- Hitam—bagi Sayyed Hossein Nasr, atau juga bagi gurunya Allamah Thaba'thaba'e—adalah warna agama. Hitam itu juga adalah Kaabah; rumah tua yang tidak jemu-jemu mengajar makna kebebasan—sepanjang zaman. Benar, kebebasan itu memang perit, tetapi ia juga manis. Lihatlah, bagaimana perit dan manis bertemu dalam puisi lantunan Muhsin Labib ini.
mencabut setangkai panah
Hitam
mengusap darah
bagai petani
memetik
menuai padi
Dewi
memeluk jasad merah
Hitam
beriring rintih
bagai himne
meranggas
mengejar sepi
Dewi
mencium tanah nainawa
Hitam
menangis sedih
bagai gembel
mengggigil
menunggu pagi
Dewi
memakai kain kerudung
Hitam
melambai lirih
bagai ombak
menggeliat
mencapai tepi
Dewi
menarik lonceng kematian
Hitam
mengantar kasih
bagai halilintar
menyambar
memecah mimpi
Dewi
membaca sekuntum syair
Hitam
meratapi cinta
bagai buhulan
memudar
menjauhi mentari
Dewi
memetik sitar tembang
Hitam
mengalun pedih
bagai gerimis
menetes
menusuk pori
Dewi
merajut samudera pasir
Hitam
melabuhkan buih
bagai seniman
melukis
memahat jati
3 comments:
Aqil, bukan Prof Hossein Nasr saja yang beranggapan begitu. Dalam tradisi Melayu, agama juga mengambil Hitam sebagai lambang, cuba lihat kisahnya Panji Hitam! heee
salaam Yelderin,
hehehe :-) tentu sekali!...
jadi, sebenarnya warna hijau bukannya lambang Islam, tetapi lambang dunia! :-) hahaha
maaf ya teman2 di Melewar...
salam.
Ketika kecamuk seusai praktikal yang tempang - memaksa diri menerima hakikat manisnya ujian dan kasih Tuhan dalam cubaan - sajak ini seperti begitu padan dengan situasi.
Sekali baca tidak puas. Ada romantis yang bengkak, dan pedih yang mengelus. Paradoks dan kontradiksi yang mengasyikkan.
Logiknya kalau praktikal tadi cemerlang pun, saya tetap suka sajak ini.
salam,
meow~
Post a Comment