www.flickr.com

Monday, September 1, 2008

Sentiasa Bertemu Tuhan

Ramadhan, ternyata, hadhir jua.

Tanggal setahun dulu, kita tidak pasti, apakah bulan Ramadhan yang berlalu itu akan menyapa kita semula. Rutin berpisah dengan bulan Ramadhan lekas menggiring harapan, mengumpul kerinduan, yang mudah-mudahan kita bakal diberi peluang untuk dijamu Tuhan lagi—biarpun kita sedar, kehidupan dan kematian bukanlah ditentukan sepenuhnya oleh kudrat kita.

Kali ini, bulan yang penuh “rahmah, berkah dan marfirah” ini kembali lagi.

Setiap kali bulan syahadah Imam Ali Abi Thalib ini membuka tirai, maka bayangan kehidupan dan kematian mulai memintas. Silih bukan saja kehidupan dan kematian jasad, tapi lebih lebih besar lagi ialah kehidupan dan kematian ruh. Meskipun para suluk memulakan hitungan tahunannya bermula bulan Ramadhan, tapi hakikatnya bulan Ramadhan juga yang menandakan tamatnya hitungan tersebut, dan mulanya perkiraan baru. Bulan Ramadhan ibarat musim gugur buat para penanam gandum, sekaligus sukatan awal bagi tuaiannya di musim panas nanti.

Ramadhan bulan kemerdekaan. Bulan kemanusiaan. Bulan di mana Nabi pernah bersabda dalam khutbah Jumaat terakhirnya pada bulan Syaaban, “wahai sekalian manusia, sesungguhnya jiwa kalian tergadai menurut amal kalian….” Dari untaian itu, kita saksikan bagaimana Nabi memulakan ungkapan “sekalian manusia,” tidak “sekalian muslim.” Ternyata, bulan Ramadhan/ibadah puasa bukanlah milik muslim semata, tapi ia adalah milik manusia dan kemanusiaan seluruhnya.

Manusia dan kemanusiaan adalah titik kesetaraan yang paling muafakat sekali. Tiada debat panjang tentangnya. Jiwa manusiawi ini tepat dirasakan dalam setiap kali kunjungan bulan Ramadhan yang penuh ramah itu. Kita boleh semak saja pertanyaan klasik Hisham bin Hakam kepada gurunya, Imam Jaafar as-Shadiq menjelang bulan Ramadhan, “kenapakah puasa menjadi wajib kepada manusia.” Tidakkah jelas sekali lagi, perkataan “manusia” diulang, dan ditanya pada leluhur kelima Nabi ini?

Lalu, Imam Jaafar as-Shadiq membalas, “Allah mewajibkan puasa agar orang yang kaya dan orang yang miskin boleh sejajar, kerana orang yang kaya tidak merasakan lapar…. kerana orang kaya ketika menginginkan sesuatu akan mendapatkannya. Maka Allah swt menginginkan untuk menyamakan di antara ciptaan-ciptaan-Nya dan maka orang kaya dapat merasakan lapar dan sakit agar ia turut menasihi orang yang lemah dan lapar.”

Kata Javad Amuli dalam Asrar al-Ibadah, inilah mihrab puasa yang pertama: sebuah jawapan keprihatinan sosiologi kelas dari Imam Jaafar as-Shadiq, jauh sebelum Karl Marx membahagikan kelas borjuasi dengan proletar dalam Das Kapital-nya. Sememangnya kelas kekenyangan dan kelas kelaparan tidak mengenal batas agama, sebaleknya merentasi segala-galanya! Inilah rahsia tuntutan zahir puasa: buat mendorong rasa kepekaan sosial di kalangan khalayak.

Tampak, betapa manusiawinya amalan puasa ini dalam takrif sebegini. Kemanusiaan seperti ini yang bukan datang dari manusia—tapi dari Tuhan untuk makhluk-Nya, dan Tuhanlah yang memberikan “ganjarannya” (yang bukannya diungkapkan Tuhan sebagai pahala). Bahkan, inilah juga amalan unggul yang merakamkan sebuah peristiwa yang mengugah lantai arsy "…dan mereka memberikan makanan kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan." Amalan mulia inilah yang turut mengangkat keruhanian Fidhah—pelayan luhur keluarga ‘rumah kecil’—atas paparan keikhlasannya yang menembus jarak bumi dan langit!

Barangkali inilah rahsia batin puasa pula: keikhlasan yang terkamir dari keyakinan! Fidhah, seperti kita juga, adalah manusia umum. Keikhlasan dan keyakinan kita kepada Tuhan, kepada agama, kepada rasa kemanusiaan, barangkali bermuara sama seperti Fidhah. Tiada beza ketara, melainkan perbezaan zaman. Kelihatannya, keyakinan adalah sebentuk unsur yang dinamik, tidak seperti keyakinan mutlak cerminan sosok yang menuturkan, “…seandainya tabir yang menutupiku disingkap, keyakinanku tetap tidak akan bertambah.” Kita tidaklah setangguh itu.

Memang, zahir dan batin, adalah tautan yang berkembar. Dalam mana-mana kesempurnaan ibadah pun, sisi “mengufuk” dan “menegak” ini harus selari dan terwakil dalam ranah masing-masing. Inilah puncaknya kesempurnaan ibadah—yang antaranya diajar menerusi bulan Ramadhan: menentang kekenyangan dan memasak keyakinan. Sebuah puncak yang teransang dari pesanan Imam Jaafar as-Shadiq sendiri “jika kalian ingin du’a kalian diterima, maka putuskanlah harapan selain kepada Allah, putuskan hati kalian untuk tidak bersandar kepada kekuatan manapun.”

Sudah lumrah manusia, untuk sentiasa belajar, untuk sentiasa tega meneroka, dan kemudian meralat kesilapan-kesilapannya. Lalu, akhirnya manusia berdu’a memohon pembaikan. Kini, saat terbaik tersebut hadhir lagi. Maka, berdu’alah di bulan Ramadhan ini. Kita berdu’a agar bulan Ramadhan kali ini akan dimakbulkan “sebagai sebagai bulan pertama untuk kita menanam keprihatinan sosial, sebagai bulan pertama untuk kita mengukuhkan keyakinan, dan sebagai bulan pertama untuk kita melepaskan kerinduan pada sebuah keabadian.”

Inilah kiriman harapan yang terhablur dalam sanubari kita—biarpun seringkali di saat kita ‘melarikan diri’ dari Tuhan, akhirnya kita tetap bersemuka juga dengan Cinta-Nya, malah di perjamuan-Nya pula!

No comments: