www.flickr.com

Sunday, April 8, 2007

Hitam

  • Hitam—bagi Sayyed Hossein Nasr, atau juga bagi gurunya Allamah Thaba'thaba'e—adalah warna agama. Hitam itu juga adalah Kaabah; rumah tua yang tidak jemu-jemu mengajar makna kebebasan—sepanjang zaman. Benar, kebebasan itu memang perit, tetapi ia juga manis. Lihatlah, bagaimana perit dan manis bertemu dalam puisi lantunan Muhsin Labib ini.
Dewi
mencabut setangkai panah

Hitam
mengusap darah
bagai petani
memetik
menuai padi

Dewi
memeluk jasad merah

Hitam
beriring rintih
bagai himne
meranggas
mengejar sepi

Dewi
mencium tanah nainawa

Hitam
menangis sedih
bagai gembel
mengggigil
menunggu pagi

Dewi
memakai kain kerudung

Hitam
melambai lirih
bagai ombak
menggeliat
mencapai tepi

Dewi
menarik lonceng kematian

Hitam
mengantar kasih
bagai halilintar
menyambar
memecah mimpi

Dewi
membaca sekuntum syair

Hitam
meratapi cinta
bagai buhulan
memudar
menjauhi mentari

Dewi
memetik sitar tembang

Hitam
mengalun pedih
bagai gerimis
menetes
menusuk pori

Dewi
merajut samudera pasir

Hitam
melabuhkan buih
bagai seniman
melukis
memahat jati

3 comments:

Anonymous said...

Aqil, bukan Prof Hossein Nasr saja yang beranggapan begitu. Dalam tradisi Melayu, agama juga mengambil Hitam sebagai lambang, cuba lihat kisahnya Panji Hitam! heee

Aqil Fithri said...

salaam Yelderin,

hehehe :-) tentu sekali!...

jadi, sebenarnya warna hijau bukannya lambang Islam, tetapi lambang dunia! :-) hahaha

maaf ya teman2 di Melewar...

Anonymous said...

salam.

Ketika kecamuk seusai praktikal yang tempang - memaksa diri menerima hakikat manisnya ujian dan kasih Tuhan dalam cubaan - sajak ini seperti begitu padan dengan situasi.

Sekali baca tidak puas. Ada romantis yang bengkak, dan pedih yang mengelus. Paradoks dan kontradiksi yang mengasyikkan.

Logiknya kalau praktikal tadi cemerlang pun, saya tetap suka sajak ini.

salam,
meow~