www.flickr.com

Thursday, February 11, 2010

Schopenhauer dan Derita

Ini catatan Schopenhauer untuk semua manusia. Tentangnya, yang kita harus ingat satu kata kunci: Vorstellung.

Schopenhauer (1788-1860) adalah anak tuan tanah, di kota Danzig. Tentu, keluarganya kaya-raya. Ayahnya memang ingin Schopenhauer menjadi sepertinya. Menjadi saudagar besar. Punya harta, punya keselesaan. Hidup damai. Tenteram. Memang, mula-mula Schopenhauer cuba menuruti kehendak ayahnya ini, meski Schopenhauer tak senang dengan kehendak tersebut. Lebih-lebih lagi, Schopenhauer merasakan kesaudagaran bukan tempat baginya. Namun, saatnya ayahnya meninggal, Schopenhauer merasa terpukul sekali, kerana ayahnya tetap saja merupakan kechentaan besar baginya.

Begitu latar awal Schopenhauer dalam keluarganya. Ibunya lalu terus membesarkannya, dan berkembang dalam keghairahan falsafah. Mengagumi Plato, kemudiannya Immanuel Kant juga. Dalam nafiri-nafiri kuliah Fichte, Schopenhauer memulai langkahnya sebagai filsuf. Di kemudian, ternyata, Schopenhauer tak hidup dalam bayang-bayang filsuf lain, kecuali Kant. Schopenhauer menjadi tersendiri. Ini yang kemudiannya membezakan Schopenhauer berbanding Fichte, Schelling, dll. Bahkan, Schopenhauer tak pula bersikap seperti kebanyakan intelektual zamannya, yang nasionalistik. Sebaleknya, fikiran hidup sebagai seorang kosmopolitan.

Seperti lazim, untuk memahami seseorang, kita harus memahami latarnya. Sama juga dalam memahami tafsir, juga harus memahami asbabun nuzul-nya. Maka, untuk memahami Schopenhauer, kita harus membaca Eropah waktu itu. Zamannya adalah zaman nalar. Zaman bergeloranya pencerahan. Kita harus himbau, yang pada abad ke-18,ada sebuah peristiwa terkenal. Ini namanya Revolusi Perancis, dengan liberte, equalite, fraternite. Ini adalah tanda pada “the idea of progress.”

Saat ini, kata kebebasan adalah kata gemilang. Kata-kata sebegini bukan hanya muncul pada Rousseau, hatta melimpah pada Marx, terutamanya dalam The Paris Commune-nya. Sebelum Marx, ada Hegel, yang melihat sejarah sebagai bukti kenyataan, sekaligus menepati “idea progresif” perkembangan zaman. Sebab itu, Rousseau saat melihat para borjuasi, itu baginya bukanlah tanda kemajuan—dengan pakaiannya, dengan gaya hidupnya, dengan lingkungannya—yang padanya tampak sekali kaku, bosan, atomistik. Bagi Rousseau, gaya itu bukanlah kebahagiaan. Tapi, sebuah keterasingan.

Maka, bagaimana sebetulnya kita memandang sejarah? Sejarah pada mata pencerahan, pastinya adalah kemajuan. Tafsir apa saja kata “kemajuan,” tetap bernama kemajuan. Namun, ada persoalan lain yang lebih mendasar dari itu, apakah kemajuan harus diukur dari fikiran? Apakah kemajuan harus disukat dari kebendaan? Dan, apakah kemajuan ditentukan dari kebenaran yang difahami? Benar, sejarah sering disebut dalam tiga bentuk: kemajuan, kemunduran, ataupun pengulangan. Walau bagaimanapun, setiap sejarah ada citra yang berbeza bagi setiap individu dan masyarakat.

Tapi, apa kaitan semua ini—kata “kemajuan” ini—dengan Schopenhauer? Mari kita bermula.

Sebenarnya, Schopenhaue sering dikatakan sebagai filsuf yang murung. Kehidupannya murung. Lingkungan—yang ditanggapinya—juga murung. Lantas, falsafahnya pasti murung. Hatta, Schopenhauer bukanlah individu yang bermasyarakat, sampai-sampainya memanggil dirinya sendiri, Menschenveraechter, yang suka merendah-rendahkan orang lain. Sampai-sampai Schopenhauer sentiasa menyimpan senjata di bilek tidurnya, hartanya juga—kerana resah. Lebih aneh, Schopenhauer tak mahu dicukur, bimbang-bimbang lehernya dihiris. Inilah Schopenhauer yang aneh, sama seperti kebanyakan filsuf yang lain. Manusia aneh sepertinya adalah gambaran sebuah manusia keluhan, yang sering merintihkan kebodohan dunia. Kadang-kadang, ini semua menjengkelkan ibunya sendiri.

Kendati dalam keanehan ini, Schopenhauer tetap saja diminati. Ya aneh lagi, yang meminatinya ini kebanyakan adalah wanita. Walhal, pada wanitalah juga Schopenhauer menaruh rasa tak-senang. Pernah satu ketika, Schopenhauer memukul seorang wanita kerana celotehnya yang menyinggungnya. Apa jadi pada wanita tersebut? Menanggung sakit sepanjang hayat. Itulah Schopenhauer, yang bertemankan Atma, anjing kesayangannya.

Namun, dalam semua kehairanan ini, tetap saja ada yang mencarinya, dan membacanya, malah sebahagian menghargainya. Sebelum itu, semangat Revolusi Perancis membara. Maka, tentu saja falsafah “kemurungan” Schopenhauer ini ditinggalkan. Filsuf ini kesepian tanpa sambutan—meski kata sepi apapun takkan bererti apapun baginya. Lalu, tiba-tiba kegagalan Revolusi Jerman menarik khalayak mencari Schopenhauer. Di sana, terutamanya dari Die Welt als Wille und Vorstellung, khalayak mahu mencari jawapan, “mengapa gagal?”

Selain dampak dari Revolusi Jerman, fikiran Kantian turut memberi kesan besar padanya. Memang, Kantian merambah sampai ke filsuf-filsuf berikutnya, seperti Fichte, Schelling, Hegel, dll, yang sekaligus membariskan zaman Idealisme Jerman. Tapi Kantian pada Schopenhauer dihadapi secara berbeza. Kantian-nya maseh mengekalkan das Ding an Sich. Di sini, kalau kita dapat membezakan antara phanomenon dengan noemenon, maka ruang numenal itulah ruang das Ding an Sich. Jadi, barangkali kerana kegagalan dalam mencari erti, filsuf-filsuf idealisme Jerman sering menolak das Ding an Sich. Tapi, tidak bagi Schopehauer. Padanya, das Ding an Sich itu adalah “Urwille,” iaitu kehendak-primitif. Saat ini, Schopenhauer memberi mutu serta kebersebaban pada gagasan a priori Kant.

Kata Urwille ini penting dari keseluruhan falsafah Schopenhauer. Sama pentingnya dengan Vorstellung: pembentangan maya. Memang, Nietzsche juga menggunakan kata kehendak, tapi “kehendak untuk berkuasa.” Itu lain. Itu bukan kehendak dalam makna Schopenhauer. Kehendak Schopehauer berkaca pada sejarah, yang menurutnya tidak dalam maksud Revolusi Perancis, “the idea of progress” itu. Lalu, Schopenhauer menanyakan, “apakah kita yang berubah, atau benda-benda yang berubah-ubah, atau ada satu hal yang tak mengalami perubahan?” Untuk itu, Schopenhauer cuba mencari hakikat di sebalek semua ini. Itulah Urwille, yang tak berubah-ubah.

Maka, dari sini kita mula memasuki ruang berat dalam falsafah Schopenhauer. Jika kita dapat memahami ini, barangkali —jika mahu—dapat menjadi pengikut setia Schopenhauer. Persoalan yang seterusnya, apa itu Urwille, atau kehendak-primitif ini? Itu bagi Schopenhauer, itu adalah kehendak yang diobjektifkan. Alam kita, lingkungan kita, kita pula, semua ragam ini sebetulnya menampilkan banyak kehendak. Tapi, setiap saat, hanya ada satu saja kehendak yang dipilih kita. Itulah kehendak-objektif. Kehendak yang tidak dipilih itu pula adalah kehendak yang tak menjadi objektif. Kehendak subjektif. Lihat saja pengalaman manusia, dengan kesedihannya, dengan keriaannya, dan beragam lagi bentuk emosi. Itu kata Schopenhauer adalah paparan dari kehendak manusia. Ini semua adalah manifestasi dari kewujudan manusia itu sendiri.

Bayangkan saja seorang manusia yang tengah angau, barangkali kerana asyik berchenta. Nah, wajah keangauan itulah yang menjadi manifestasi bagi kehendak-objektif baginya. Begitu juga seorang manusia yang lain sedang ria itulah juga yang menjadi manifestasi bagi kehendak-objektifnya. Ini semua adalah paparan dari pilihan-pilihan mereka. Ini semua, dalam bahasa Kant, adalah fenomenal yang tampak dari sebuah numenal. Pada tingkat fenomenal, itu didukung sebab, tujuan, nilai. Ini kerana, sebab, tujuan, nilai—untuk sebuah angau dan sebuah ria tersebut—adalah paparan dari kehendak fenomenalnya itu.

Tapi—ini yang penting—di sebalek ini, ada juga kehendak numenal, yang nir-sebab, nir-tujuan, nir-nilai, iaitu Urwille tadi. Ini bermakna pada kehendak primitif, kehendak-asal, kehendak-metafizik atau kehendak-purba, atau apa saja yang dapat mewakili maksud kepada sebuah kehendak murni. Pada tingkat Urwille ini, tiada pengaruh epistemologi, tidak seperti kehendak pada tingkat fenomena sebelumnya.

Mithalnya, pada tingkat kehendak fenomenal, setiap manusia dapat memberi alasan pada paparan emosi mereka. Manakala, pada tingkat numenal, semuanya adalah sama. Malah, begitu juga kucing sekalipun. Semuanya adalah sama. Tidak ada beza secara metafizik antara mereka. Ini kata Schopenhauer. Sebab, lihat saja beza Haris dengan kucing belaannya. Memang, Haris mempunyai nalar, tidak pada kucing. Tapi, mereka seharian juga terpaksa makan, terpaksa mengais untuk hidup. Atau dalam bahasa Schopenhauer, “der wille zum leven; kehendak untuk hidup.” Mungkin bagi kucing hidupnya adalah garis linear. Tidak pada manusia. Apapun, hujungnya masing-masing tetap sama—menempuh kematian, kesedihan, penderitaan, dll. Berdaur dan berbaur.

Jadi, dalam kehendak-kehendak fenomenal itu, akhirnya berakhir pada kehendak-numenal, kehendak buta itu. Dan, itulah bagi Schopenhauer adalah penderitaan.

Baginya, memang manusia memang dilahirkan untuk menderita. Nikmat yang dinikmati itu hanyalah sementara. Contohnya, keangauan (emosi) manusia—biarpun dirinya seorang Epicurean, sang penikmat—dan, keriaan manusia yang lain (juga emosi) hanyalah sementara. Semuanya adalah ilusi yang akhirnya mereka akan mengalami penderitaan juga. Jadi, ke mana arah sejarah manusia ini? Ya, kepada penderitaan. Manusia takkan lekang dari penderitaan. Dari satu sudut, tampak benar. Bacalah saja akhbar-akhbar kita dewasa ini, malah khabar-khabar sebelum zaman ini kita juga. Kita dihidangkan dengan beragam kekecewaan, pengorbanan, kematian, pembunuhan, dan itu harus menganggu kenikmatan sementara kita. Sebab itu, Schopenhauer sinikal dengan kumandang “the idea of progress” itu?

Lalu, kemudiannya melalui Friedrich Mayer, melalui Mythologisches Lexicon, Schopenhauer menemui Buddhisme. Tertarik, ekorannya melihat ada kesamaan dari falsafahnya. Di sinilah Schopenhauer juga bertemu kata maya, kata penting dari falsafah timur tersebut. Dari Buddhisme, Schopenhauer bertemu jalan keluar dari kemelut-kemelut penderitaan ini. Jalan pelepasan tersebut adalah menerusi estatika, dan etika. Namun, jalan estitika, iaitu muzik, seni, dll barangkali sementara pada Schopenhauer. Ternyata, jalan etika lebih kekal, di mana alter-ego kita tunduk di bawah keikhlasan, di bawah sikap empatik sesama Sein. Dalam bahasa Schopenhauer, pelepasan ini adalah Mitleudentik, atau kita boleh dinamakan sebagai membela-perasaan, atau bela-rasa. Ini juga sebuah rasa solidariti, persaudaraan, serta perasaan metafizik. Menerusi cara inilah manusia meraih tingkat agape itu. Tapi, keanehan itu tak pernah berakhir. Lebih-lebih pada Schopenhauer.

Maka, kita harus saja bertanya kembali pada Schopenhauer. Bukankah rasa keikhlasan, rasa emptatik, rasa solidariti itu juga berbenih dari Urwille dalam falsafahnya itu? Jadi, mahu atau tidak, setiap kehendak akan kembali pada kehendak-primitif tersebut, yang takkan membawa sebarang makna-epistemologi dan nilai-moral. Nah, mungkin jalan keluar belum ditemui lagi. Ini peluang untuk filsuf berikutnya menyelesaikan. Justeru, hiduplah kita—terus—dalam bayang-bayang penderitaan. Semua manusia akan menderita. Bergelut ke sana ke sini, kononnya mengusung api kesenangan, walhal itu ilusi. Buat Schopenhauer, kita tak harus lupa, setiap keangauan kita, setiap keriaan kita, malah setiap penderitaan kita sekalipun, akan tetap berakhir pada sebuah penderitaan juga. Kita tak pernah maju. Tidak pernah progress. Tidak pernah senang.

Kita hanya hidup dalam taklukan Vorstellung, di mana semua yang kita lalui adalah maya.

No comments: