www.flickr.com

Wednesday, October 27, 2010

Menuju Kota Tak Berkita, Sketsa tentang Jakarta

Oleh F Budi Hardiman


Jakarta sebagai kota tak berkita bertentangan dengan kodrat sosial manusia. Jika tidak dibantu dengan kebijakan-kebijakan sosial dan spasial yang memberdayakan warga, metropolis ini akan terus menyongsong perlawanan terhadap kodrat sosial itu.

Jakarta pada titik nyerinya yang menggelisahkan butuh komunitas pemberdayaan yang mengubah ruang-ruang geometris di dalamnya menjadi home, tempat akar-akar kewargakotaan bertumbuh.

Jika meninjau kembali ke belakang, ke masa silam yang jauh, kita akan menemukan bahwa tumbuh dan hancurnya peradaban tidak lain daripada tumbuh dan hancurnya kota. Karena itu, sudah sejak masa silam, kebijakan pembangunan kota adalah sebuah pertaruhan bagi vitalitas ataupun mortalitas peradaban.

Kota-kota yang dikelola dengan tata ruang yang baik dan didukung para warganya tak sekadar bertahan hidup, mereka berkembang. Kota-kota yang dikelola dengan kebijakan-kebijakan yang salah akan ditinggalkan para pemukimnya yang bermutu; kota-kota ini mati ditelan waktu.

Tilikan ini kita dengar. Kita tak ingin menerimanya sebagai takdir modernitas kita. Namun, kita tak terlepas darinya justru karena tilikan sejarah itu benar dalam modernitas kita, dan terutama benar untuk kota kita, Jakarta. Dalam metropolis ini, kehidupan dan kematian peradaban sedang dipertaruhkan.

Manusia sebagai makhluk yang meng-kota

Sebuah kota adalah lebih daripada sekadar obyek arsitektur. Lebih daripada gedung-gedung, jalan-jalan, dan kanal-kanal, kota adalah sebuah arena sivilisasi. Salah satu alasan mengapa kota terbentuk adalah keputusan manusia untuk mengakhiri kehidupan nomadennya.

Manusia tidak sekadar tinggal di dalam sebuah kota seolah- olah ia menghadapi kotanya sebagai suatu wadah hampa yang menunggu isi. Ia memukimi kota sebagai suatu cara memaknai hidupnya. Dalam arti ini, manusia tidak sekadar tinggal di dalam kota; ia juga meng(k)ota.

Oleh karena itu, orang kota berbeda dari orang desa bukan hanya karena yang satu tinggal di kota sedangkan yang lain tinggal di desa. Lebih daripada menempati ruang desa atau kota, mereka hidup bersama orang-orang lain sebagai warga. Dan kewargaan itu sendirilah ruang yang membentuk sikap, karakter, dan gaya hidup yang membedakan orang kota dari orang desa.

Manusia meng(k)ota dengan membangun komunitas. Dalam arti ini, kota adalah sebuah realitas sosial par excellence. Kota mewadahi kehidupan bersama manusia sehingga mereka dapat menyebut diri sebagai suatu “kita”. Karena itu, memukimi kota dan menjadi warga, meng(k)ota dan meng(k)ita adalah satu dan sama. Kita harus mengubah pemahaman yang sempit tentang peradaban.

Peradaban bukanlah sekadar pencapaian-pencapaian teknis-material suatu kelompok manusia untuk menaklukkan alam, sebagaimana tampak dalam industri, teknologi, dan ekonomi kapitalistis.

Lebih dari itu, peradaban adalah pencapaian-pencapaian sosial-moral suatu kelompok manusia untuk mengorganisasi diri mereka sebagai warga demi hidup yang baik. Dalam kenyataan, sehat sakitnya atau bahkan mati bangkitnya sebuah kota lebih banyak ditentukan oleh tumbuh sirnanya semangat kebersamaan yang menopang denyut kota itu sebagai ruang koeksistensi.

Kota yang sakit

Marilah mencermati ruang koeksistensi kita, Jakarta. Dalam waktu hanya beberapa dasawarsa, Jakarta telah berkembang baik dalam ukuran fisik dan kuantitas populasi menjadi sebuah metropolis. Kita cenderung mengatakan dengan konsep organistis bahwa Jakarta tumbuh.

Namun, benarkah ia tumbuh, jika konsep “tumbuh” erat kaitannya dengan konsep “hidup” yang mengandaikan organisasi-diri vital dan integral berbagai sistem di dalamnya? Ataukah, lebih tepat dikatakan bahwa Jakarta mengalami hipertrofi atau pembengkakan? Dan itu berarti bahwa kota ini sakit karena ia mengalami pembengkakan, seperti sebuah tubuh yang bengkak karena benturan yang keras telah mengubahnya ke dalam ukuran yang tak sewajarnya.

Sebuah kota berkembang sehat jika ruang fisiknya tumbuh bersamaan dengan ruang sosialnya. Jika everyone is an island, seperti digagas Peter Sloterdijk, tentu tak ada kota yang adalah sosialitas.

Untuk meng(k)ota, sekurangnya terbentuk jaringan “pulau- pulau” yang berinterpenetrasi dalam suatu struktur yang disebut kewargakotaan. Dalam arti ini, no man is an island tetap sahih. Karena itu, untuk menjadi beradab tak hanya membutuhkan industri, bank, kantor, mal, dan seterusnya, melainkan juga organisasi, sosialisasi, disiplinisasi, dan kulturisasi untuk mengurangi derajat kekejian, keterasingan, dan ketamakan populasi kota.

Kita semua sedang dibuat gelisah dengan kenyataan Jakarta. Ruang fisik kota ini tumbuh nyaris tanpa kendali diseret oleh kekuatan-kekuatan pasar dan modal, sementara ruang sosialnya tak mendapat peluang tumbuh.

Pandanglah bagaimana pusat-pusat komersial, seperti mal, ITC, hipermarket, dan junction, bermunculan, kadang dengan menggusur permukiman-permukiman. Sementara pusat-pusat sejarah dan budaya, seperti museum, perpustakaan, galeri, gedung teater, dan wilayah kota lama dibiarkan mati telantar seperti juga matinya ruang-ruang publik tempat warga berbincang.

Dahaga untuk mencaplok atau “ekonomi predator” ini dibiarkan mengikis habis memori dan perasaan-perasaan halus para pemukimnya yang dalam peradaban-peradaban tinggi dipelihara lewat pusat-pusat sejarah dan budaya. Dari ketimpangan yang menusuk mata ini kita tahu bahwa Jakarta meminati modal dan membela kepentingan para pemiliknya, bukan manusia konkret, apalagi yang dimarginalisasi oleh pasar.

Simaklah bagaimana perasaan menjadi manusia di kota yang bengkak ini: di tengah-tengah hutan beton pencakar langit di pusatnya dan deru banjir harian kaleng-kaleng di jalan-jalannya, manusia bisa berubah menjadi nonsense, karena “kita warga” tidak pernah berdaulat melampaui “aku pemburu rupiah”. Pada gilirannya sang “aku” itu pun menjadi menggelembung sebesar rupiahnya sampai meletup menjadi nonsense bersama raibnya nilai kertas itu oleh inflasi.

Logika modal dan pertarungan kuasa telah menjadikan para pemukim kota ini “gerilyawan-gerilyawan moneter”. Dalam belantara bisnis dengan aturan harian “entah memangsa entah dimangsa” itu, para pecundang bertanya lirih penuh kecemasan “makan apa besok?”, sementara para pemenang dengan penuh gairah mengelus dompetnya sambil bertanya “makan siapa lagi besok?”

Gairah predator seperti ini patologis, tetapi tak seorang pun mau menyadarinya karena sudah merupakan bagian banalitas kota.

Isyarat kematian sosial

Di antara mereka yang kalah itu terpuruk dalam kemiskinan. Di kota ini kaum miskin dilihat sebagai sumber masalah, karena kemiskinan—oleh mereka yang menang dalam pertarungan bisnis itu—disejajarkan dengan kekumuhan atau bahkan kurangnya keadaban.

Para pengemis, anak jalanan, pedagang asongan, pemilik lapak kaki lima, pemulung, dan seterusnya, adalah coretan yang dianggap tak sedap dipandang dalam lukisan surealistis Jakarta yang tak pernah selesai. Mulai dari banjir tahunan sampai kemacetan jalan yang mendera kota ini dengan berbagai masalah psikologis, sosial, dan finansial para pemukimnya, kaum miskin ini diposisikan sebagai kambing hitam segala persoalan kota.

Juga dalam era reformasi yang mau menjunjung hak-hak asasi manusia dan demokrasi ini, permukiman tempat koeksistensi mereka digusur atau dibakar; mereka sendiri diabaikan dan diusir dari tempat mereka berakar dan berbagi sebagai komunitas selama puluhan tahun.

Semua dilakukan agar Jakarta tampak bersih dan beradab. Namun, semua itu juga paradoksal: kehendak untuk memberadabkan kota dipraktikkan dengan cara-cara kurang beradab. Kaum miskin tidak dianggap memberi andil bagi pengembangan kota, maka yang tidak berguna ini harus disingkirkan.

Jika konsep pemberadaban tidak digantungkan melulu pada pertumbuhan material-ekonomis, melainkan juga pada pertumbuhan solidaritas semangat kewargaan di dalamnya, alasan untuk gelisah terhadap Jakarta semakin bertambah sebab persis dari sisi sosial ini Jakarta mengalami keterbelakangan yang serius.

Apa yang dikatakan Hannah Arendt tentang “pencerabutan” berlangsung di kota ini. Manusia yang adalah makhluk sosial dicerabut dari komunitasnya, dan dalam penggusuran proses pencerabutan ini dipentaskan secara vulgar.

Namun, proses yang mencabik-cabik semangat kewargaan itu hanyalah bagian dari isyarat yang lebih luas dan serius tentang kematian sosial kota ini, sebagaimana sudah dipertunjukkan dalam tata ruangnya yang mengimpit semua yang tidak komersial.

Diam-diam sesuatu semacam Darwinisme ekonomi sudah lama bercokol dalam kebijakan kota yang membiarkan kuasa bisnis menyeret bidang-bidang lain ke moncongnya.

Isyarat kematian individu

Sesungguhnya tata ruang kota yang sehat menyediakan tempat-tempat untuk menemukan akar kebersamaan kembali, misalnya taman-taman kota, alun-alun, kawasan pedestrian, dan balai-balai pertemuan. Di sana juga individu diteguhkan dan menemukan akarnya.

Namun, jika semua ini tidak memuaskan “ekonomi predator” para pemodal, mereka juga tidak mempunyai alasan mengadakan atau memeliharanya. Kegagalan dalam melihat hubungan antara ruang arsitektur dan ruang sosial telah menyebabkan penduduk metropolis ini tidak pernah sungguh-sungguh merasakan diri mereka sebagai warga.

Kebanyakan mereka merasa “kebetulan” berada di kota ini, maka sedapat mungkin mengeruk untung dari kota ini. Akan tetapi, dia yang “kebetulan” berada di suatu kota tidak pernah meng(k)ota dan meng(k)ita, karena sekalipun secara fisik berada di dalam kota itu, secara sosial ia tetap di luarnya. Kita boleh menyebut orang seperti ini yang memenuhi lanskap Jakarta nomad-mental.

Seorang nomad mental mungkin memiliki rumah fisik, tetapi keempat dinding itu tak membuatnya merasa bermukim, karena secara mental ia selalu pergi. Hampir separuh hidupnya habis di jalan yang macet. Ia merasa bergerak dengan kendaraannya, tetapi hidupnya dirasa berhenti.

Setelah berjam-jam berjuang penuh siksaan di kemacetan lalu lintas dan bergerilya memenangkan rupiah dan diri mereka sendiri, nomad mental itu pulang. Namun, ia tidak pernah sungguh-sungguh merasa pulang karena kepulangan mengandaikan ruang sosial untuk menemukan akar, dan ruang sosial ini mungkin juga hancur di dalam lingkungan ketetanggaannya atau bahkan di dalam keluarganya sendiri.

Begitu sulit saling berjumpa dan berbicara menyandarkan diri pada suatu kekitaan, maka dalam kepulangannya, dia tetap pergi. Baru sekejap yang lalu raib dalam kelelapan menuju esok, dia harus bangun untuk pergi lagi. Dan daur ini berulang, seperti untuk keabadian.

Adakalanya para nomad mental itu seolah merasakan kekitaan, misalnya saat mereka bersama-sama mudik Lebaran, bersama-sama menjadi korban banjir atau kerusuhan, bersama- sama membanjiri mal-mal untuk meraup barang, bersama- sama berebut beras atau BBM, bersama-sama sebagai komuter di jalan-jalan menuju kantor atau bersama-sama berteriak untuk memenangkan agamanya, partainya, atau sukunya.

Akan tetapi, semua itu bukan kita-warga yang terbangun dari solidaritas dan kepercayaan timbal balik, melainkan kita-kerumunan yang muncul kebetulan dari sejumlah kepentingan diri dan lenyap oleh kepentingan diri pula.

Karakter kebersamaan secara kebetulan sebagai kerumunan yang tidak berakar dalam semangat kewargaan itu boleh disebut individualisme tanpa individu. Dalam individualisme, kebebasan individu dihormati sebagai nilai bersama, karena individu dalam pengejaran kepentingannya memberi kontribusi kepada keseluruhan.

Akan tetapi, dalam individualisme tanpa individu, individu mengejar kepentingan dirinya tanpa hormat akan kebebasan orang lain dan tanpa kontribusi pada keseluruhan sehingga kebebasan individu tak pernah menjadi nilai bersama.

Rasa tanggung jawab pribadi yang mencirikan individualitas individu sirna, maka dalam individualismenya, individu menjadi hampa, dan kebebasan yang dicarinya justru menjadi begitu sulit untuk diraihnya. Dalam arti ini, isyarat kematian sosial adalah juga isyarat kematian individu.

Kita semua tahu bahwa harga yang harus dibayar terlalu mahal jika konsep pemberadaban direduksi pada pencapaian teknis-material belaka. Kewargaan yang remuk oleh impitan pasar menjadi anasir-anasir kolektif yang tercerabut dan kehilangan rasa amannya satu sama lain.

Seandainya tinggal di Jakarta, barangkali filsuf Jerman akhir abad ke-19, Friedrich Nietzsche, harus bercerita dengan cara lain ketika dia menaruh nubuat tentang kematian Allah itu di mulut orang gila itu. Orang gila yang turun ke tengah-tengah pasar itu seharusnya berseru di tengah-tengah Jakarta: “Di manakah sang ’kita’? Sang ’kita’ telah mati. Kita sudah membunuhnya”.

Semoga visi horor di atas tidak realistis. Kita tak ingin memercayai eksistensi sebuah kota tak berkita karena bertentangan dengan kodrat sosial manusia.

Namun, bila tidak dibantu lewat kebijakan-kebijakan sosial dan spasial yang memberdayakan warga, metropolis ini akan terus menyongsong perlawanan terhadap kodrat sosial itu. Pada titik nyerinya yang menggelisahkan ini, Jakarta membutuhkan komunitas pemberdayaan yang mengubah ruang-ruang geometris di dalamnya menjadi home, tempat tumbuhnya akar-akar kewargakotaan. [Kompas, 2007]

F Budi Hardiman Pengajar di STF Driyarkara dan Universitas Pelita Harapan

No comments: