www.flickr.com

Sunday, February 14, 2010

Hobbes dan Leviathan-nya.

Kali ini, kita berbicara tentang Thomas Hobbes dan Negara Leviathan-nya.

Hobbes, dan pemikirannya, harus diakui begitu berkaca sekali pada filsafat politik. Memang, maseh ada kontroversi, apakah mereka yang mengubah politik menjadi filsafat (politik moden), itu sama ada Machiavelli, atau itu Hobbes. Tapi, kontroversi ini bukanlah mauduk perbicaraan di sini. Lantaran itu, kita hanya mengariskan pembicaraan tentang Hobbes dalam ruang-lingkup filsafat manusia-nya, filsafat-politiknya, dan gagasan negara-nya, yang semua ini pada tangannya saling bersentuhan. Lahir 1588, dan meninggal 1679, itulah dua tanggal penting dalam kehidupan Hobbes. Dalam jarak hidupnya itu, Hobbes menghasilkan sebuah buku revolusioner dalam filsafat politik, Leviathan judulnya. Buku inilah yang akan kita telusuri, selain tidak menafikan bahawa buku-bukunya yang lain turut penting. Malah, untuk memahami-mendalam sosok seperti Hobbes, wajar saja didahului dengan beberapa buku filsafat politik lain. Namun, tidak mengapa, kita teruskan saja pada Leviathan ini, yang merangkumi 729 halaman, dan terbit pada tahun 1644 (terbitan Penguin, London).

Jadi, apa sebenarnya Leviathan-nya Hobbes ini? Untuk merungkai pertanyaan metafora ini, maka kita akan membahagi wacana ini pada tiga bahagian; yang pertama, siapakah Hobbes?; yang kedua, apakah kaedah dan sistem filsafat Hobbes?; dan, yang ketiga, apakah inti dari filsafat politik Hobbes—terutamanya yang terdapat dalam buku Leviathan-nya itu?

Siapa Hobbes?

Hobbes lahir dalam sebuah perdesaan England utara, dalam keluarga gereja. Nama tempat itu adalah Malmesbury, Wiltshire. Ayahnya adalah seorang petugas gereja yang saleh, tapi pernah diingati sebagai orang yang mengantuk-ngantuk ketika bertugas pada setiap pagi Ahad di gereja. Malangnya, ayah Hobbes bukanlah dari latar-berada, dan terbelenggu dengan kemiskinan.

Mujur, ada bapa saudaranya, iaitu Francis Hobbes. Memandangkan bapa saudaranya ini seorang yang kaya, kelas menengah, maka dapatlah membiayai pendidikan Hobbes. Pada waktu itu, Hobbes belajar disebuah sekolah parakial di Wesport. Pada umur 10 tahun, Hobbes sudah menekuni bahasa Yunani dan Latin. Kemudian, pada umur 14 tahun, telah faseh berbahasa dalam dua tersebut. Bahkan, pada umur 14 tahun inilah juga, Hobbes pergi ke selatan, iaitu London, dan memukimi Oxford selama 5 tahun. Dan, tentu saja waktu itu belum ada lagi peng-ikhtisas-an bidang pendidikan. Sebaleknya, ada sebuah jurusan, yang menawarkan kajian kesustaeraan klasik. Hobbes mengambil jurusan tersebut. Dengan penguasaan bahasanya, Hobbes sudah mula membaca karya-karya klasik dalam bahasa Yunani dan Latin. Di samping itu, Hobbes turut menjadi tutor bagi anak bangsawan. Biasanya, ketika itu, mereka yang menjadi tutor itu adalah para sarjana yang keluar dari universiti Oxford, termasuklah Hobbes sendiri.

Setelah itu, Hobbes telah dicadangkan untuk menjadi guru bagi anak seorang bangsawan, yang namanya Willian Cavendish. Memang, menjadi tutor itu bererti harus mengikuti ke mana saja majikannya pergi. Sama ada makan-malam, belajar, berburu, berwisata, dll. Ini kerana, konsep pendidikan buat bangsawan waktu tersebut, adalah terus-menerus. Dan, ekoran itu, Hobbes terpaksalah belajar adat-istiadat dalam segala urusan dan tata-etikanya dengan majikan tersebut.

Bertuahnya, tatkala berkhidmat sebagai tutor inilah, Hobbes peroleh berkesempatan bertemu dengan Francis Bacon, pemikir besar Inggeris yang mengatakan “knowledge is power” itu, serta individu yang menemukan kaedah induktif. Seperti bangsawan-bangsawan lain, Bacon pada waktu itu sentiasa memerlukan seorang pembantu, dan anehnya sulit sekali memperoleh pembantu yang memuaskan hatinya. Sebab, sering-kali Bacon tidak puas dengan mutu kerja pembantunya. Kali ini, Bacon cuba mengaji Hobbes pula, dan ternyata dirinya menemui kesesuaian dengan hasil perkerjaan Hobbes. Padanya, setiap yang ditulis Hobbes, begitu mudah difahaminya. Malah, tulisan Hobbes juga menyenangkan untuk dibaca dan ditelusuri: berseh, lancar dan kemas.

Namun, pada tahun 1608, Hobbes membuat keputusan untuk ke Eropah daratan dan mula bergaul dengan pemikir-pemikir Eropah daratan pada waktu itu. Kemudian, Hobbes kembali semua ke Inggeris, dan kian tampak mengarahkan minatnya pada filsafat, dan ini terlihat pada tahun 1629, Hobbes menyelesaikan terjemahan Thucydies ke dalam bahasa Latin. Sesudah itu, buat kali kedua, antara tahun 1634-1637, Hobbes sekali lagi ke Eropah daratan. Dalam perjalanan inilah, Hobbes mulai tertarik dengan matematik-geometri, tempias dari pengaruh besar Descartes dan Galileo. Pada waktu tersebut, pengetahuan matematik-geometri ini menjadi bahagian dari revolusi saintifik, dan mereka yang menguasai ibaratnya meraih sebuah pencapaian yang besar. Hatta, matematik-geometri pada waktu itu juga menjadi satu tata-cara sains yang sedang berkembang pesat. Dalam catatan pengalamannya ini, Hobbes bertemu dan berteman baik dengan Galileo. John Aubrey dalam Aubrey’s Brief Lives, juga teman Hobbes semenjak kecil, sempat mencatatkan kekaguman Hobbes pada Galileo:

“(Galileo) yang sangat dipujanya dan dikaguminya, bukan hanya kerana bicaranya yang faseh, tapi juga kerana etika dan penampilannya yang menawan.”

Lama di Eropah daratan, Hobbes pulang semula ke Inggeris, dan pada 1640 menyelesaikan karya pertamanya dalam filsafat politik, Elements of Law. Namun, karya ini tak pernah diterbitkan sampai tanggal tahun 1650. Pada tahun 1642, Hobbes melanjutkan buku De Cive (Perihal Warganegara), dan tahun 1651, menerbitkan monumental-nya, Leviathan. Setelah itu, disusuli pula dengan De Corpore, 1655 (Perihal Tubuh) dan berakhir dengan De Homme, 1658 (Perihal Manusia). Sebenarnya, ada kesah yang menarik dari buku monumental-nya itu, Leviathan-nya itu. Kesah bagaimana Hobbes sampai dapat menghasilkan Leviathan tersebut. Audrey sekali lagi memuatkan:

“Hobbes memusatkan fikirannya untuk menyelidik… dan banyak mundar-mandir sambil melakukan renungan… Bersamanya, dibawa sekali pena dan buku catatan di sakunya, dan seketika saja sebuah idea muncul, Hobbes akan mencatat dalam buku tersebut… Dari buku itu, Hobbes menyusun rancangan Leviathan dalam bab-bab… sehingga persis tahu ke mana idea yang muncul harus dimuatkan. Begitulah Leviathan ditulis.”

Tentang bacaan-bacaan Hobbes, Aubrey menyatakan bahawa di atas mejanya, selalu saja ada buku-buku kesusasteraan klasik, di samping terdapat juga kitab suci dalam bahasa Yunani. Dan, kerap-kali Hobbes membaca dan mengutip langsung dari kitab suci Yunani tersebut, sama ada dalam senggang waktunya menulis, atau ruang waktunya yang lain. Buku Leviathan ini, Hobbes mengakui, adalah ditulis berdasarkan tanggapannya dari sebuah situasi kekacauan yang melanda masyarakat ketika itu. Dalam Human Nature, De Corpone Politico and Three Lives, Hobbes mengingati kembali saat ini dalam bahasa prosanya, yang cukup indah:

“…ketika armada (Sepanyol) menyerbu kepulauan kami…di zaman yang muram, dan kemuraman itu terlahir dengan aku, aku menjerit, kerana ada khabar-angin yang beredar luas, bahawa armada itu akan memusnahkan bangsa kami; dan, dalam bayang-bayang itulah, ibuku yang terchenta melahirkan bayir kembar, iaitu Aku dan Ketakutan.”

Bahkan, di akhir Leviathan, Hobbes tidak lupa mengenang bahawa karyanya ini sebagai “dilatari dengan ragam kekacauan yang terjadi pada zamannya.” Sebab, 100 tahun sebelum waktu terhasilnya Leviathan, Inggeris memang bergelut dalam beberapa pertempuran, dan menaikkan kekuasaan Inggeris. Jadi, buku ini unik, kerana terhasil dari pergolakan langsung, dari sebuah realiti sosial zamannya. Malah, sering diungkap-ungkap bahawa karya Leviathan ini adalah merupakan sebuah karya filsafat politik, yang laris memantik pandangan banyak filsuf pasca-nya, sehingga keistimewaannya ini melayakkannya sebaris dengan Plato, Aristotles, Marx, dll—dalam sejarah wacana filsafat politik. Maka, tidaklah menghairankan jika ada sebuah pepatah, “sebuah zaman yang besar melahirkan manusia yang besar, juga manusia terpilih.” Dan, pada zamannya, itulah Hobbes, dari anak seorang petugas gereja yang terhantuk-hantuk pada setiap pagi Ahad.

Sistem filsafat Hobbes

Kini, kita mula meninjau filsafat Hobbes. Pada zaman itu, bukanlah seperti zaman yang kita kenal dewasa ini. Itu adalah sebuah zaman, seperti yang disebut sebelumnya, maseh lagi utuh jurusan pendidikannya. Ketika itu—apa yang disebut filsafat—semuanya adalah merujuk kepada pengetahuan yang menyangkut kegiatan berfikir.

Jadi, sama sekali tak ada pecahan atau pengusuran bahagian pengetahuan seperti yang kita kenal dewasa ini. Maka, sebab itu pada zaman Renainsans, filsafat itu amat dikenal sebagai natural philosophy. Menariknya, dari filsafat tabii itulah, lahirnya ilmu seperti astronomi, fizik, biologi, kimia, dll, seperti yang kita kenal dewasa ini. Sedangkan, filsafat moral, itu nantinya akan menjelmakan bidang-bidang seperti, ekonomi, antropologi, sosiologi, politik, dll. Jadi, ternyata, ketika itu sebarang kegiatan ke-pengetahuan-an adalah dihubungkan dengan filsafat, bagai sebuah kesatuan ilmu. Budaya seperti ini terus bertahan sehinggalah abad ke-19. Buktinya lagi, soroti saja Isaac Newton, itu bukanlah seorang fizikawan. Newton adalah seorang filsuf awam. Sementara, pemikir seperti Adam Smith itu bukanlah ahli ekonomi, tapi lebih dekat sebagai seorang filsuf moral. Namun, persoalan yang bergeming di sini, bagaimanakah filsafat mereka ini dapat dihasilkan, khususnya filsafat politik Hobbes? Dalam rentang sejarah kemudian, tersaksi bahawa usaha Hobbes ini menjadi sebuah terobosan yang sangat besar, dan sangat revolusioner (dalam paradigma filsafat politik).

Sebelum Hobbes, memang diketahui sudah ada filsuf lain yang berfikir dengan nuansa-nuansa Aristotelian. Mithalnya pertanyaan, “ini adalah pensel.” Namun begitu, “bagaimanakah untuk kita mengetahui apa itu pensel?” Justeru, pertanyaan ini akan disusuli pula dengan pertanyaan baru, “apakah itu tujuannya pensel? “ Jadi, kita dari dialog seperti ini, kita tahu bahawa tujuan pensel hujungnya adalah untuk penulisan, atau kerja-kerja menulis. Bertolak dari tujuan tersebutlah, kita mula menyedari langkah-langkah ke arah memperoleh sebuah gambaran-keseluruhan pengetahuan tentang pensel. Tapi, dari manakah ilham seperti ini hadhir pada Leviathan-nya Hobbes? Tentu saja dari Aristotle. Pernah Aristotles berujar, “apakah tujuan kerusi?” Tujuan kerusi, jelas Aristotles sendiri, adalah untuk diduduki, atau digunakan.

Selain pendekatan Aristotelian ini, pada zaman Hobbes itu turut berkembang sebuah kaedah yang sangat menarik. Namanya, Kaedah Padova. Asalnya, malah sampai kini pun, Padova merupakan nama sebuah kota di Itali. Di kota itu juga, terdapat sebuah universiti yang sangat mashyur, namanya Universita di Padova. Di universiti inilah Galileo mencurahkan kegiatan intelektualnya, dengan mengajar, menyelidik dan menulis. Jadi, Hobbes berteman dengan Galileo, selain berteman juga dengan William Harvey, yang kemudiannya menemukan teori peredaran darah dalam tubuh manusia. Namun, kembali pada persoalan muara, apakah itu Kaedah Padova?

Kita merunut balek, bahawa hasrat dari Kaedah Aristotle adalah untuk mendapatkan tujuan serta mengerti tujuan di sebalek sesuatu itu. Justeru, Kaedah Padova itu adalah menyambung serta menunjukkan jalan kepada pelaksanaan dari Kaedah Aristotle tersebut. Mithalnya, bagaimana untuk mengerti tentang jam? Maka, untuk mengerti tentang jam tersebut, kita haruslah melerai-leraikannya, sampai pada pecahan yang terkecil. Kemudian, pecahan itu harus dianalisis, dan dilihat apakah hakikat kepada bahagian-bahagian kecilnya itu. Inilah langkah yang juga dinamakan sebagai resolution. Namun, bagaimanakah pecahan-pecahan ini boleh saling terkait antara satu sama lain? Kata Hobbes, pecahan-pecahan ini mestilah disusun sebagai ulang, dan digabungkan kembali. Dan, langkah terakhir ini pula dinamakan recomposition.

Sebenarnya, kaedah yang digunakan Hobbes ini amat berpengaruh ketika itu. Ini kerana—seperti yang diungkapkan Dauglas Jesseph dalam “Galileo, Hobbes and the Book of Nature”—bahawa Hobbes ketika itu amat terpesona dengan kerangka-mekanikal yang digunakan Galileo. Ekoran itu, pendekatan Galileo mula menyakinkan Hobbes bahawa, “dunia dan realiti hakikatnya adalah sebuah sistem mekanik, dan segala sesuatu pasti dapat difahami menurut hukum gerakan (motion) tersebut.” Maka, bermula dari sinilah, Hobbes mencari penyebab terhadap segala sesuatu dalam sebarang perbezaan gerakan. Sebenarnya, pendekatan Galileo—yang menginspirasikan Hobbes—ini adalah terselubung pada sebuah persoalan filsafat tabii klasik, iaitu: apakah yang membuatkan sesuatu itu tetap bergerak (mithalnya, sebutir peluru yang ditembakkan)? Dan, di tangan Galileo, pertanyaan ini diubah kepada: mengapa laju gerakan sesuatu benda itu berubah, atau melengkung, sebelum akhirnya jatuh, seperti yang terjadi dalam kes peluru tersebut? Di sinilah, Hobbes mengungkapkan dalam De Cive:

“Apapun yang pegum akan selalu pegun, kecuali ada pengaruh lain yang membuatkannya tidak lagi pegun. Dan, apapun juga yang bergerak, akanlah selalu bergerak, sampai ada pengaruh lain yang menghalangi gerakannya.”

Lantaran kagum dengan pendekatan mekanistik ini, Hobbes mencuba memindahkannya ke dalam aplikasi filsafat politik, khususnya dalam menganalisis manusia. Ini laukan dengan Hobbes memecahkan manusia kepada 17 bahagian, serta menganalisis kesemua bahagian-bahagian tersebut secara mekanistik.

Kini, Kaedah Padova diterapkan Hobbes ke atas manusia. Selain resolution dan composition, keduanya dibantu lagi oleh pendekatan analitik dan pendekatan sintetik di antara kedua proses tersebut. Ini kerana, menurut Hobbes, dalam rangka kita untuk memahami masyarakat—yang lebih-lebih lagi dalam suasana kacau—maka sudah seharusnya diuraikan terlebih dahulu setiap apa dari unsur-unsur manusia. Sebab itu, dalam Leviathan, Hobbes telah menganalisis apa yang dimaksudkannya dengan, fikiran, emosinya apa, imaginasinya apa, dll. Semua unsur ini dianalisis rapi. Maka, begitulah juga dalam sesebuah negara. Sebab, untuk mengetahui tentang negara itu, maka haruslah membayangkan seakan-akan negara dibubarkan. IDan, setelah negara dibubarkan, maka perlu pula diselidiki tentang masyarakatnya, dan lebih tajam lagi, diselidiki tentang individunya, serta apa yang sebenarnya terdapat pada setiap individu. Ini dilaksanakan Hobbes, sehingga kita benar-benar mengetahui watak sebenar manusia itu.

Kelak, Hobbes akhirnya mengetahui negara yang seharusnya bagaimana diwujudkan. Sebenarnya, dalam filsafat manusia Hobbes ini, kita boleh dipecahkan pada tiga bahagian. Satu, adalah bahagian tubuh dan alam semesta. Kedua, adalah bahagian manusia. Dan, ketiga adalah bahagian negara. Walau bagaimanapun, Hobbes tak menulis yang bermula dari yang petama, kedua, dan ketiga, berturutan begitu. Tidak begitu. Sebaleknya, Hobbes menulis yang kedua terlebih dahulu (manusia), lalu yang ketiga, baru kemudian yang pertama. Jadi, kembali pada Kaedah Padova sebelumnya, ini adalah merujuk kepada resolve→ (idealis)→ recompose. Dari kesesuaian inilah, Hobbes memulakan analisa bermula dari manusia, lalu negara, lalu kembali pada politik.

Himbauan kita pada Leviathan jelas menzahirkan langkah-langkah Hobbes ini. Leviathan, tak diragukan lagi adalah karya Hobbes yang berisi filsafat ketatanegaraan, dengan sarat dengan huraian Civitas-nya. Buku ini boleh dikatakan terdiri dari dua kandungan-induk, yang secara ketat menuruti Kaedah Padova tersebut. Dua bahagian tersebut ialah Of Man dan Of Common-wealth. Selain dua bahagian besar ini, terdapat dua lagi bahagian kecil yang berjudul Of a Christian Common-wealth dan Of the Kingdome of Darknesse. Tapi, dua bahagian kecil ini adalah sambungan dari bahagian besar yang kedua sebelumnya. Hasrat Hobbes, setiap bahagian itu adalah membahaskan manusia sepertinya apa. Mithalnya, konsep manusia sebagai mekanikal gerakan ini difahami dalam katanya:

“kerana apakah Hati kalau bukan Mata Air, apakah saraf kalau bukan senar, apakah Tulang Sendiri kalau bukan Roda, yang menggerakan seluruh Tubuh.”

Jadi, jelas Hobbes memulakan filsafat politiknya secara antropologi (filsafat manusia). Jadi, setelah manusia itu diteropong jauh, maka kata Hobbes, kita akan menginsafi negara itu sebenarnya seperti apa yang sebaiknya. Walau bagaimanapun, mengenai keistimewaan Hobbes ini, Leo Strauss pernah menyatakan dalam bukunya, The Political Philosophy of Hobbes bahawa yang gagasan yang paling tajam dari hobbes bukanlah filsafat manusia-nya, tapi lebih bersifat sebagai sebuah filsafat politik yang Aristotelian sekali. Namun, terlepas dari perbezaan ini, tetap saja hasil dari filsafat manusia Hobbes merupakan sesuatu yang mengejutkan pada zamannya.

Filsafat politik Hobbes

Memang, objek dari filsafat, sebelum mekarnya filsafat politik, itu adalah filsafat manusia. Manusia adalah objek filsafat. Justeru, kalau mahu membedah sesebuah negara, maka jangan difikirkan tuhan. Tapi fikirkan, siapakah manusia? Demikian penegasan Hobbes dalam Leviathan-nya.

Di sini, Hobbes mahu mengupas rinci tentang apakah itu, imaginasi, perasan, naluri, cara bicara, nafsu, dll yang menghiasi keseluruhan peribadi manusia. Lalu, kemudian disusun Hobbes dalam persoalan, seperti apa tata-negara yang seharusnya—yang berdasarkan gambarannya tentang manusia. Tapi, ada pertanyaan lagi, iaitu sebuah pertanyaan Aristotelian, berkenaan apakah gunanya negara? Dan, apakah yang membuat tata-negara itu perlu? Sekali lagi, pertanyaan inilah salah satu bentuk siasah pemikir yang menarik. Ibaratnya, untuk mengetahui bahawa makanan itu penting, maka kita mestilah membiarkan diri kelaparan. Dari situ, kita menghayati betapa pentingnya makanan. Entah kita setuju atau tidak, maka sambung Hobbes, begitulah juga dalam persoalan negara—di mana kita harus membayangkan tiadanya negara. Tanpa dibubarkan negara, maka kita takkan mengerti tujuan negara tersebut.

Jadi, di sini Hobbes mengajak kita merenung, apa yang akan terjadi kalau hidup tanpa negara? Dalam kata lain, pendekatan berfikir ini juga dinamakan sebagai logik negatif, iaitu memahami sesuatu dari yang tidak ada. Dalam bahasa lain lagi, pendekatan ini juga boleh disebut sebagai the state of nature, keadaan abadi. Lawan kepada kata ini adalah civil society, atau masyarakat sivil. Asalnya, kata civil society datang dari bahasa Latin, societas civilis, dan ini juga barangkali terinspirasi dari konsep Polites, masyarakat politik-nya dalam tradisi Yunani itu. Jadi, jangan disangka bahawa civil society itu berupa gerakan swa-daya masharakat. Sebaleknya, masharakat sivil adalah sebuah keadaan tata-negara yang hidupnya dipimpin oleh hukum ketertiban. Dan dari kata sivil inilah yang kemudiannya memunculkan civilitas, iaitu kehidupan para warganegara itu. Maka, kata kuncinya adalah negara.

Justeru, setelah negara dibubarkan (dalam fikiran), kita akan dapat membidik, negara itu sepertinya apa. Memang, sebelum sesebuah negara itu dibubarkan, Hobbes sendiri tak tahu persisnya seperti apa. Kerana itu, gagasan Hobbes ini harus diuji dalam ruang fikiran terlebih dahulu. Sebab, keadaan seperti ini tidak pernah dialami, dan tidak pernah dibayangkan ada dalam sejarah politik manusia. Lebih radikal, Hobbes malahan berpendapat bahawa sebaik saja seseorang Raja meninggal, maka haruslah dilakukan kekacauan dahulu. Sebab, tindakan ini penting dalam memulakan proses resolution sebelum proses recompose itu. Katanya:

“Masharakat Parsi yang cerdik mempunyai sebuah hukum, yang menyatakan bahawa ketika rajanya mangkat, maka mereka harus melakukan kekacauan (lawlessness) selama lima hari, …agar mereka belajar mengalami keadaan gelap tanpa hukum dan aturan, serta saling membunuh, merompak, dan menindas, atau apa saja yang sedapat mungkin dapat membuatkan keadaan menjadi buruk. Ini dilakukan supaya mereka dapat belajar bagaimana menjadi penjaga yang baik pada raja mereka yang baru nanti.”

Lantaran itu, seperti usaha Galileo yang mencermati tentang gerakan, maka Hobbes juga mencermati tentang gerak manusia dalam kekacauan ini. Bermula dari sini, kita akan mulai merincikan filsafat Hobbes tentang manusia.

Berangkat dari sini, kita akan memulakan Hobbes dengan pertanyaan-jawapan. Hobbes seolah-olah memulakan pertanyaan, mengapa gerakan manusia ini penting? Dan, jawabnya sendiri, kerana manusia itu bergerak terus menerus. Namun, pertanyaan belum selesai, apakah motivasi manusia dalam gerakan tersebut? Maka, tanggap Hobbes, kerana itu merupakan hasrat azali manusia bagi meraih sebuah keberhasilan. Justeru, hakikatnya manusia itu akan terus-menerus begerak mencari sebuah keberhasilan. Namun, kata keberhasilan ini tidak memadai. Lalu, bagaimana cara kita untuk mendapatkan keberhasilan? Nah, bertolak dari sini, kita akan melihat betapa bermaknanya sebuah kekuasaan pada manusia. Tafsiran kuasa ini, kalau menurut Hobbes, boleh saja dalam erti presiden, erti raja, erti perdana menteri, dll. Bahkan, kemuka Hobbes lagi, kuasa itu boleh juga dalam bentuk harta, nama baik, kepandaiannya, atau apa-apa saja. Cuma, kalau setiap manusia itu pasti mencari keberhasilan, dan itu mensharatkan adanya kuasa. Akhirnya, pasti akan berbenturan sebuah persaingan.

Namun, hairannya, kenapakah manusia tak puas dengan kadar kekuasaan yang biasa-biasa saja? Memang, jelas Hobbes, adalah sudah sifat manusia merasakan bahawa kekuasaan yang sederhana itu tidak begitu menjamin bahawa dirinya akan sentiasa survive. Lantaran tiada jaminan tersebut, etrdorongnya perang untuk semua melawan semuanya (perang antara para pesaing), sehingga dari sini memunculkan sebuah gambaran terkenal Hobbes—manusia adalah serigala sesamanya; homo homini lupus. Dengan demikian, kita boleh katakan bahawa apa yang dimaksudkan Hobbes ini adalah “naluri yang megarahkan manusia kepada Perdamaian adalah sebuah Ketakutan akan Kematian.” Persis dalam Leviathan-nya mencatatkan:

“Begitulah manusia, kerana terpaku pada apa yang ada di depan, maka hatinya merasa resah sepanjang hari, diburu rasa takut akan kematian, akan kemiskinan, dan akan bencana. (Manusia) tidak mahu mendamaikan rasa takut itu, dan tidak juga ada sela waktu bagi kecemasannya, melainkan dalam waktu tidur. Rasa takut itu terus-menerus memburu manusia, sepertmananya sentiasa hidup dalam Kegelapan.”

Arakian, bukankah sebelum-semasa kekacauan wujudnya kekuasaan yang tidak-seimbang, antara mereka yang terlibat? Mithalnya, meskipun dalam kekacauan, kekuasaan antara seorang raja dengan seorang rakyat, tentu saja adalah sebuah tampilan ke-tidak-seimbangan yang nyata sekali. Namun, Hobbes memikirkan bahawa perbezaan tidak bererti, sebab setiap manusia itu pada hakikatnya terdiri dari kelebihan masing-masing, sama ada secara fizik, mental, material, dll. Jadi, seandainya setiap manusia itu dineracakan kekuatannya, maka tiadalah perbezaan ketara antara sesamanya.

Selain daripada itu, Hobbes juga percaya bahawa dalam keadaan yang tidak ada lagi kekuasaan (negara dibubarkan), maka secara normatifnya tidak ada juga mana yang benar dan mana yang salah, di samping tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang? Semua manusia adalah setara, seimbang, serta masing-masing ada keistimewaan dan kecerdikan tersendiri. Sebab itu, pada saat ini, omongan tentang kebenaran dan kebatilan, juga kezaliman dan keadilan sama sekali tidak punya erti-bermakna. Justeru, pada saat inilah juga, kekuatan yang paling akbar adalah pembohongan, helah, kelihaian, dll. Mereka yang memenuhi sifat-sifatnya dengan seluruh penipuan ini, maka merekalah yang akhirnya akan mendapatkan keuntungan. Inilah yang disebut Hobbes sebagai mendapatkn hak tabii (ius naturale), ertinya hak untuk mempertahankan diri sendiri. Dan, setiap yang mengancam kelangsungan diri itu, maka dirinya boleh menggalang apa saja demi mempertahankannya. Akibatnya, dalam waktu perang persaingan tersebut, Hobbes menyimpulkan:

“dalam keadaan seperti itu, maka tidak ada lagi industri, kerana hasilnya tidak menguntungkan ekoran keadaan yang kacau. Lalu, juga tidak ada pemunggahan kekayaan hasil mahsul bumi, kerana tidak ada pelayaran, tidak ada kegiatan perdagangan di perlabuhan, tidak ada bangunan megah, tidak ada pengangkutan… (juga) tidak ada kegiatan pengetahuan sains, tidak ada perhitungan waktu, tidak ada kesusateraan, tda ada eksenian, tidak ada masharakat; dan yang paling celaka adalah ketakutan terus-menerus serta bahaya kematian yang keji. Maka, hidup manusia menjadi sunyi, miskin, nista, buas dan singkat.”

Pada titik nadir inilah, filsafat manusia Hobbes seperti menemui hentiannya, dan memulakan filsafat politiknya, khususnya tentang bagaimana terjadinya negara. Nah, mari kita berangkat dari pertanyaan berikutnya, tentang apakah yang terjadi pada masharakat setelah kekacauan tersebut?

Jadi, tegas Hobbes, dalam keadaan tabii ini, apa yang maseh tersisa adalah hak tabii setiap manusia itu. Dan sekali lagi, hak tabii itu adalah untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, supaya tidak mati. Biarpun demikian, keadaan ini bukanlah sebuah kenescayaan/kepastian. Sebaleknya, keadaan kekacauan ini rupa-rupanya dapat dielakkan lebih awal sekiranya ada penengah di antara sesama yang terlibat dalam kekacauan masharakat tersebut. Penengah inilah, tgas Hobbes, yang akan mencegah terjadinya persaingan/pertarungan sesama tersebut. Menariknya, Hobbes tidaklah menunjuk pada peranan raja, melainkan pada peranan hukum. Namun, bukan hukum yang dilembagakan, tapi hukum tabii di mana setiap manusia punya naluri untuk meraih sebuah jaminan kehidupan. Hobbes menjelaskan:

“hukum tabii adalah sebuah prinsip, atau peraturan umum yang ditemukan oleh Nalar di mana manusia dilarang untuk melakiukan apa pun yang dapat memusnahkan hidupnya sendiri, atau menghilangkan setiap ruang untuk mempertahankan hidupnya sendiri; dan juga merampas apa yang menurut fikirannya dapat membentuk langkah dalam mempertahankan hidupnya.”

Singkatnya, gagasan Hobbes ini dapat dihuraikan dalam tiga cabang. Pertama, setiap yang terlibat dalam kekacauan mestilah berusaha mencegah berlakunya perang, sejauh setiapnya melakukan tindakan yang sama. Namun, seandainya tiada jaminan, maka setiap yang terlibat itu bolehlah memakai apa saja cara untuk mempertahankan kelestarian hidupnya, sekaligus menyingkirkan segala ancaman terhadap dirinya. Kedua, dalam usaha untuk mencegah kekacauan antara sesama, maka setiap yang terlibat mestilah menyerahkan hak-haknya, sejauh setiap yang terlibat turut melakukan hal yang sama. Ini maksudnya lagi, “jika aku menguguran hakku, maka kalian juga mestilah bersedia untuk turut mengugurkan hak kalian.” Di sini Hobbes memetik Injil bahawa: “apapun yang kita Kamu harapkan dilakukan oleh orang lain terhadapmu, maka lakukan juga hal yang sama pada mereka.”

Sekarang, terjadilah sebuah penyerahan/pengalihan hak masing-masing kepada sebuah kesepakatan, yang kemudian pada tangan Rosseau lebih dikenal sebagai “kontrak sosial.” Tidak hairan, wacana mengenai kontrak sosial ini maseh berlanjutan sampai dewasa ini, meskipun asal-muasalnya adalah bermula dari Hobbes itu sendiri. Dan terakhir, yang ketiga, setiap yang terlibat haruslah mematuhi penjanjian yang telah dimuafakati, seperti saranan Hobbes, “agar setiap yang terlibat tetap memiliki dan menikmati hak tabii (dalam keamanan).”

Nah, setelah dibentang lebar-dalam oleh Hobbes, ternyatalah bahawa manusia itu hakikatnya amat takutkan kematian, serta sentiasa berusaha mencari jalan-keluar dari ketakutan itu. Meskpun begitu, persoalan tidak selesai di sini. Sebab, setelah semua sepakat bernaung atas kontrak sosial, maka persoalan berikutnya ialah tentang siapakah pula yang akan menjadi penengah, atau penegak hukum di kalangan yang terlibat tersebut? Siapakah yang memegang-kuasa terhadap apa yang padanya telah diserahkan hak-hak dari kalangan yang terlibat dalam kekacauan tersebut, seperti hak untuk membunuh hak mereka yang melanggar kesepakatan, dan hak untuk memastikan setiap yang dipersetujui ditepati? Hobbes lantas membangkitkan kata, Negara, dengan “N” besar. Pada Negaralah, setiap keputusan itu menjadi sebuah kata muktamad, tanpa-bantah.

Tapi, apa apa pada Negara-nya Hobbes ini? Konsep negara buat Hobbes, jelas sekali bukanlah ditimpakan begitu saja, melainkan merupakan lanjutan dari kehendak-serentak kalangan dalam sesebuah masharakat tersebut. Negara ini adalah politik sub will yang setiap kalangan menekankan agar kontrak sosial, atau penjanjian itu mestilah dipatuhi sesungguhnya. Tukas Hobbes dalam menerangkan keadaan ini:

“melalui penjajian antara sesama masharakat, seperti seakan-akan setiapnya menyatakan bahawa Aku memberi kuasa dan menyerahkan hak-hakku untuk memerintahkan diriku kepada dewan tertentu, dengan sharat bahawa mereka juga melakukan hal yang sama. Dengan itu, masharakat manusia diperatukan dalam satu Individu yang disebut Negara, atau dalam bahasa Latinnya Civitas. Melalui proses inilah juga, lahirnya Leviathan agung.”

Khatimah

Kini, berdirilah Negara, yang semanjak dari Hobbes teori modennya terus berkembang dan bervariasi sampai dewasa ini. Barangkali, inilah sumbangan terbesar Hobbes dalam sejarah peradaban manusia: berdirinya Negara itu. Tapi, menarik untuk disoroti, mengapa nama Leviathan menjadi simbol, menjadi pilihan, dari gagasan-judul bukunya Hobbes ini?

Menurut Hobbes, Leviathan itu adalah pinjaman dari istilah dari kitab penjajian lama, yang juga merupakan penggalan pada kitab Iyyov (Ayyub), yang bermakna "permusuhan" tersebut. Leviathan itu, dirujuk Hobbes kepada buaya laut, sebuah makhluk yang “dari dalam mulutnya keluar suluh dan berpancaran api... (yang) bilanya bangkit semua yang berkuasa menjadi gentar…(dan) itulah juga mahkluk yang tidak mengenal sebarang takut yang lain.” Pada Hobbes, hanya wajah Lviathan inilah yang dapat mendamaikan manusia. Tapi, mari kita taakul sebentar: mengapakah Hobbes memetaforakan Levithan kepada Negara? Mungkinkah ini juga boleh membawa bermulanya sebuah totalitarian? Bukan, bukan demikan maksud Hobbes. Sebaleknya, Hobbes hanyalah mahu melukiskan sifat-sifat menakutkan yang melekat pada manusia seperti, keangkuhan, nafsu, keserakahan, dll. Dan, sifat-sifat itu haruslah ditenangkan, disalurkan dan diturunkan pada Negara. Kini, setelah tertegaknya Negara, maka segala sifat-sifat manusia itu terkumpul pada Negara itu, yang berhak menggunakan sifa-sifat tersebut pada mereka yang mungkir. Singkatnya, Negara adalah seutu kekuatan raksasa, di mana masharakat harus tunduk, dan berikan kepercayaan padanya.

Namun, apakah itu juga boleh bererti membibitnya absolutisme? Mungkin saja. Tapi, Micheal Oakeshott dalam Hobbes on Civil Association ada sebuah kesimpulan yang sederhana. Katanya, Leviathan tidak diragukan lagi merupakan sebuah amaran kepada manusia tentang kekerdilan-nya, ketidak-sempurnaannya, dan moralnya, dan pada satu detik bersamaan juga merupakan sebuah pengakuan—bahawa ada kecerahan dari kegelapan terowong yang panjang.” Sebab itu, adalah tepat sekali jika ada yang melihat gagasan Hobbes ini hadhir bukan kerana keinginan tebal untuk kecerahan masa depan, tapi kerana keinginan kental manusia untuk melepaskan diri dari kegelapan masa lalu, atau dari masanya ketika itu.

No comments: