Oleh Seyyed Mohsen Miri
Muthahhari, sebagai seorang pemikir zaman kini, sangat “concern” terhadap pertanyaan: bagaimanakah Islam, sebagai agama terakhir, yaitu agama sepanjang zaman dan untuk semua generasi yang akan datang, yang tak membutuhkan lagi pelengkap – dapat memuaskan segala kebutuhan semua orang di mana pun dan kapanpun? Dengan kata lain, bagaimana seseorang dapat menyajikan sesuatu model Islam yang tepat dan bagaimana caranya mencapai model tersebut di zaman moderen? Bagaimana seseorang dapat menjadi Muslim dan pada saat yang sama hidup dengan sukses di zamannya. Apakah Islam bertentangan dengan modernitas dan perubahan zaman di mana seorang Muslim dapat terpaksa menyerah kepada modernitas ataukah keduanya harmonis satu sama lainnya? Dapatkah Islam, agama terakhir, yang secara alami mempunyai prinsip-prinsip yang tetap dan kekal dapat harmonis dengan modernitas yang pada esensinya melangsungkan perubahan dan transformasi? Bagaimana agama seperti itu dapat berjalan beriringan dengan (teori) evolusi dan lebih penting lagi, bagaimana ia dapat mengarahkan dan memaknai evolusi dan tranformasi semacam itu? Haruskah ia mengubah prinsip-prinsip abadinya secara mutlak agar sesuai dengan teori evolusi itu, dan menjadi sebuah agama yang lain? Atau mustikah agama yang mapan itu dapat menghentikan atau mengabaikan peristiwa-peristiwa – yang tentu saja itu tidak mungkin? Atau adakah cara lain yang dapat diikuti?
Walaupun pertanyaan tersebut telah menarik perhatian banyak pemikir lainnya, khususnya di zaman moderen ini, di dunia yang selalu berubah, apa yang membedakan Muthahhari dari mereka adalah jawaban yang dia berikan untuk pertanyaan tersebut. Karena dia menolak beberapa perspektif (pandangan) dalam pembahasan ini, pertama-tama kita harus meninjau beberapa perspektif tersebut dan apa (kritik) yang Muthahhari katakan tentang beberapa prespektif tersebut, dan kemudian mengemukakan solusinya.
Menurut pandangan literalisme dan dogmatisme, suatu perspektif yang secara luas disuguhkan oleh beberapa Muslim, tidak terdapat ruang yang layak bagi nalar dalam memahami Islam, dan melalui penawaran sebuah pemahaman yang vulgar atas makna literal dari al Qur’an dan Sunnah, ia menyajikan sebuah pola yang kaku dalam menghadapi setiap perubahan dan transformasi, sehingga nalar dan perubahan tidak punya pengaruh terhadap pemahaman atas Islam dan nilai-nilainya. Hasilnya adalah bahwa kita harus memilih antara Islam atau realitas perubahan dan transformasi di dunia. Apakah harus memilih Tuhan dan wahyu-Nya ataukah manusia dan nalar akalnya? Pra-anggapan mereka adalah apapun yang mereka temukan dari al Qur’an dan Sunnah, serta penafsiran para ulama, merupakan bagian pokok dan stuktur mendasar (fundamental) dari Islam dan setiap fleksibilitas dalam kaitan ini dapat keluar dari Islam.
Perspektif kedua adalah sebuah penentangan mutlak terhadap perspektif yang pertama yang beranggapan bahwa kita harus sepenuhnya menyesuaikan diri dengan zaman, transformasi dan pencapaian intelektual manusia, dan atas dasar pencapaian itulah kita mesti me-review (memahami ulang) Islam, sekalipun hal itu mungkin meninggalkan banyak konsep-konsep religius dan elemen-elemen Islam yang ditemukan dalam Qur’an dan Sunnah. Menurut perspektif ini, Islam akhirnya akan menjadi lebih berupa kepercayaan batiniah, sebuah hubungan pribadi antara manusia dan Tuhan, dan berupa ritual formal. Di sini wahyu ilahiah ditundukan oleh nalar. Nalar macam apa? Nalar yang meraba-raba dan tidak stabil yang dapat digantikan oleh hal yang lainnya dengan cepat dan bukan penalaran akal yang matang.
Perspektif yang ketiga adalah salah satu perspektif (cara pandang) yang moderat yang dikemukakan oleh Murthadha Muthahhari.
Beberapa Penjelasan Mengenai Perspektif Pertama
Muthahhari mengatakan bahwa perspektif ini, yang karakteristiknya adalah kaku, menakutkan, harfiah (literalis), formalisme yang meluas, dan penolakan terhadap semua jenis penalaran akal dalam dunia keagamaan dan, itu sayangnya didukung oleh banyak kaum Muslim, telah memainkan peran yang merusak dalam arti menghalangi Islam dari kedinamisan hidup yang vital yang pada gilirannya menyebabkan kelemahan dan kemerosotan di dalam Islam. Menurut Muthahhari, mereka telah sangat lebih melukai Islam dibanding kaum Mongol, karena orang-orang Mongol nyata-nyata adalah musuh, tapi kaum literalis tersebut adalah mereka yang mencederai Islam atas nama agama dan kesucian. Muthahhari menghitung beberapa aliran yang menjadi perwakilan dari metode pemikiran tersebut yaitu: kaum khawarij, formalis (Ahl al-Dhahir) dan kaum Akhbari.
Khawarij muncul di pertengahan abad pertama tahun hijrah dan menghilang di pertengahan abad kedua, tapi sebagaimana Muthahhari nyatakan, semangat mereka saat ini masih hidup di beberapa kalangan Muslin. Karakteristik mereka adalah sebagai berikut:
1. Mereka berani mengorbankan diri, petempur, keras kepala dan para pejuang Jihad sampai mati.
2. Mereka adalah orang-orang yang rajin berdoa dan berpuasa, membaca al Qur’an, memperhatikan peraturan (fiqh / ”Syariah”) Islam, dan sangat hati-hati terhadap kehidupan duniawi mereka. Inilah alasannya mengapa begitu banyak orang yang tertarik kepada mereka.
3. Pada saat yang sama, mereka bodoh, jahil (tak berpengetahuan), suka mengada-ada, kurang menggunakan logika dan penalaran akal sehat, tidak mau berbeda sikap dalam setiap keadaan khusus dan temporal yang dapat mengubah keputusan mereka. Mereka tidak mau mendukung pemikiran intelektual dan ilmu pengetahuan dan kemudian berpandangan sempit dan cetek (dangkal/pendek) pandangannya. Mereka hanya mengambil permukaan ajaran Islam dengan kebodohan yang nyata terhadap semangat (spirit) dan tujuan akhir dari agama besar ini. Mereka, oleh karena itu, telah mengubah semua dimensi Islam menjadi sesuatu yang terbatas, sesuatu yang tidak sempurna (cacat).
Tidak ada seorang pun pemikir yang bisa secara mutlak menerima Islam dengan cara yang telah mereka perkenalkan. Bertentangan dengan ajaran Islam yang mengajarkan agar orang harus berpikir dulu dan kemudian bertindak didasarkan pada pemikiran itu, mereka bertindak lebih dulu tanpa pemikiran sebelumnya. Hal Itu dapat dengan jelas dilihat dalam sejarah Islam bahwa Nabi yang suci tidak mengijinkan kaum Muslimin untuk ambil bagian dalam Jihad apapun atau bahkan untuk mempertahankan diri mereka sendiri di Mekah selama 13 tahun walaupun mereka banyak menderita dan hanya di tahun kedua setelah Hijrah ke Madina-lah kaum diijinkan untuk berjuang dalam peperangan.
Nabi yang suci melakukan hal itu dalam rangka membiarkan kultur Islam menembus ke dalam jantung masyarakat Muslim dan kaum Muslimin siap untuk memperoleh pengertian yang mendalam sedemikian rupa sehingga mereka menjadi mampu mendakwahkan Islam dengan cara yang benar. Bahkan ketika mereka dikirim berjihad, mereka sadar tentang apa tujuan mereka, sebagaimana Imam Ali katakan, mereka mempunyai pengertian yang mendalam mengenai fungsi pedang mereka.
Oleh karena itu, kaum Khawarij sering digunakan oleh kalangan anti-Islam sebagai alat bukti untuk mendekreditkan Islam. HaI itu selalu terjadi di mana orang yang bodoh dan orang-orang yang sok suci digunakan oleh musuh untuk menyerang kaum Islamis dan kepentingan sosialnya. Mereka menjadikan kebodohan dan kepicikan mereka sebagai suatu keimanan religius di mana Tuhan, manusia dan alam semesta ditafsirkan. Mereka membatasi kemurahan hati Tuhan dan percaya bahwa semua orang Islam, kecuali beberapa orang saja, akan dikirim ke neraka di akhirat. Karena itulah mereka membunuh setiap orang saleh yang tidak setuju dengan apa yang telah mereka katakan. Mereka percaya bahwa seseorang yang melakukan suatu dosa besar telah menjadi orang yang tidak beriman (kafir), sedangkan Nabi yang suci tidak memperlakukan mereka seperti itu: Nabi menghukum mereka, tetapi tetap memberikan bagian mereka dari Bayt al-mal, Ia tidak melarang Muslim yang lain dari mempunyai hubungan -termasuk perkawinan- dengan mereka, dan ia mendoakan jenazah mereka ketika mereka meninggal.
Khawarij tetap menentang kenyataan. Mereka tidak bisa memaklumi fleksibilitas dan hanya menerima beberapa doktrin dogmatis dalam kaitan dengan kebodohan mereka, yang tidak punya keselarasan dengan Logika Islam. Mereka secara alami menciptakan krisis di masyarakat Islam antara lain pertempuran Nahrawan - di mana sangat banyak orang Islam dibunuh - dan kesyahidan Imam Ali adalah bukti nyata atas hal itu.
Di dalam pertempuran Siffin, mereka memaksa Imam Ali untuk menerima arbitrasi dan berdamai dengan musuh. Dan ketika mereka menyadari bahwa kebijakan mereka itu salah, mereka mengumumkan bahwa "tidak ada hukum kecuali hukum Allah" dan berdasarkan itu mereka mengutuk semua orang yang telah menerima arbitrasi perdamaian itu dan mengumumkan bahwa ia harus bertobat sebab ia telah menjadi orang kafir yang tak beriman dengan melakukan hal itu atau mereka boleh bertempur melawan terhadap dia.
Imam Ali berkata bahwa pada awalnya adalah kalian yang memaksa aku untuk menerima arbitasi itu dan berdamai dengan musuh; yang kedua, menerima arbitrasi tidak akan membuat orang Islam menjadi kafir; yang ke tiga, slogan " tidak ada hukum kecuali hukum Allah" adalah suatu kalimat benar yang digunakan dengan jalan yang salah; dan akhirnya, jika diterimanya arbitrasi sewenang-wenang itu membuat aku menjadi kafir, mengapa kamu menghukumi masyarakat Islam? Tentu saja Imam Ali memaklumi mereka dan tetap membayarkan hak mereka dari Bayt al-Mal sampai mereka memulai membunuh manusia, laki-laki dan wanita-wanita yang tak berdosa.
Lalu, mereka mengumumkan Imam Ali sebagai kafir dan mencoba untuk membunuh dia !, seorang yang dulu menjadi standar ukuran kebenaran menurut teks hadist baik yang ada di kalangan Sunni dan Syiah, dan Nabi yang suci telah berkata sekitar dia: "Ali ada bersama kebenaran dan kebenaran ada bersama Ali, Kebenaran itu pergi di kemana saja Dia pergi."
Hanya Imam Ali yang bisa mengangkat jihad sekaligus dalam pemikiran dan tindakan melawan wabah merusak yang bertopeng kealiman. Ia sungguh sadar bahwa orang-orang ini akan merusak Islam jauh lebih dahsyat dibanding orang lain, maka ia berkata, "Punggungku dipatahkan oleh dua jenis orang: pertama orang bodoh dengan penampilan orang saleh, dan kedua, seorang yang terpelajar yang teledor terhadap hukum Islam."
Khawarij hilang di abad yang kedua, tetapi semangat mereka selalu hadir sepanjang sejarah.
Motahhari mengatakan bahwa di dalam sejarah Islam, kapan pun orang bodoh dengan penampilan saleh diperlakukan sebagai simbol ketakwaan, maka kaum anti-agama telah menggunakan mereka sebagai alat untuk niat jahat mereka melawan orang yang benar-benar Islami. Kolonialisme telah menggunakan orang-orang itu dalam rangka memecah belah orang Islam ke dalam kelompok-kelompok yang saling bertentangan. Menurut Motahhari, dogmatisme seperti itu telah memainkan peran penting dalam menjadikan sebagian orang menjadi anti-agama.
Contoh lain dogmatisme yang menurut pendapat Mutahhari telah memainkan peran merusak terhadap Islam adalah kemenangan kaum formalis dan kaum akhbari (ahli hadits) melawan Mu'tazila, yang bagaimanapun juga adalah orang yang berpikir. Walaupun Motahhari mengkritik dan sangat banyak menolak pandangan Mu'tazila, ia mempertahankan metoda intelektual mereka dan mengaggap hilangnya mereka sebagai kerugian besar bagi dunia Islam, sebab akal, filsafat, dan intelektualitas menjadi terisolasi sejak zaman mereka. Walaupun peristiwa itu terjadi di dalam kelompok Islam Sunni, namun peran merusaknya mempengaruhi kelompok Syiah, seperti dapat dilihat kemudian.
Orang-orang itu ceroboh terhadap pertimbangan intelektual dan selalu menuntut secara dogmatis mengenai makna literal al-Qur’an, sekalipun hal itu bertentangan secara langsung dengan intelek manusia – yang membuktikan bahwa kebenaran eksistensi Tuhan, Kenabian, dan Hari Kebangkitan, dan al-Qur’an hanya akan menjadi sah jika telah terbukti secara rasional. Sebagai contoh, mereka mengatakan bahwa Tuhan duduk bertahta di atas Singasana-Nya, karena al-Qur’an telah mengatakan: “Al Rahman berada di atas Singasana”. Padahal hal itu terbukti secara rasional dan riwayat bahwa Tuhan tidak memiliki jasad dan tidaklah duduk di atas apapun. Dan ketika mereka ditanya tentang hakikat duduk-Nya Tuhan dan singasana tersebut, mereka mengatakan bahwa hakikatnya tidak diketahui dan mempertanyakan hal tersebut adalah kekafiran (kefasikan).
Bertentangan dengan mereka, kaum Mu’tazilah percaya bahwa di sana ada kebaikan dan kejahatan di dalam dirinya sendiri tanpa perlu penegasan oleh Syariah, karena hal-hal tersebut dapat ditemukan oleh akal/intelek. Syariah memerintahkan sesuatu, karena hal itu secara esensial baik dan melarang sesuatu karena sesuatu itu secara esensial buruk. Maka kita kemudian dapat menyimpulkan bahwa ketika intelek membuat sebuah keputusan apakah sesuatu itu baik atau buruk, maka hal tersebut juga diperlakukan sama oleh syariah dengan cara yang sama.
Namun kaum Ash ‘ariyah percaya bahwa kebaikan adalah apa yang dinyatakan baik oleh syariah, dan keburukan adalah apa yang dinyatakan oleh syariah sebagai buruk, dan tiada jalan bagi akal manusia untuk mewujudkan hal tersebut. Oleh karena itulah mereka tidak percaya kepada Keadilan Tuhan dalam makna tersebut. Menurut mereka, filsafat adalah terlarang dan haram dan menggunakan logika adalah bertentangan dengan Islam. Mereka tidak sadar bahwa mereka memerlukan logika, bahkan untuk membuktikan bahwa logika itu bertentangan dengan Islam.
Mereka hanya perduli dengan Al Qur’an dan Sunnah secara superfisial (dangkal) dan terpenggal dari spiritnya. Mereka percaya kepada determinisme (Jabariah) yang di satu sisi telah menyebabkan devaluasi (merosotnya nilai) dari perjuangan para nabi dan tokoh-tokoh besar lainnya, - dan di sisi lain, telah membuat mereka percaya bahwa jika seseorang melakukan kejahatan dia tidak perlu dikecam sebab dia melakukan hal itu tidak dengan suka rela atas kehendak bebasnya sendiri. Di atas hal itu, menurut mereka Tuhan dapat dianggap sebagai asal muasal segala kejahatan di alam semesta!. Mereka mengutip Al Qur’an yang mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta segala sesuatu, maka apapun yang terjadi di alam semesta ini hanyalah perbuatan Tuhan, dan jika kita percaya bahwa apabila manusia melakukan apa-apa melalui kehendak bebasnya sendiri maka kita dianggap musyrik (percaya pada politeisme).
Contoh dogmatisme yang ketiga yang disebutkan oleh Muthahhari adalah kecenderungan fuqaha Akhbari di kalangan Syiah. Kemunculan puncaknya pada abad ke-11 dan ke-12, kaum Akhbari sangat dekat dengan kaum formalis dan ahli hadits di kalangan Islam Sunni. Mereka percaya bahwa penalaran akal tidak punya peran dalam memahami dalam memahami ajaran ketuhanan.
Sekilas Pandangan Muthahhari
Sekarang marilah kita tinjau pandangan Muthahhari tentang pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas:
Point pertama yang disebutkan olehnya adalah bahwa manusia berbeda dengan binatang, karena dia diturunkan Tuhan ke bumi (sebagaimana Al Qur’an katakan: “Kami akan menjadikan mereka sebagai khalifah di muka bumi” ), karena ia mengemban amanah (kepercayaan Tuhan) di atas pundaknya (sebagaimana Tuhan Yang Maha Kuasa katakan: “Kami menawarkan amanah itu kepada langit dan bumi tetapi mereka tidak dapat menanggungnya…sementara manusia menerimannya” ), dan karena manusia dibekali kehendak bebas, akal dan kreatifitas, maka manusia merencanakan masa depannya dan tidak sepenuhnya terpengaruh oleh apa yang terjadi di luar. Semua perkembangan di dalam industri, ekonomi, teknologi, dsb. terkait dengan daya kreatifitas ini.
Muthahhari, tentu saja, percaya bahwa apa yang dapat membuat manusia melakukan perubahan di dalam dunianya melalui daya kreativitas, adalah kebutuhan manusia. Karena manusia membutuhkan hal-hal yang nyata seperti makanan, pakaian, pertanian, ilmu pengetahuan dan kebutuhan lainnya seperti mengorganisasikan semangatnya, hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta. Kebutuhan-kebutuhan tersebut tetap sepanjang zaman, tetapi manusia membuat peralatan yang beragam dan isntrumen yang berbeda dalam zaman yang berbeda, maka digunakanlah kreatifitasnya yang dikembangkannya setiap hari.
Bagaimanapun juga, manusia bertanggung jawab karena kemampuannya. Ia bertanggung jawab untuk menciptakan perubahan yang diinginkan yang membuatnya berkembang dan tidak merosot. Hal ini berarti bahwa semua perubahan yang telah dibuat oleh manusia di dunia ini tidak selalu diinginkan dan dapat diterima.
Dengan mengambil pendahuluan ini sebagai sebuah pertimbangan, Muthahhari mengatakan bahwa Islam sebagai sebagai agama yang kekal mempunyai prinsip-prinsip yang tetap dan hal-hal yang dapat berubah. Islam mempunyai dua jenis unsur: unsur yang stabil (tetap) yang diperlakukan sebagai fundasi dasar Islam yang tak berubah untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tetap, dan unsur-unsur yang dapat berubah, yang tak memiliki bentuk spesifik, seiring dengan dengan perubahan kondisi ruang dan waktu yang dihadapi manusia. Oleh karena itu, jika setiap perubahan terjadi pada jenis unsur kedua, itu tidak berarti sebuah pelanggaran dan pembatalan atau penghapusan keabadian Islam.
Muthahhari percaya bahwa penalaran dan intelek memainkan peran yang sangat penting dalam mengenali prinsip-prinsip agama yang kokoh, sebagaimana adaptasi mereka terhadap kasus-kasus yang dapat berubah, dan ijtihad dapat memperkenalkan agama yang abadi sebagai pedoman bagi zaman moderen melalui pemanfaatan sumber-sumber tersebut.
Dia menekankan peraturan tersebut, bahwa “apapun yang ditetapkan oleh akal adalah juga ditetapkan oleh syariah” sehingga Islam mempertimbangkan bahwa spirit (semangat) dan konteks dari sebuah urusan adalah lebih penting daripada bentuknya dan kemunculannya, maka itulah mengapa Islam tidaklah bertentangan dengan fenomena moderen. Sebagai contoh, dalam ayat al Qur’an berikut: “Bersiaplah untuk menghadapi mereka (yaitu dalam peperangan dengan musuh) semampu kalian…” Prinsip kesiapan mati syahid untuk mempertahankan diri, membela bangsa, dan agama melawan musuh adalah begitu dipentingkan. Ini adalah prinsip Islam yang mapan dan tetap/kokoh (stabil), berdasarkan pasda kebutuhan yang tetap bagi manusia. Namun peralatan dan instrumen untuk pertahanan, adalah tergantung pada zamanmnya, dan kita tidak perlu hanya bertahan pada penggunaan kuda dan panah, sebab itu hanyalah kasus yang terjadi pada zaman awal Islam.
Contoh lain: suatu waktu hak-hak individual bertentangan dengan hak-hak masyarakat, di mana munglkin keduanya tidak dapat terpenuhi. Walaupun menurut Islam kedua hak-hak tersebut adalah sama-sama dihargai dalam situasi normal, dalam kasus pertentangan, hanya salah satu yang lebih pentinglah yang dapat dipenuhi (dan sewajarnya hak-hak masyarakat lebih didahulukan dibanding hak-hak individual).
Satu contoh ketiga: ketika seseorang memprotes Imam Ali, mengapa ia tidak mewarnai janggutnya sementara Nabi SAAW telah memerintahkan Muslim untuk melakukannya, dia menjawab, bahwa pada zaman Nabi masih hidup, kaum Muslim hanyalah segelintir saja dan jika musuh melihat orang-orang tua dalam pasukan tentara Islam, mereka akan mengira pasukan Islam lemah. Maka Nabi yang suci memerintahkan orang-orang tua untuk mewarnai (menghitamkan) janggut dan rambutnya untuk menghindari hal itu. Di sini, prinsip-prinsip Islam yang tetapnya (stable & fixed) adalah bahwa kaum Muslim tidak boleh berperilaku dengan suatu cara yang akan membuat moral musuh menjadi bertambah tinggi. Dengan begitu mereka melakukan pengecatan (pewarnaan) rambut dan janggut itu tergantung pada situasi dan kondisinya.
Dari apa-apa yang telah dikatakan kita dapat mengetahui kritisisme Muthahhari terhadap sudut pandang (perspektif) kedua, yaitu bahwa barang siapa yang berusaha membuat perubahan dalam Islam adalah terkait dengan keperluan zaman. Namun hal itu membutuhkan penjelasan lanjut. Orang-orang yang mengikuti prinsip yang mengatakan bahwa setiap perubahan dalam nilai-nilai kemanusiaan, kepercayaan, dan budaya yang secara umum diterima oleh semua atau banyak orang harus diterima oleh individu-individu dan mereka harus mengubah prinsip agama mereka berdasarkan perubahan tersebut. Kami mengetahui bahwa budaya, nilai-nilai, moral individual dan sosial, dan kepercayaan dunia moderen dan postmoderen ada dalam kontradiksi dengan perintah ajaran Islam dalam banyak kasus. Menurut perspektif ini, Islam harus diselaraskan dengan prinsip-prinsip baru tersebut.
Dalam pandangan (pendapat) Muthahhari, perspektif ini adalah mutlak salah (ditolak), karena ia telah gagal memahami sepenuhnya prinsip-prinsip Islam yang tetap, dan juga telah menerima bahwa semua kepercayaan dan nilai-nilai moderen adalah dibenarkan dan harus diikuti oleh individu maupun masyarakat, sementara banyak kepercayaan dan nilai-nilai tersebut adalah bertentangan dengan perkembangan spiritual manusia sebagaimana ajaran para Nabi dan Rasul Tuhan.
Untuk mengadaptasi nilai-nilai dan kepercayaan moderen kita harus memiliki kriteria rasional yang terpercaya, sementara kecenderungan tersebut biasanya miskin logika, dan lemah metodology rasional untuk adaptasi tersebut.
Muthahhari ada dalam konflik serius dengan perspektif ini. Metodology ini mengasumsikan tiadanya prinsip yang tetap dalam Islam, karena kriteria adaptasi dengan penalaran moderen yang berubah-ubah, tidak tetap dan akan segera digantikan dengan rasionalitas lainnya.
Nota: Dr. Seyyed Mohsen Miri merupakan mantan Rektor ICAS Jakarta. Makalah ini dibentangkan sewaktu Seminar Internasional Pemikiran Murtadha Muthahhari, Auditorium Adhiyana, Wisma Antara Lt. 2, Sabtu, 8 Mei 2004. Sumber ini diperoleh dari: http://icas.ac.id/icas/index.php?option=com_content&task=view&id=200&Itemid=1
No comments:
Post a Comment