www.flickr.com

Sunday, February 21, 2010

Rahasia di Balik Perjalanan Haji

Oleh Ahmad Munjin

Kelompok terbang pertama jemaah haji Indonesia menuju Mekkah, Rabu (5/11). Haji bukanlah perjalanan biasa atau wisata yang hampa makna. Dia sebuah ibadah keagamaan penuh makna. Apa rahasia di balik perjalanan haji?

Gelombang perjalanan jemaah Indonesia akan mengalir selama 28 hari. Setidaknya, hingga 2 Desember mendatang, arus umat muslim Tanah Air menuju Tanah Suci akan mengalir. Mereka berangkat dari berbagai embarkasi.

Menurut cendekiawan muslim Iran kontemporer, Ali Syariati, haji bukanlah sekadar ritual wisata tanpa makna. Haji merupakan sebuah langkah maju menuju 'pembebasan diri', yaitu bebas dari penghambaan kepada tuhan-tuhan palsu menuju penghambaan kepada Tuhan Yang Sejati.

Haji dalam pemahaman Syariati merupakan kepulangan manusia kepada Allah SWT yang mutlak, yang tidak memiliki keterbatasan dan yang tidak diserupai oleh sesuatu apapun. Kepulangan kepada Allah merupakan gerakan menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan, nilai, dan fakta-fakta.

Dengan melakukan perjalanan menuju keabadian ini, tujuan manusia bukanlah untuk binasa, tetapi untuk berkembang. Tujuan ini bukan untuk Allah, tetapi untuk mendekatkan diri kita kepada-Nya. Makna-makna tersebut dipraktikkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual, atau dalam tuntunan non ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, nyata atau simbolik.

Semua itu, pada akhirnya, mengantarkan seorang haji hidup dengan pengamalan dan nilai kemanusiaan universal. Syariati mencontohkan, dalam konteks niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram, haji memiliki makna yang lebih universal dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Pakaian ihram, menurutnya, melambangkan pola, preferensi, status, dan perbedaan-perbedaan tertentu. "Tak dapat disangkal bahwa pakaian pada kenyataannya dan juga menurut Al-Quran berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau satu kelompok dengan lainnya," tulis Syariati.

Menurutnya, pembedaan tersebut dapat mengantar kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis pada pemakainya.

Syariati kembali mencontohkan, di Miqat Makany, tempat ritual ibadah haji dimulai, perbedaan tersebut harus ditanggalkan. Semua harus memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus ditanggalkan. Semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan.

Di Miqat ini, apapun ras dan suku harus dilepaskan. Semua pakaian yang dikenakan sehari-hari yang membedakan sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang melambangkan penghambaan) harus ditinggalkan.

Di Miqat, dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih-putih, sebagaimana yang akan membalut tubuh manusia ketika ia mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini, seorang yang melaksanakan ibadah haji akan merasakan jiwanya dipengaruhi oleh pakaian ini. "Ia akan merasakan kelemahan dan keterbatasannya, serta pertanggungjawaban yang akan ditunaikannya kelak di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa," tulis Syariati lebih lanjut.

Selain itu, Ka'bah yang dikunjungi di tengah-tengah Masjidil Haram, dalam pemahaman Syariati mengandung pelajaran yang amat berharga dari segi kemanusiaan. Di sana terdapat Hijr Ismail yang arti harfiahnya pangkuan Ismail. "Di sanalah Ismail, putra Ibrahim, pembangun Ka'bah ini pernah berada dalan pangkuan ibunya yang bernama Hajar, seorang wanita hitam, miskin, bahkan budak, yang konon kuburannya pun di tempat itu," katanya.

Haji sesungguhnya bukanlah sekadar prosesi lahiriah formal belaka. Dia sebuah momen revolusi lahir dan batin untuk mencapai kesejatian diri sebagi manusia. Dengan kata lain, orang yang sudah berhaji haruslah menjadi manusia yang 'tampil beda' (lebih lurus hidupnya) dibanding sebelumnya.

Dan, ini adalah kemestian. Kalau tidak, sesungguhnya jemaah haji hanyalah wisatawan yang berlibur ke Tanah Suci di musim haji, tidak lebih.

Quraish Shihab, Guru Besar Tafsir Universtias Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta mengatakan Ka'bah merupakan lambang dari wujud dan keesaan Allah. Bertawaf di sekelilingnya melambangkan aktivitas manusia yang tidak pernah terlepas dari-Nya.

Ka'bah bagaikan matahari yang menjadi pusat tata surya dan dikelilingi oleh planet-planetnya. Sa'i adalah lambang dari usaha mencari kehidupan duniawi. Hajar (ibu Ismail a.s.) mondar-mandir di sana mencari air untuk puteranya.

Pertanyaannya, kata Quraish, apakah sepulang dari menunaikan ibadah haji, seseorang masih akan berpangku tangan menanti turunya hujan dari langit atau akan berusaha dengan segala kemampuan untuk melepaskan dahaga kehidupan? [I4]

Sumber: http://www.inilah.com/berita/politik/2008/11/06/60134/rahasia-di-balik-perjalanan-haji/

No comments: