www.flickr.com

Saturday, February 20, 2010

Pemikiran Muthahhari di Bidang Teologi

Oleh Quraish Shihab

Yang pertama dan yang utama yang akan saya kemukakan menyangkut pandangan-pandangan Muthahhari dalam bidang teologi adalah tentang tauhid (keesaaan Tuhan). Hal ini dikarenakan masalah tersebut merupakan dasar utama keislaman dan atas dasar hal tersebut pula tercermin sikap hidup seseorang.

Muthahhari, sebagaimana setiap Muslim meyakini kebenaran tauhid, membagi tauhid menjadi dua bagian, yaitu tauhid teoritis dan tauhid praktis. Keberadaan kedua bagian ini dibuktikannya melalui analisis terhadap keempat macam tauhid yang dikenal oleh ulama Islam sebelumnya yaitu: (1) Keesaan Tuhan, (2) Keesaan sifat, (3) Keesaaan Perbuatan, dan (4) Keesaaan Ibadah.


Muthahhari menjadikan tauhid Zat sebagai tahap awal karena menurutnya, “Pertanyaan pertama yang muncul dalam benak seseorang menyangkut wujud ini adalah : Apakah ada sesuatu yang berdiri sendiri yang tidak membutuhkan sesuatu dan bahkan dibutuhkan oleh segala sesuatu?” Setelah tauhid Zat disusul oleh Tauhid Sifat.

Dalam sekian banyak karya ilmiahnya, seperti Allah fi Hayah Al-Insan dan Ihtiram Al Huquq wa Tahqir Al-Dun-ya, Muthahhari menekankan bahwa “ Keesaaan Tuhan dalam sifat-Nya harus dipahami sebagai satu kesatuan dengan Zat-Nya”. Pendapatnya ini sejalan---walaupun tidak sama – dengan pendapat Mu’tazilah. Alasan yang dikemukakannya adalah “bahwa konsekuensi dan Keesaaan sifat, menuntut penafian segala bentuk penyusunan (tarkib) dan pembilangan (ta’addud), sehingga walaupun diakuinya bahwa Allah SWT memiliki sifat kesempurnaan, keagungan, dan keindahan, namun hal tersebut tidak berarti adanya perbedaan sifat Allah dan sifat lainnya. Perbedaan menurut Muthahhari, dapat mengakibatkan keterbatasan Wujud Yang Mahaagung. Dan jika terjadi demikian, maka Ia sama dengan makhluk.

Muthahhari dalam hal ini agaknya ingin berkata : “ Sifat Allah SWT tidak dimiliki oleh makhluk-Nya sehingga tidak mungkin Ia sama dengan apa yang dimiliki selain-Nya, dan dalam saat yang sama Ia tidak berbilang, sehingga Ilmu, Hidup, dan Qudrah-Nya adalah Satu… dia…juga. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Dia mengetahui dengan Qudrah-Nya, Dia berkuasa dengan Hidup-Nya, dan hidup dengan Ilmu-Nya. Hal ini juga berlaku untuk sifat-sifat lain dan inilah –menurut Muthahhari--- arti Ahad dalam ayat pertama Surah Al-Ikhlas : Qul Huwa Allah Ahad.

Jelas sekali bahwa Muthahhari membedakan pengertian kata Wahid dan ahad. Kata Wahid memungkinkan adanya “dua”, “tiga”, dan seterusnya, baik dalam benak ataukah dalam kenyataan, tetapi tidak demikian halnya dengan kata Ahad.

Ahli tafsir Thabathaba’i-yang sealiran dan semasa dengan Muthahhari, sekaligus guru yang disebut belakangan-menjelaskan hal ini dalam tafsirnya dengan memberikan contoh dua ungkapan, yaitu: ma ja’ani wahid min al-qawm, dan ma ja’ani ahad min al-qawn. Ungkapan yang pertama hanya menafikan kehadiran satu orang, tapi mungkin yang hadir dua atau tiga orang; sedangkan ungkapan kedua menunjukkan, jangankan dua orang seorangpun tidak.

Keyakinan akan Tauhid sifat yang antara lain mengandung arti perbedaaan sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluk, mengantarkan Muthahhari untuk memahami sifat Razzaq (Maha Pemberi Rezki) dan jaminan-Nya bagi seluruh makhluk (Q.S. 11 : 6) sebagai seruan yang mendorong makhluk (manusia) untuk mencari rezkinya sendiri. Dalam hal ini Muthahhari menulis:

“Jaminan Tuhan untuk memberi rizki kepada makhluk-Nya tidak berarti bahwa jaminan tersebut sama dengan dengan jaminan seorang manusia kepada temannya. Karena, jika hal itu dipersamakan berarti sama pula sifat Tuhan dengan sifat manusia dan ketika itu tidak lagi terjadi keesaaan dalam sifat-Nya. Pengertian jaminan-Nya harus dikaitkan dengan hukum-hukum yang ditetapkkan Tuhan terhadap alam raya dan terhadap makhluk-Nya. Naluri manusia, akal, perasaannya, serta alam raya dengan segala isinya,kesemuanya adalah berasal dari arti rizqiyyah (pemberian rizki Tuhan)”

Keesaan dalam perbuatan-Nya berarti bahwa alam raya dan bagian-bagiannya yang sekecil-kecilnya sampai yang sebesar-besarnya, kesemuanya tunduk di bawah kekuasaaan Allah dan bergerak sesuai dengan kehendak-Nya tanpa campur tangan dari selain-Nya. Ini berarti bahwa dengan tauhid tidak dapat memilih-milih apa yang terjadi di alam raya dengan berkata,” Atas dasar inilah agaknya Muthahhari menolak secara tegas paham positivisme Comte, sambil menyatakan bahwa”seharusnya ia menambahkan satu fase lagi dalam perkembangan pemikiran manusia yaitu “pemikiran keIslaman” yang menghimpun ketiga fase yang dikemukakan Comte dalam satu kesatuan.”

Muthahhari menilai Keesaaan dalam perbuatan Tuhan menolak anggapan bahwa hanya hal-hal yang tidak diketahui sebabnya yang ditafsirkan sebagai perbuatan Tuhan atau dengan istilah lain,” kita baru mencari Tuhan pada ruang lingkup ketidaktahuan kita”. Hal ini jelas tertolak karena jika demikian halnya, maka penemuan-penemuan ilmiah yang tentunya dapat mempersempit wilayah ketidaktahuan akan mempersempit pula peran Tuhan sehingga pada akhirnya ungkapan “ilmu telah menyingkirkan Tuhan setelah sebelumnya Dia dihargai dan diagung-agungkan perbuatan-perbuatan-Nya.”

Muthahhari menegaskan bahwa alam raya, dengan segala isinya adalah pengejawantahan dari kekuasaan, ilmu, hikmah, dan kehendak Allah, baik yang diketahui maupun tidak.

Pandangan Muthahhari di atas tentunya berarti penolakan terhadap “sebab-akibat” atau peremehan terhadap “hukum-hukum alam”, tetapi yang dimaksudkannya adalah bahwa kedua hal tersebut pada hakikatnya hanya merupakan “ikhtisar dari pukul rata statistik” dan bahwa hukum-hukum “alam” merupakan perbuatan Tuhan yang berfungsi karena kehendak-Nya, tetapi ia dapat tidak berfungsi bila dikehendakiNya.

Dalam bukunya, Al Imdad Al-Ghaybiy fi Hayah Al-Basyariyah, Muthahhari menekankan adanya apa yang dinamai “ bantuan gaib dari alam metafisika”. Segala sesuatu yang terjadi, kejadiannya bersumber dari hal gaib tersebut, dan dalam saat yang sama, terkadang terjadi hal-hal khusus yang juga bersumber darinya. Hal ini dapat dirasakan atau dialami dalam kehidupan pribadi atau masyarakat berupa petunjuk atau ilham maupun berupa terciptanya satu kondisi yang memungkinkan terjadinya hal-hal yang menggembirakan.

Untuk mendukung pendapatnya ini, Mthahhari antara lain mengemukakan arti basmalah- khususnya menyangkut sifat Rahman dan Rahim Tuhan, yang keduanya bersumber dari kata “Rahmat”.

Muthahhari memahami kata “ Rahman” sebagaimana pemahaman mayoritas ulama tafsir yaitu rahmat yang mencakup seluruh maujud serta kesinambungan dan pelaksanaan fungsinya secara baik bersumber dari rahmat “Rahman” ini. Hal ini berbeda dengan “Rahim” yang khusus ditujukan kepada mereka yang jika telah melaksanakan tugas-tugasnya secara baik, maka ia akan memperoleh rahmat berupa imdad (bantuan) yang mempunyai hukum-hukum tersendiri yang berbeda dengan hukum-hukum alam yang berlaku. Ini pula menurut Muthahhari yang dimaksud dengan permohonan dalam shalat, “ iyyaka na’bud wa iyyaka nasta’in.”

Atas dasar adamal – imdad al-ghaybiy ini baru dapat hadir apabila seseorang telah melaksanakan tugasnya secara baik.

Tiga macam keesaaan di atas-Zat, Sifat, dan Perbuatan Tuhan—tercakup dalam bagian tauhid yang bersifat teoritis, karena yang dimaksud oleh Muthahhari dengan kata teoritis dalam hal ini adalah “cara berpikir yang mengantar seseorang kepada kesimpulan-kesimpulan, sementara kesimpulan-kesimpula itu bersifat teoritis serta berada dalam lingkup pemikiran”. Ketiga hal di atas berbeda dengan keyakinan Tauhid dalam ibadah.

Tauhid ibadah, menurut Muthahhari adalah “ketaatan yang diarahkan hanya kepada Allah semata sehingga menjadikan-Nya tumpuan hati serta tujuan segala langkah dan gerak. Mengarahkan pandangan kepada yang maujud, baik lahir maupun bathin, tidak mengurangi arti tauhid ibadah selama yang bersangkutan ketika mengarah ke sana menjadikannya sarana guna menuju kepada Allah SWT. Atas dasar pengertian ini, Muthahhari antara lain mengecam aliran-aliran yang melarang ziarah kubur atau melakukan tawassul. Dia menganalogikan hal ini sebagai mengarahkan kepada rambu-rambu lalu lintas.” Seseorang yang memperhatikan rambu-rambu lalu lintas untuk mengantarkannya kepada tujuan hakikatnya bukan berarti mengarah kepada rambu-rambu tersebut tetapi mengarah kepada tujuan itu sendiri.” Kata Muthahhari.

Keesaaan dalam ibadah menurut Muthahhari mempunyai dua sisi. Sisa pertama berkaitan dengan Tuhan dan sisi kedua berkaitan dengan manusia. Sisi pertama mengantarkan seseorang untuk tidak mengabdi kecuali kepada Allah, sedangkan sisi kedua mendorong manusia melakukan pengabdian hanya kepada-Nya.

Keesaan dalam bidang ini adalah penerapan bidang-bidang teoritis di atas dan karena itu kepercayaan Tauhid—berbeda dengan sekian banyak masalah yang berada dalam ruang lingkup pemikiran—pasti menghhasilkan buah pada cara berpikir dan pengamalan.

Seseorang telah dianggap mengesakan Tuhan apabila ia telah mencapai ketiga fase teoritis. Namun, ia belum lagi mengesakan-Nya secara sempurna sebelum bagian yang bersifat teoritis tersebut dapat diterapkan dalam kehidupannya dan yang dampaknya antara lain tampak pada kebutuhan kepribadian (personality)-nya. Yang mengesakan Tuhan secara praktis tidak akan dikuasai oleh dua pengaruh atau kekuatan yang saling bertentangan, tetapi ia hanya tunduk kepada satu kekuatan yang dan dipengaruhi oleh-Nya.

Keutuhan pribadi sebagai dampak dari ajaran tauhid dipahami oleh Muthahhari dari Az-Zumar ayat 29.
“Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang lelaki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat dan saling berselisih dan seorang lelaki (budak) yang menjadi milik penuh (sehingga menyerahkan dirinya kepada) seseorang. Adakah kedua budak itu sama keadannya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Masalah kedua yang ingin saya ungkapkan adalah pandangan Muthahhari tentang “keadilan”. Pembahasan menyangkut masalah ini mengantarkan kita kepada pembahasan tentang kebebasan dan keterpaksaan manusia, serta kepada masalah qadha dan qadar, bahkan kepada pengertian dan esensi “baik” dan “buruk.”

Sikap teologi secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama adalah kelompok Mu’tazilah yang menetapkan kebebasan manusia dan keadilan Tuhan, dan kedua adalah kelompok Ahl-Al-Sunnah yang secara umum dinilai bertolak belakang dengan pandangan Mu’tazilah.

Muthahhari menilai bahwa baik paham Asy’ariyah (yang merupakan paham mayoritas Ahl-AlSunnah) maupun Mu’tazilah, memiliki unsur-unsur kekuatan dan kelemahan, dan masing-masing pihak sulit untuk menjawab kritik-kritik yang dilontarkan pihak-pihak lain dan karena itu, Muthahhari yang menganut paham Syi’ah mendukung pandangan Mu’tazilah dalam beberapa hal disertai dengan beberapa perbedaan—khususnya dalam hal keadilan, peranan akal, kebebasan manusia, serta adanya hikmah dan tujuan bagi perbuatan-perbuatan Tuhan.

Dalam hal kebebasan manusia, kebebasannya tidak dipahami dalam pengertian mutlak yang menimbulkan kesan terlepasnya campurtangan Tuhan atau adanya persekutuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya, dan karena itu walaupun qadha dan qadar tidak termasuk dalam rukun iman dalam pandangan Mutahhari, ia tetap tidak dapat ditolak atau diabaikan.

Dalam bukunya, al-Insan wa Al-Qadha wa Al-Qadar, Muthahhari menjelaskan bahwa Qadha berarti ketetapan atau keputusan karena itu orang orang yang menetapkan keputusan dinamai Qadhi, sedangkan qadar adalah kadar atau ukuran sesuatu.

Peristiwa-peristiwa alam dari sisi keberadaannya pada ruang lingkup pengetahuan.

Tuhan dan kehendak-Nya dinamai qadha, sedangkan dari sisi kejadiannya dalam bentuk kadar, waktu, tempat tertentu dinamai Qadar atau takdir.

Muthahhari mengemukakan tiga kemungkinan yang dapat tergambar dalam benak terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi, yaitu (1) Tidak mempunyai hubungan kausalitas, (2) Berhubungan secara langsung dengan Causa Prima, dan (3) Memiliki hubungan dengan sebab-akibat.

Untuk bagian pertama, Muthahhari menilai bahwa hal ini mengantarkan kita kepada penafian sebab dan akibat, sekaligus penafian qadha dan qadar, serta membuka penafsiran “kebetulan” bagi peristiwa-peristiwa tersebut.

Bentuk kedua menafikan peranan manusia dalam perbuatan-perbuatannya, Manusia, dalam hal ini , hanya akan menjadi seperti kapas yang dihembus angin, mengarah ke mana angin itu berhembus, peranan manusia hanya sebagai simbol yang tak berarti.

Kedua bentuk kemungkinan di atas ditolak oleh Muthahhari bukan hanya berdasarkan kenyataan tentang peranan sebab dan akibat tetapi juga berdasarkan nash AlQur’an.

Ia memilih kemungkinan ketiga, dan hal tersebut yang diyakininya sebagai penafsiran terhadap qadha dan qadar, yakni bahwa selalu ada kaitan antara sebab dan akibat dalam perinciannya.

Menurut Murtadha Muthahhari, “setiap peristiwa secara pasti terjadi dari hasil suatu penyebab yang memberikannya ciri tertentu, dalam kadar, tempat, dan waktunya dan yang berkaitan erat antara masa lalu, kini dan akan datang. Dengan demikian, setiap peristiwa ditentukan keadannya serta diberi cirinya oleh peristiwa sebelumnya dan yang sebelumnya itu oleh yang sebelumnya lagi.”

Bagian yang ketiga ini oleh Muthahhari dinilai bukan saja diakui olehnya sebagai seorang agamawan tetapi juga oleh ilmuwan-ilmuwan yang tidak beragama sekalipun. Hanya saja, perbedaan sikap agamawan dengan ilmuwan yang tidak beragama adalah bahwa yang terakhir memahami sebab-sebab tersebut berdiri sendiri dan bahwa setiap pertistiwa ditentukan oleh sebab terdahulu secara otomatis tanpa mengetahui peranannya. Sedangkan oleh agamawan diyakini bahwa rentetan dari sebab tersebut yang berada di luar wilayah waktu memiliki Sebab Akhir, yang “mengetahui perannya” dan oleh agamawan dinamai “Al-Kitab”, “Al-Lawh, “Al-Qalam” dan sebagainya.

Muthahhari dalam bukunya, perpspektif Alqur’an tentang Manusia dan Agama menjelaskan bahwa:

“Sebab-sebab yang berlaku di alam ini bukan hanya bersifat material saja melainkan sistem yang paling sempurna ini terdiri atas keseluruhan sebab dan lantaran yang lahir maupun yang yang tersembunyi. Sebagaimana sebab-sebab material yang bersifat inderawi dapat saling mempengaruhi atau melumpuhkan sehingga tidak lagi dapat berpengaruh, demikian pula sebab material itu, pada berbagai fenomena berhenti bekerja dengan adanya pengaruh faktor-faktor spiritual. Orang yang tidak melihat dihadapannya kecuali sebab-sebab mamaterial yang bersifat inderawi saja membayangkan bahwa sebabnya hanya terbatas pada sebab-sebab material tersebut dengan melupakan bahwa masih ada beribu-ribu sebab dan lantaran lainnya yang memiliki keaktifan sesuai dengan hukum qadha dan qadar dan yang setiap kali (dapat) ikut campur tangan sehingga mengakibatkan terhentinya sebab-sebab material dari keefektifannya.

Di sini terlihat lagi perbedaan antara agamawan dan ilmuwan yang tidak beragama, karena dengan adanya faktor-faktor spiritual ini, maka agamawan akan memiliki faktor pemberi semangat sera pembangkit harapan bagi segala aktifitasnya, hal mana tidak pernah dimiliki oleh selain agamawan.

Dari panadangan di atas terlihat pula secara jelas perbedaan pengertian qadha-qadar dengan paham jabariyah (determinisme), yang menghilangkan kehendak dan ikhtiar manusia dan yang menyatakan bahwa manusia bukan pelaku yang sebenarnya dari perbuatannya atau sifat-sifat diri dari kemampuan mentalnya tidak memilki pengaruh apapaun atas nasibnya.

Muthahhari lebih jauh mengisyaratkan tentang riwayat-riwayat yang membagi qadha dan qadar kepada “pasti” (harus terjadi) dan “tidak pasti”.

Untuk menjelaskan hal ini ini, Muthahhari memeperkenalkan paham “bada”. Sebelum menjelaskan hal ini, Muthahhari terlebih dahulu menekankan pandangan Asy’ariyah yang menyatakan bahwa qadha dan qadar tidak dapat berubah seara otomatis, berarti manusia tidak mampu mengukir sendiri masa depannya. Sebaliknya, paham Mu’tazilah yang memberikan kebebasan Mutlak bagi manuisia tidak luput dari kritik pertentangannya dengan Tawhid Af’al (perbuatan).

Bagi Muthahhari, pengakuan akan kepastian hukum-hukum alam merupakan suatu keharusan. Dia juga menekankan bahwa mustahil terdapat faktor yang berdiri sendiri yang dapat mengubah ilmu dan kehendak Tuhan karena semua faktor maujud (telah, sedang,dan akan mewujud) bersumber serta merupakan pengejawantahan dari kehendak dan ilmu Ilahi sekaligus sebagai “alat” terlaksananya qadha dan qadar Tuhan.

Yang mungkin menurut Muthahhari—walaupun diakuinya terlihat agak aneh adalah bahwa perubahan qadha’ dan qadar itu berdasarkan qadha’ dan qadar juga.

Pendapat itu tentu menimbulkan pertanyaan, yaitu apakah ilmu “Tuhan dapat berubah?” Apakah ketetapannya dapat diganti dan yang “rendah” dapat mempengaruhi yang “tinggi”? Jawaban yang diberikan Muthahhari secara tegas adalah “ya”. Ilmu Tuhan dapat berubah, dalam arti ada ilmu-Nya yang berubah, ada ketetapan-Nya yang dapat diganti dan yang rendah dapat mempengaruhi yang tinggi, khususnya bahkan hal ini hanya berkaitan dengan kehendak dan usaha manusia. Dan hal ini, menurut Muthahhari, merupakan gambaran dari kemampuan manusia untuk mengubah nasibnnya sendiri.

Muthahhari mengakui bahwa paham bada’ hanya terdapat di kalangan syiah Imamiyah dan paham ini diakuinya sangat sulit dipahami.

Sebenarnya contoh-contoh yang diberikan Muthahhari tentang arti istilah tersebut cukup logis, seperti misalnya seorang yang sakit apabila meminum obat dan sembuh, maka kesembuhannya berdasarkan qadha’ dan qadar, dan bila tidak meminum obat atau meminum obat yang keliru, maka penyakitnya akan bertambah parah atau ia akan wafat dan akibat inipun adalah karena qadha’ dan qadar. Contoh ini dapat diterima bukan saja oleh kelompok syiah tapi juga oleh kelompok sunni, yang mengemukakan riwayat dari ‘Umar ibn Al-Khattab ketika membatalkan rencanya memasuki kota yang terserang wabah penyakit dengan berkata: “Kita menghindar dari qadha’ dan qadar Tuhan untuk menuju kepada qadha’ dan qadar Tuhan yang lain. “ Yang sulit dipahami adalah perubahan ilmu Tuhan yang ditegaskan di atas, apalagi kalau dikaitkan dengan dengan arti harfiah bada’ yang berarti “tampak setelah tadinya tidak tampak” atau “pendapat baru yang tadinya belum ada”.

Walaupun Muthahhari mengemukakan ayat , yamhu Allah ma yasya wa yutsbit wa ‘indah Umm Al-Kitab.

Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkan apa yang Dia kehendaki) dan di sisi-Nya terdapat Umm AlKitab (Q.S. 13 :39), namun agaknya Muthahhari tidak memahami pengertian Umm Al-Kitab sebagai “Pengetahuan Tuhan yang tidak berubah”

Betapapun masalah ini menurut Muthahhari merupakan salah satu masalah yang paling rumit, sehingga sebagian filosof syi’ah sendiri belum dapat menapai hakikatnya yang sebenar-benarnya dan tentunya---kata Muthahhari lebih jauh—sewajarnya tidak diterima pendapat sementara orang yang memahami Albada’ secara keliru kemudian menolaknya atau mengajukan kritik-kritik terhadap pendapatnya yang keliru itu.

Demikian dua masalah yang harus dibagi jelas menjadi dua subjudul pokok yang diharapkan dapat menggambarkan secara umum pandangan Muthahhari dalam bidang teologi.

Nota: Makalah Prof. DR. Quraish Shihab ini pernah termuat di Jurnal Al-Hikmah, Jumada Al-Ula- Jumada Al-Tsaniyah, 1413H/November-Desember 1992. Yayasan Muthahhari Bandung. Sumber ini diperoleh di: http://sahabat-muthahhari.org/media.php?module=detailpemikiran_muthahhari&id=44

No comments: