berbagai peradaban, walaupun kadang-kadang masih terbaca ke-“kini”-an historisnya pada masa Murtadâ Mutahharî. Bahwa ada anggapan ajaran Islam seolah-olah produk peradaban yang hidup dalam lingkungan sejarah, namun sebenarnya sebagai “penyimpangan” karena penggunaan akal yang belum optimal dan belum dilakukan secara tepat. Kadang-kadang dikaitkan dengan pertumbuh-kembangan hukum dan tatanan sosial-keagamaan, dan kemudian dihadapkan pada tatanan yang “bukan-tauhîd”.

Perempuan atau "feminisme" yang dikemukakannya, ia lihat dari kuantitas proses historis konteks kepercayaan dan amalan keagamaan tentang dunia keagamaan yang padu bahkan terdapat antar-komunikasi satu dengan lainnya. Dunia keagamaan tersebut di satu segi berhubungan dengan peri laku manusia pada umumnya; dan peri laku itu adalah bersifat femininitas. Dengan sendirinya, dapat dikatakan bahwa ada yang sejalan, namun bukannya berarti bahwa tidak ada perbedaan. Feminisme dan gender, serta hak-hak perempuan dalam Islam, semestinya mempertimbangkan klasifikasi dan tipologisnya. Dari sini dapat difahami kemungkinan munculnya problema tipologi historis serta persoalan kontinuitas dan diskontinuitas yang historis, tidak hanya fenomenologis. Menurut Murtadâ Mutahharî, ada suatu kontinuitas yang merupakan fenomena tentang sesuatu yang baru dalam hal tatanan dan hukum, realitas sosial dan budaya, tentang perubahan, dan penyempurnaan pemahaman keislaman. Demikian pula ada diskontinuitas sekalipun dalam syari`at dan hak-hak perempuan disebabkan oleh adanya perubahan dan penyempurnaan. Adanya perubahan dan penyempurnaan dapat memungkinkan munculnya problema yang lebih luas ke segala bentuk keislaman. Ini memberi pengertian tentang adanya persamaan dan perbedaan muatan di antara Islam dan agama-agama lain, atau, adanya perbedaan-perbedaan yang memungkinkan terpadunya beberapa unsur keagamaan, atau adanya keragaman baik dalam bentuk maupun kualitasnya. Dengan “agama Islam” bukannya berarti kualitas segala agama sama. Dalam feminisme, yang menurut pandangannya, ada upaya untuk melakukan identifikasi asas bagi ideologi --- meniadakan kerugian dan memandang penting manfaat --- dan peri laku yang "lumrah" dan "lazim" bagi manusia dalam tahapan tertentu, namun ada yang kemudian runtuh. Upaya dimaksud di antaranya yang terjadi pada feminisme evolusionis yang melibatkan perkembangan historis tentang feminisme dan aliran-alirannya.

Muatan agama yang berupa pangkal asasi suatu saat disalahfahami, kemudian kesalahfahaman pangkal asasi tertanggulangi, perlu penjelasan dari segi kontinuitas dan diskontinuitas historis keislaman. Kajian feminisme, gender, dan hak-hak perempuan tertentu memungkinkan kajian kontinuitas dan diskontinuitas agama – yang kadang-kadang secara paralel, kadang-kadang tidak – berkembang dalam suatu lingkungan budaya yang walaupun berbeda, namun berdekatan. Mungkin bagi Murtadâ Mutahharî, perjalanan persoalan "feminisme" dan hak-hak perempuan terpecah menjadi aliran-aliran dikarenakan oleh penggunaan akal oleh manusia sendiri. Dengan akal, seharusnya manusia memiliki sifat dinamis dan kreatif sehingga secara bertanggung-jawab mampu berupaya memahami Islam dan memahami hak-hak perempuan dengan bertumpu pada perjalanan "wahyu". Wahyu itu sendiri selain berujud firman amr dan nahy, yang dinyatakannya sebagai "petunjuk" dan "bimbingan", juga berujud alam semesta dan hukum-hukumnya, yang dalam hal ini adalah fenomena empiris kehidupan keagamaan. Fenomena empiris di sini adalah sejarah perjalanan penghayatan manusia terhadap realitas mutlak (Tuhan). Murtadâ Mutahharî menjelaskan bahwa Islam menegakkan ke-satu-an atau tawhîd, dan kesatuan merupakan dasar dan esensi dari agama-agama. Artinya, perjalanan kesejarahan agama-agama bertumpu pada dasar asali keesaan tauhîdî (monoteis, kesatuan dan persatuan). Fenomena pemahaman agama yang bersifat pluralis merupakan perjalanan pengalaman dan penghayatan keagamaan manusia terhadap realitas mutlak, yang sering kali berbeda arah atau salah proses (salah berjalan), karena tidak tepatnya akal memahami Al-Qur'an dan wahyu. Jelas bahwa di sini pemahaman dimaksud bersifat normatif dan subjektif. Murtadâ Mutahharî berangkat dari paradigma pemahaman agama Islam secara teologis-normatif; atau memang lazim demikian.

Justifikasi tersebut sebenarnya adalah fakta itu sendiri. Dari kajian yang terekspresikan dalam beberapa karyanya cukup mengundang pemaknaan teks “Qur’ani” kepada gagasan yang baru pada waktu itu, akhir abad ke-20 di dunia Timur, dunia Islam, khususnya Iran. Atau, menunjukkan adanya keterkaitan antara sesuatu dengan fenomena keislaman dan gerakan feminisme yang sebelumnya tidak begitu dikenal. Murtadâ Mutahharî memberikan informasi tentang beberapa aspek feminisme, keagamaan dan hak-hak perempuan dalam Islam yang sebelumnya tidak mendapat perhatian; atau informasi tentang nilai-nilai dan arti penting lain yang sebelumnya tidak tereksplorasikan atau bahkan diingkari sehingga dengan tidak adanya (belum ditemukannya) pemikiran informatif tentang Islam secara seutuhnya yang juga sekaligus memuat informasi pemikiran tentang feminisme dan hak-hak perempuan dalam Islam, yang dilakukan sebelumnya, maka Murtadâ Mutahharî menunjukkan problema keagamaan dalam Islam untuk dijadikan perhatian.

Studi Islam dan feminisme serta hak-hak perempuan yang dilakukan dengan kajian pemikiran dengan memberi perhatian tentang kesejarahan mengundang peminatnya untuk berupaya seobjektif mungkin; perlu ditemukan ada atau tidak-adanya perubahan makna tentang objek yang dibahas. Murtadâ Mutahharî melakukan seleksi dengan mempertimbangkan sisi evaluatif. Islam akan muncul sebagai pengalaman dan penghayatan sui-generis. Pengetahuan filosofis-historisnya yang luas untuk ukuran tempusnya, akan memberikan kemampuan untuk mengungkap dan menjelaskan kedalaman dan ketajaman serta kekritisan terhadap rujukan-rujukannya. Ya dalam Islam dan hak-hak perempuan yang lebih erat dengan budaya asasi Murtadâ Mutahharî, ya dalam feminisme Barat yang menurut pandangannya “sesat”, "menyeleweng", membawa hal-hal yang merugikan bahkan tidak memberi manfaat dalam kehidupan kaum perempuan sendiri. Pengetahuan tentang ini adalah persoalan epoche; di sini epoche tentang unifikasi budaya dunia dan tentang suatu pengetahuan timbal-balik dari individu dan peradaban, dan timbal-balik antara Islam, budaya, dan peradaban dunia.

Posisi Aliran Feminisme Murtadhâ Mutahharî

Pemikiran Murtadhâ Mutahharî tentang feminisme dan hak-hak perempuan dalam Islam bukan hanya semata-mata menggunakan metode intuisional, akan tetapi semi-intuitional. Artinya, Murtadâ Mutahharî mengekspresikan pemikirannya tentang feminisme dan hak-hak perempuan dalam Islam dengan pandangannya tentang Islam dan keislaman serta hak-hak perempuan. Sejak Rasul Muhammad dan Sayyidinâ `Âlî ibn Abi Tâlib, Amîr al-Mu'minîn, seterusnya sampai dengan feminisme dan aliran-alirannya pada masanya, akhir abad ke-20 menjelang abad ke-21. Dalam mengekspresikan pandangan dimaksud, ia mengawalinya dengan pengertian atau batasan tentang agama Islam dan pemahamannya terhadap teks Al-Qur'an, dan seterusnya melihat realitas persoalan terkait dengan kedalaman teori dan ketajaman analisis yang diperoleh dan dimilikinya. Dengan cara melakukan kajian keislaman demikian, ia berharap adanya cakupan kajian yang diinginkan sehingga terekspresikan dalam karyanya dan termanifestasikan dalam gerakan-gerakannya serta terinstitusikan dalam lembaga-lembaga terkaitnya. Di samping metode intuisional memberi pengertian bahwa diferensi aksidental agama itu tidak ambigu, juga mengintrodusir aspek lain dengan metode yang terkait; yaitu metode yang bercorak esensialis, atau realis. Artinya, Islam dan feminisme serta hak-hak perempuan dapat difahami dan dijelaskan dengan sisi filosofis-historis. Bagi Murtadâ Mutahharî, "feminisme" dan hak-hak perempuan dalam Islam seharusnya dipelajari dalam diri pemahaman keislaman itu sendiri dan oleh muslim itu sendiri sehingga mampu menjelaskannya dan memprogresikannya dalam tatanan hidup Islam. Selanjutnya, apakah kajian sedemikian ini dapat disebut sebagai awal karya Ekofeminisme (Islam), Teologi Feminisme (Islam), atau Teologi Ekofeminisme kiranya masih memerlukan telaah yang lebih mendasar dan lebih lanjut, walaupun pendapat yang banyak dikembangkan bahwa Ekofeminisme adalah suatu disiplin yang terpaut dengan berbagai macam data keagamaan, dan memahami data tersebut lewat metode komparatif.

Murtadhâ Mutahharî mendekati materi agama dan feminisme serta aliran-alirannya dengan memberikan perhatian pada konsep-konsep Islam sebagaimana yang ada dalam kepercayaan (i`tiqâd) dan praktik amalan, atau yang terdapat pada pemikiran kefilsafatan, pada ajaran nabi, dalam perkembangan tradisi kalam, filsafat, dan dalam pandangan keagamaan tentang pengalaman dan penghayatan psikologis-sufis, serta amalan keagamaan ritualis. Murtadâ Mutahharî memandang penting keterkaitan antara agama dengan ras, lingkungan fisik, dan peradaban. Dalam karyanya terekspresikan adanya agama-agama Barat, Timur, dan agama Islam.

Murtadhâ Mutahharî mampu memandang adanya unitas keragaman keagamaan. Menurutnya, unitas tersebut mengambil bentuk suatu arah perubahan menuju ke suatu yang bersifat perfektif. Bagi Murtadhâ Mutahharî, keyakinan agama seharusnya dikaji dalam kekomplitan dan keutuhan historis agar dapat dipahami dengan baik dan jelas. Di samping itu, dalam beberapa karyanya, ia melakukan kajian terhadap beberapa fenomena keagamaan sebagai sesuatu yang bersifat religius, dengan muatan-muatan informasi yang sangat kaya dan padu.

Dalam menentukan valid dan tidaknya batasan tertentu tentang Islam, Murtadhâ Mutahharî menggunakan pendekatan “esensiel (semi)-intuisional”. Ia mampu memilahkan mana-mana yang benar-benar agama Islam dari mana-mana yang hanya fenomena keagamaan, bahkan kemudian dibedakan mana-mana yang benar-benar fenomena keislaman dari yang bukan fenomena keislaman, dan, mana-mana yang benar-benar fenomena keagamaan dari yang bukan fenomena keagamaan. Ia melakukannya dengan tetap menjaga dan memperhatikan hubungan seseorang dengan Tuhan menurut keyakinannya. Secara kesejarahan, ia mampu mengenal dan menjelaskan hal-hal yang dalam studi agama pada umumnya dikenal dengan “agama primitif”, dan menjelaskan agama-agama dan mistik-sufis yang ada, sebagai corak agama yang ada dan hidup. Murtadhâ Mutahharî membatasi agama dengan semi-intuitif, suatu gagasan aksiomatis tentang apa itu Islam dan apa itu feminisme serta apa itu hak-hak perempuan. Ia bertujuan merumuskan inti agama yang dikembangkan dari keyakinan yang bersumber dari teks Al-Qur’an yang memiliki makna luar biasa bagi pengembangan konsep aspek-aspek kehidupan budaya, sosial, ekonomi, dan politik, utamanya pada masa `Alî bin Abi Tâlib Amîr al-Mu'minîn.

Selain itu, dalam melihat berbagai aliran feminisme secara keseluruhan yang dinyatakan dalam beberapa ungkapannya, dapat dikatakan bahwa ia berupaya memahami dan menjelaskan Islam dan feminisme serta hak-hak perempuan dalam Islam dengan secara sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya. Dalam memberikan batasan tentang Islam dan hak-hak perempuan, Murtadhâ Mutahharî tidak menggunakan batasan leksikal akan tetapi batasan riel dan batasan fungsional. Artinya, Murtadhâ Mutahharî menetapkan kata tertentu yang memiliki suatu makna tertentu, dan makna itu telah dikenal dan merupakan suatu statemen yang dipandang benar (“nyata”) tentang hal-hal dimaksud. Hampir setiap kali menyajikan solusi persoalan dilengkapinya dengan analisis atau kritik. Batasan tentang Islam dan feminisme serta hak-hak perempuan yang dimaksudkan, tidak selalu ditentukan oleh data yang teruji dan dapat diterima. Bukan batasan leksikal karena Murtadhâ Mutahharî dalam melakukan pembatasan dimaksud menyatakan arti tertentu. Kadang-kadang terhadap seseorang, sesuatu waktu, yang tidak seperti pada batasan fungsional baik benar maupun salah. Dengan batasan riel, pemberian batasan diperlukan untuk dapat sampainya pada kajian dimaksud oleh Murtadhâ Mutahharî.

Yang menjadi pemasalahan tentang batasan fungsional maupun batasan riel bukan hanya salah atau benarnya rumusan batasan, akan tetapi sampai tidaknya pada tujuan kajian dimaksud, yang ide-idenya terekspresikan dalam berbagai karyanya.

Makna Pemikiran Murtadhâ Mutahharî tentang Feminisme

Pemikiran Murtadhâ Mutahharî tentang "feminisme" dan hak-hak perempuan dalam Islam dilontarkan dalam baik situasi masyarakat atau komunitas umum maupun komunitas agama yang pluralis. Ini dikarenakan Iran merupakan sentral pertemuan bangsa Barat, Timur, dan dunia Islam. Beberapa komunitas bangsa datang bukan hanya dari dunia Islam saja akan tetapi juga dari Eropa dengan beragam kebangsaan, Amerika, bahkan Jepang dan dunia Timur lain, serta bangsa-bangsa dari dunia Islam lainnya. Pertemuan berbagai bangsa ini membawa kepada pertemuan berbagai agama dengan ragam corak pemahaman serta amalan praktisnya; juga berbagai kepercayaan, pandangan hidup, budaya serta peradabannya yang beragam. Pertemuan ini sering kali merupakan sentuhan mesra namun juga tidak jarang merupakan benturan dan dapat membawa kepada konflik dan benturan lain.

Di samping itu, sebagai suatu kota yang maju dan berperan lama dalam sejarahnya yang kaya dengan budaya dan peradaban, Teheran merupakan tempat belajar dan perdagangan serta pusat-pusat penting lain. Masyarakat Iran menjadi suatu masyarakat terbuka oleh dan bagi bangsa-bangsa lain, termasuk ide serta pemikiran keagamaan, terutama agama Islam, khususnya Syi`ah.

Sebagai salah satu sentral agama Islam pada waktu itu, Iran merupakan tempat persentuhan dan bertemunya berbagai sekte, aliran, atau faham keagamaan, dengan corak dan ragam keyakinan, amalan, serta sikap imani yang bervarian, yang kesemuanya merupakan ekspresi pemahaman dan penghayatan serta pemikiran, baik dalam bidang syariat, pemikiran filsafat, kalam, maupun spiritualitas atau tasawuf, dan juga berbagai konsep pranata lain semisal agama dan pemerintahan, pendidikan, dan dakwah. Pemikiran keislamannya yang dikemukakan diharapkan dapat dijadikan penjelasan dan pegangan dalam menyikapi dan menilai pemahaman, pandangan serta faham tentang feminisme yang melanda dunia. Setidak-tidaknya, pemikirannya mewakili pandangan elite agama dan bangsa, serta negara bahkan dunia, dalam menilai faham perjuangan feminisme (pada waktu itu). Atau, pemikirannya akan memberikan penjelasan untuk meredakan bahkan menghilangkan kebimbangan dan kegelisahan masyarakat terhadap fenomena "feminisme" dengan beberapa aliran serta teori dan analisisnya, yang berkembang dan berjalan di Barat dan melanda dunia Timur, serta dunia Islam. Baik bagi masyarakat pada umumnya, maupun masyarakat Islam di Iran sendiri serta masyarakat di dunia Islam pada umumnya, dan masyarakat akademik. Di samping itu, pemikirannya dapat mengurangi konflik berkepanjangan tentang faham aliran feminisme itu sendiri.

Pemikiran Murtadhâ Mutahharî merupakan pemikiran intelektual muslim dalam merespons realitas sosial, budaya, politik, serta peradaban yang berkembang di dunia. Pemikirannya merupakan tanggapan atas adanya fenomena "westernisasi" terhadap masyarakat timur dan keberadaan dunia Islam, yang dipandang merugikan dan membahayakan keberadaan Islam di Iran waktu itu. Karena itu pemikirannya merupakan "penjelasan" tentang feminisme dalam realitas historis, dalam pertautan dan kejelasan tentang hak-hak perempuan dalam Islam. Dengan pemikirannya diharapkan bahwa keteguhan dalam menganut Islam dan mengamalkan, mengekspresikan dan memanifestasikan serta memprogresikannya dalam kehidupan dapat terpelihara, dan pandangannya tentang feminisme dan hak-hak perempuan dalam Islam, dapat diterima oleh dunia, dan ini cukup eksposisif.

Pengetahuannya tentang agama dan sains serta filsafat selain luas juga mendalam; karena itu ia mampu memberikan penjelasan dan kritik. Ia mendudukkan sikuen realitas yang Islam sebagai evolusi yang cukup perfektif; pengetahuannya yang luas dikarenakan faktor lingkungan kehidupannya, kemampuan akademik, dan faktor pergaulannya dalam jaringan ulama dan pejuang. Dengan kritik dan penjelasannya tentang feminisme menunjukkan bahwa Murtadhâ Mutahharî adalah seorang ulama besar bukan hanya bagi Iran akan tetapi bagi dunia Islam. Pemikirannya tentang feminisme dan hak-hak perempuan dalam Islam dengan pendekatan yang utuh dan cukup ilmiah, menunjukkan pengetahuan dan penguasaannya bahwa ada kalanya agama merupakan suatu yang bersifat "ideologis".

Selain itu pemikirannya juga memiliki makna bagi para pembaca karya-karyanya; baik mereka yang berbahasa Inggris, Arab dan Persi, maupun yang berbahasa Melayu dan Indonesia; beberapa karyanya telah diterjemahkan ke bahasa terakhir (Indonesia) ini. Karena karya-karyanya sebagai ekspresi dari pemikirannya yang termanifestasikan dalam beberapa konsep dan ide, dengan demikian para pembacanya mampu mengetahui kesamaan dan kebedaan berbagai faham atau aliran feminisme dengan kelebihan dan kekurangannya. Dengan demikian pembacanya akan mengetahui mana yang benar dari mana yang tidak benar, apalagi dengan tawaran pemikirannya tentang feminisme menurut pemikirannya sebagai muslim. / Jakarta, Mei, 2004


REFERENSI

Bulbeck, Chilla, Re-Orienting Western Feminisms: Women's Diversity in a Postcolonial World (Cambridge: Cambridge University Press, 1998)

Foltz, Richard C., Frederick M. Denny, and Azizan Baharuddin, Islam and Ecology (a besrowed trust) (Cambridge, Messachusetts: Harvard University Press, 2003)

Muthahhari, Murtadha, Hak-hak Wanita dalam Islam (terj. Jakarta: Lentera, 2001)

-----, Tema-tema Pokok Nahj al-Balâghah (terj. Jakarta: Al-Huda, 2002)

-----, Manusia dan Alam Semesta: Konsepsi Islam tentang Jagat Raya (terj. Jakarta: Lentera, 2002)

-----, Kumpulan Artikel Pilihan (terj. Jakarta: Lentera, 2003)

-----, Hijab: Citra Wanita Terhormat (terj. Jakarta: Pustaka Zahra, 2003)

Wasim, Alef Theria, "The Changing Role of Women in Asian Society", makalah simposium Woman's Day and Asian Festival, UPI, Dilliman, Quezon City, Filipina, 1993

-----, "Wanita dalam Perspektif Studi Agama-agama", Yogyakarta, 1995

-----, "Islam, Identity, and Pluralism", Durban, South Africa, 2000

-----, "Trend Mutakir dalam Studi Agama", Yogyakarta, 2001

-----, "The Specifically Archipellago's Context of a Malay Text", Wellington, New Zealand, 2002

-----, "Globalization and Localization: Javanese Muslims' Responses", Bergen, Norway, 2003

Nota: Makalah ini dibentangkan sewaktu Seminar Sehari Pemikiran Murtadha Muthahhari “Teologi Islam dan Persoalan Kontemporer” di Ruang Seminar, Gd. Pascasarjana UGM Lt. 5 pada Sabtu, 15 Mei 2004. Sumber ini diperoleh dari: http://icas.ac.id/icas/index.php?option=com_content&task=view&id=198&Itemid=1

No comments: