www.flickr.com

Wednesday, October 27, 2010

Demokrasi Kita Masih Minimalis

PUBLIK Indonesia tengah didera aneka ragam persoalan politik dan ekonomi yang tiada henti sejak reformasi bergulir. Ada yang ingin menyerah, tetapi ada juga yang terus mengatakan bahwa fenomena akhir-akhir ini adalah proses pendewasaan. Ada yang menyebutnya sebagai dinamika demokrasi.


Mengulang-ulang persoalan demokrasi di negeri ini bukan suatu hal yang basi. Demikian pendapat Dr. F. Budi Hardiman, pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Menurut dia, perbincangan tentang demokrasi di Indonesia adalah suatu proses pengkritisan terus-menerus. Bagaimana sebenarnya persoalan demokrasi dan masyarakat kita, berikut ini petikan wawancara Kampus bersama Dr. F. Budi Hardiman. Wawancara dilakukan di Jakarta, Senin (22/3).

Dr. F. Budi Hardiman adalah alumnus STF Driyarkara (1988), meraih gelar magister artium (1997) dan doktor der philosophie (2001) dari Hochschule fuer Philo-sophie Muenchen Jerman. Menulis sepuluh buku filsafat antara lain Demokrasi Deliberatif, Filsafat Fragmentaris, dan Memahami Negativitas. Sekarang mengajar di STF Driyarkara dan Universitas Pelita Harapan.

Bagaimana pendapat Anda tentang kelompok intelektual di Indonesia terutama pasca-1998?

Jika saya merefleksikan diri saya dan kawan-kawan lain di era sebelum reformasi atau 1998, jika itu adalah batas waktunya, memang ada perbedaan. Kita tahu bersama bahwa momentum 1998 adalah momentum tentang wacana kebebasan. Kebebasan berpendapat, politik, dan ekonomi. Sebelum 1998, kita tahu pula bahwa ada rezim yang menekan wacana kebebasan itu. Para intelektual sebelum 1998 bisa dikatakan sebagai kelompok yang bisa beradaptasi dalam ruang tekanan itu dengan senantiasa terus memberikan perlawanan. Mereka kuat melawan rezim.

Setelah reformasi, kelompok yang bisa melakukan hal itu bukan saja kelompok intelektual. Akan tetapi, semua orang bisa memikirkan urusan negara sebagai tanggung jawab bersama. Ada partisipasi politik yang dimungkinkan karena ruang kebebasan itu diberikan. Saat ini semua orang setuju dengan demokrasi.

Namun, saat ini, menurut saya, persoalan yang dihadapi kelompok intelektual bukan saja tentang negara. Wacana tentang rezim penguasa itu bukan hanya datang dari otoritas negara. Akan tetapi, sudah melebar ke dalam fundamentalisme dan kekuatan-kekuatan dari daerah (etnosentrisme). Di sinilah tugas intelektual pasca-1998 untuk merespons hal itu.

Setelah 1998 kaum aktivis, akademis, dan politikus memperdebatkan tentang wacana kelompok intelektual yang masuk ke sistem politik. Bagaimana tanggapan Anda?

Pertama, seperti menjadi uraian tentang tantangan ke depan kelompok intelektual tadi, saya kira hal ini juga termasuk yang harus dibicarakan. Perdebatan masuk atau tidak ke sistem politik atau menjadi bagian dalam lingkaran kekuasaan harus terus diperdebatkan. Hal ini agar tetap ada kritisasi terhadap fenomena-fenomena itu.

Menurut saya, ketika seorang intelektual masuk ke lingkaran sistem mereka harus punya keberpihakan. Tidak bisa netral. Sementara mereka yang ada di luar senantiasa tidak pasif, melainkan terus aktif untuk memberikan kritik-kritik terhadap proses yang terjadi di luar dan di dalam sistem. Mereka yang di luar bisa menolong mereka yang ada di dalam.

Menurut Anda, bagaimana kualitas mereka yang masuk lingkaran kekuasaan saat ini?

Sulit mengukurnya. Akan tetapi, saya berikan gambaran tentang bagaimana situasi yang ada saat ini bukan saja milik kelompok intelektual yang berasal dari aktivis atau akademisi. Melainkan, mereka yang masuk sistem ada kelompok ulama dan artis. Dalam dua kali pemilu yang berlangsung dalam sistem demokrasi yang dianggap adil, mereka yang masuk ke sistem merupakan hasil dari bagaimana terminologi pasar masuk ke ranah politik.

Satu hal yang bisa kita lihat di sini adalah ketika dalam dua kali pemilu kita melihat praktik masyarakat kita sebagai "masyarakat performance". Hal ini terbantu di antaranya lewat perantaraan media massa. Contoh kasusnya adalah saat pemilu. Mereka yang ingin masuk lingkaran politik beramai-ramai ingin menjadikan dirinya terkenal lewat proses yang singkat. "Masyarakat performance" adalah masyarakat artifisial yang memuja kedangkalan.

Apakah ini menunjukkan kualitas dari demokrasi kita?

Kalau kita mau melihat kualitas itu bisa dari sisi yang paling minimal dan maksimal. Sisi yang paling minimal adalah bahwa benar telah terjadi praktik pemilu yang adil secara prosedural. Tanpa ada kekerasan. Artinya, praktik prosedur demokrasi telah terjadi.

Pada sisi maksimal, demokrasi harus kita lihat sebagai ruang di mana warga negara punya andil dalam pengelolaan negara. Istilahnya masyarakat mendeliberasi persoalan-persoalan dalam dua rentang pemilu. Ini bisa kita lihat misalnya saat masyarakat aktif melalukan ak-si-reaksi terhadap RUU Antipornografi dan Pornoaksi, RUU Kerahasiaan Negara, peristiwa KPK versus Polri dan peristiwa Bank Century. Memang tidak spektakuler, tetapi peristiwa deliberasi itu memang terjadi. Kalau proses itu terus berjalan, akan ada tradisi dan pola baru dalam kehidupan dunia orang Indonesia. Deliberatif yang berasal dari kata deliberation atau deliberatio dalam bahasa Latin adalah musyawarah, ompong-omong, berunding, memberikan nasihat satu sama yang lain, berbincang-bincang, dan menimbang-nimbang.

Omong-omong dan bincang-bincang dalam teori ini bukan perbincangan biasa. Ada yang tidak biasa dalam demokrasi deliberatif, yaitu bentuk komunikasi macam apa yang dituntut secara perfeksionis dari teori demokrasi deliberatif. Sehingga, para aktivis yang bergerak untuk membangun forum warga misalnya juga bisa melihat bahwa proses komunikasi ada prosedurnya, pola, tatanan, dan pencapaian yang hams bisa diikuti prosesnya. Dengan kata lain, apa yang mau disajikan dalam teori demokrasi deliberatif adalah suatu pandangan bagaimana mengaktifkan individu dalam masyarakat sebagai warga negara untuk berkomunikasi. Dengan demikian, komunikasi yang terjadi pada level warga itu memengaruhi pengambilan keputusan publik pada level sistem politik.

Apakah kaum intelektual kita sudah membangun pola deliberasi itu?

Memang untuk melakukan hal ini perlu inisiator. Mereka yang telah menjadi kelompok kepentingan seperti organisasi swadaya masyarakat atau kelompok aktivis memang bisa menjadi inisiator pola komunikasi itu terjadi. Akan tetapi, memang menurut saya, saya melihat saat ini masih dalam ruang bernama event organizer. Artinya, kelompok-kelompok itu menyediakan latar dan setting-nya. Artinya, kesadaran untuk melakukan suatu gerakan belum dari warga yang tertindas itu. Ini memang perlu inisiator-inisiator. Akan tetapi, peran inisiator itu harus ke taraf mendidik kemandirian warga. Jangan terus-terusan untuk bercokol dalam wilayah itu.

Bukankah ada kulturfatalis yang konon terjadi dalam budaya masyarakat kita?

Saya kira masalah budaya bukan persoalan alamiah yang tidak bisa diubah. Budaya adalah sistem perilaku sehingga untuk mengubahnya perlu pembaharuan dalam sistem secara holistik. Sebagai contoh perilaku ekonomi dalam masyarakat urban kita. Mereka tidak lagi memandang kemiskinan sebagai absolutisme yang lahir turun-temurun. Mereka bisa mengubahnya dan terus berjuang untuk itu.

Nah, bagaimana kalau bergeser pada kesadaran politik?

Artinya, masyarakat juga mulai memikirkan bahwa kekacauan atau ketidak-teraturan bisa diubah oleh mereka sendiri.

Bagaimana dengan media massa kita, apakah membantu masyarakat keluar dari budaya tadi?

Ada yang memberikan nilai negatif pada media massa. Itu tidak apa-apa, tetapi kita juga masih berharap bahwa media massa harus seperti definisinya sebagai suara propublik. Pemihakan media massa malah akan menjadi bumerang yang kontraproduktif. Masyarakat akan menghukum mereka. Di sinilah kontrol atas media yang harusnya dilakukan oleh masyarakat. Jangan memberikan ruang ada intervensi otoritas di luar media. Saat ini saya kira media massa telah memberikan ruang untuk publik ikut memikirkan persoalan-persoalan di sekitar mereka. Saat ini saya lihat sopir taksi, pedagang, dan pembantu bisa menyaksikan kasus Century. Saya kira dalam jangka panjang media akan mengubah organisasi perilaku.

Kesimpulan Anda terhadap demokrasi kita?

Masih pada taraf yang minimal. Masih soal prosedur demokrasi. Saya tidak pesimistik, tetapi ada tantangan besar di hadapan kita saat ini. Terutama saat demokrasi visauis dengan globalisasi pasar. Etos demokrasi harus dimunculkan dengan adanya partisipasi yang kuat dari bawah. [25 Mac 2010, http://bataviase.co.id/node/144703]

No comments: