Oleh Mulyadi Kartanegara
I. PENGANTAR
Judul yang diminta panitia kepada saya sebenarnya adalah moralitas dalam pandangan Muthahhari, namun karena sumber-sumber tentang tema itu tidak saya dapatkan hingga dekat hari, maka saya memutuskan untuk menulis tema lain yang lebih luas dengan judul seperti tertulis di atas, “Renungan-renungan filosofis Murtadha Muthahhari,” dengan fokus pada pandangan beliau tentang Tuhan, alam dan manusia. Menurut saya tema seperti ini justru sangat penting karena menciptakan sebuah paradigma yang lebih komprehensif, untuk melihat tema-tema spesifik lainnya, yang dibicarakan dalam seminar ini. Atas penyimpangan ini saya mohon maaf, tetapi pada waktu yang sama juga berharap akan memberikan lebih banyak manfaat kepada para peserta seminar ini, khususnya, dan pembaca makalah ini dimanapun berada dalam mengapresiasikan pemikiran pemikir Iran kontemporer ini.
Untuk tujuan itu di sini, saya akan menyajikan beberapa topik/pokok pembicaraan sebagai berikut : Pertama, sekalipun secara singkat saya masih merasa perlu untuk mengetengahkan informasi biografis Muthahhari, sebagai sekedar upaya untuk memberikan konteks historis pada pemikiran atau dalam istilah saya renungan-renungan filosofinya; Kedua karena paper ini berkaitan dengan renungan-renungan filosofis, maka barangkali perlu didiskusikan tentang peranan filasafat (Islam) dalam pandangan Muthahhari, khususnya sebagai alat yang efektif untuk mengkounter tantangan-tantangan ilmiah dan filosofis yang datang dari pemikiran-pemikiran kontemporer Barat; Ketiga akan disajikan pandangannya tentang Tuhan, khususnya konsep tauhid dan syirik dan topik-topik menarik lainnya yang berkaitan dengan Tuhan; Keempat, akan dikemukakan pandangannya tentang alam, terutama tentang “kesatuan” sistem yang ada pada alam dan daya-daya yang berlaku di dalamnya, termasuk konsepnya tentang evolusi dan hubungan materi dan pikiran dan sebagainya., Terakhir, akan disajikan pandangan Muthahhari tentang manusia, terutama karakteristik manusia yang istimewa—seperti dimilikinya oleh manusia ilmu dan iman—yang membedakannya dengan makhluk Tuhan yang lainnya. Terakhir makalah ini akan diakhiri dengan sebuah penutup, mungkin berupa kesimpulan pokok dan saran-saran yang perlu untuk ditindaklanjuti.
II. SKETSA BIOGRAFIS
Murtadha Muthahhari lahir di Faryan, sebuah kota kira-kira 120 KM dari Masyhad, ibukota propinsi Khurasan, pada tanggal 2 Februari 1920. setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, Muthahhari pindak ke Masyhad, yang merupakan pusat belajar dan ziarah yang bergengsi, untuk meneruskan pendidikannya dengan guru-guru yang otoritatif dibidangnya. Pada tahun 1936 ia meninggalkan Masyhad untuk pergi ke Qum. Adapun faktor yang mempengaruhi keputusannya untuk pergi ke Qum meninggalkan Masyhad adalah wafatmya Mirza Mehdi Shahidi Ravazi, seorang guru yang terkenal filsafat Islam. Dan Muthahhari memang telah meperlihatkan bakat filsafatnya yang menonjol. Pada tahun 1937 Muthahhari baru betul-betul menetap dan tinggal di Qum dimana studi tentang filsafat, sekalipun tidak betul-betul diizinkan, tetapi paling tidak relatif lebih dimungkinkan.
Pada musim panas 1941, Muthahhari meninggalkan Qum yang panas untuk pergi ke Isfahan di mana ia mempelajari Nahj al-Balaghah dengan Hajj Mirza Ali Aqa Shirazi Isfahani, sorang guru yang punya otoritas dari naskah Syi’ah yang terkenal ini. Untuk belajar ushul fiqh dengan Ayatullah Borujerdi yang pindah ke Qum tahun itu. Setahun kemudian, yakni pada tahun 1945, Muthahhari mulai membaca sebuah naskah filosofis, yaitu Manzumah karangan Hajj Mulla Hadi Sabzawardi, dengan Ayatullah Khomeini.
Pada tahun 1946, ketika ia mulai mempelajari Kifayah al-Usul, sebuah kitab hikum, dari Akhund Khorasani dengan Ayatullah Khomeini, ia memulai komitmen seumur hidupnya untuk mempelajari Marxisme untuk kemudian dibantahnya. Tetapi menurut Hamid Dabashi, sumber-sumber yang dipakai Muthahhari untuk mempelajari Marxisme ini adalah sekunder, yaitu sumber-sumber yang bisa ia dapatkan dalam bahasa Persia, baik pamplet-pamplet oleh kaum Maxis yang tergabung dalam partai Tudeh, atau terjemahan karya Marx ke dalam bahasa Persia atau sumber Arab berbahasa Arab.
Pada tahun 1949 Muthahhari memulai studinya terhadap al-Asfar al-Arba’ah karangan filosof Syi’ah abad ke enambelas/tujuhbelas dengan Ayatullah Khomeini. Teman sekelasnya antara lain Ayatullah Muntazhari, Hajj Aqa Reza Sadr, dan Hajj Aqa Mehdi Ha’eri.
Pada tahun 1950 Muthahhari konsentrasi lebih keras lagi pada studi filsafat. Ia meneruskan bacaannya tentang Marxisme melalui terjemahan Persia dari karya George Pulizer yang berjudul Introduction to Philosophy dan mulai mengikuti diskusi kamis Allamah Tabataba’i tentang “filsafat materealis.” Diskusi ini berlangsung dari tahun 1950-1953 dan menghasilkan lima jilid buku Ushul-e Falsafah va Ravesh-e Realism (Prinsip-prinsip Filsafat dan Metode Realistik). Muthahhari kemudian mengedit karya ini dan menambahkan catatan-catatan yang luas (lebih besar dari naskah aslinya sendiri) dan secara bertahap menerbitkannya (1953-1985). Disamping itu pada waktu ini ia mempelajari Ibn Sina dengan Allamah Tabtaba’i. Diantara teman kelasnya adalah Muntazeri dan Behesti
Pada tahun 1954 ia mulai mengajar di Tehran University, di Fakultas Teologi. Tetapi menjelang awal tahun 60-an dia terlibat secara aktif dalam organisasi masyarakat Religius Bulanan (Anjoman-e ye dini), dan menerbitkan majalah bulanan Goftar-e Mah. Muthahhari dicekal sebentar selama pemberontakan Ayatullah Khomeini pada bulan Juni 1963, dan majalah bulanan (The Mounthy Discdurse) dilarang. Pada tahun 1964 promosi Muthahhari di Tehran University ditolak. Pada tahun 1965 ia turut berjasa dalam mendirikan Hosseiniyyeh Ershad, yaitu sebuah organisasi religius yang didirikan secara pribadi (swasta yang diabdikan untuk kepentingan Syi’ah)
Antara bulan Juni 1963 dan bangkitnya gerakan revolusi pada tahun 1977-1979, Muthahhari terus mengadakan kontak dengan Ayatullah Khomeini, dan bahkan dalam kenyataannya ia menjadi satu-satunya wakil di Iran yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan dan menyalurkan zakat karena pengasingan Ayatullah. Pada waktu yang bersamaan ia terus memberi kuliah dan menulis tentang berbagai isu-isu keagamaan dan sosial. Tapi pada bulan Mei tanggal 1, 1979 Muthahhari terbunuh hanya beberapa saat setelah kemenangan revolusi Islam Iran. Diantara tulisan-tulisannya, selain Ushul-e Falsafah adalah Struktur Hak-Hak wanita dalam Islam (1966-1967), Manusia dan Nasibnya (1966), Layanan Timbal Balik antara Iran dan Islam (1967), Pertolongan Ghaib dalam Kehidupan Manusia (1969) dan lain-lain.
VI. MANUSIA
Manusia tentu saja merupakan hasil evolusi yang terakhir, dan karena itu sebagai makhluk ia memiliki karakter atau sifat-sifat khusus yang tidak dimiliki oleh hewan-hewan dan makhluk-makhluk yang lebih rendah lagi. Sekalipun hewan dikatakan memiliki kesadaran dan nafsu, namun kesadaran hewan tentang dunia fisik, hanyalah merupakan kesadaran inderawi, dan tidak bisa menjangkau ke kedalaman dan antar-hubungan batin antara benda-benda. Juga kesadaran hewani hanyalah pada objek-objek yang bersifat individual dan partikular, dan tidak bisa menjangkau yang bersifat universal dan general. Tetapi kesadaran manusia bisa mencapai apa-apa yang tidak bisa dijangkau oleh kesadaran hewani tadi. Kesadaran manusia tidak tetap terpenjara dalam batas lokal dan ruang, tidak juga ia terbelenggu pada waktu tertentu; kesadaran manusia justru bisa melakukan pengembaraan menembus ruang dan waktu. Tetapi selain itu, yang betul-betul menjadi ciri yang membedakan manusia dengan hewan adalah ilmu dan iman. Inilah perbedaan utama manusia dari hewan. Oleh karena itu sains dan iman merupakan dua hal yang harus diperoleh dan dikembangkan manusia untuk mengekspresikan kemanusiaannya.
Manusia menikmati kemuliaan dan keagungan yang khusus di antara makhluk-makhluk yang lain dan memiliki peran khusus, sebagai wakil Tuhan dan misi yang khusus, sebagai pengelola alam. Namun manusia, dengan kebebasan memilihnya, bertanggung jawab atas evolusi dan pertumbuhan dan pendidikannya dan atas perbaikan masyarakatnya. Alam semesta, merupakan sekolah bagi manusia, dan Tuhan akan memberi pahala setiap diri manusia sesuai dengan niat baiknya dan usahanya yang lurus. Manusia juga dikatakan mempunyai peran kausal dalam dan pengaruh terhadap tindakan-tindakannya. Ia bahkan lebih berpengaruh dalam membentuk nasibnyanya sendiri ketimbang yang lain.
Sebagai pemikir Syi’ah yang sering diidentikkan dengan Mu’tazilah, Mutahhari menolak bahwa manusia telah ditentukan nasibnya secara deterministik. Kepercayaan Syi’ah pada prinsip keadilan, dalam pandangan Mutahhari berarti bahwa Syi’ah mengakui prinsip kebebasan manusia, pertanggung-jawaban manusia dan kreativitasnya. Takdir Tuhan telah menciptakan sistem dan telah memunculkan serangkaian norma dan hukum. Karena itu, kapan saja manusia mencari sesuatu yang diinginkannya, ia harus mencarinya lewat sistem dan norma-norma tadi, jadi rizki, sekalipun berasal dari pusaka ilahi, tetapi harus dicarai melalui sistem dan norma tertentu, dan bukan dengan begitu saja diberikan secara pilih kasih.
Nota: Dr. Mulyadi Kartanegara merupakan professor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, merangkap Direktur CIPSI. Makalah ini dibentangkan sewaktu (?) Seminar Internasional Pemikiran Murtadha Muthahhari, Auditorium Adhiyana, Wisma Antara Lt. 2, Sabtu, 8 Mei 2004. Sumber diperoleh dari: http://icas.ac.id/icas/index.php?option=com_content&task=view&id=201&Itemid=1
Saturday, February 20, 2010
Renungan-Renungan Filosofis Murtadha Muthahhari
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment